Bab 8


Bab 8 



"Ya ampun, Ti! Enggak ada lagu lainnya apa, ya! Ini sih lagu jaman penjajahan Belanda!" protes Dara sesaat sebelum menutup pintu mobil Yanti yang hanya mengedikkan pundak tak peduli. "Aku ngerti kamu lebih suka dengerin lagu lama, tapi enggak selama ini, dong!" Lagu Aryati masih terdengar mengisi ruang dengar mereka berdua, tapi Yanti tak terlihat ingin mengganti lagu yang kerap muncul di telinganya sejak kemunculan Gigih di hidupnya kembali.

Aryati
Dikau mawar asuhan rembulan
Aryati
Dikau gemilang seni pujaan

Yanti melirik Dara yang meraih ponselnya dan tak lama kemudian terdengar lagu dari salah satu group musik terkenal Indonesia. Group yang berasal dari Yogyakarta tersebut menjadi salah satu kesukaan mereka berdua. "Dengerin mereka lebih masuk ketimbang lagu jaman perjuangan."

"Aku keinget waktu Mas Gigih nyanyi di depan semua orang waktu acara Api Unggun." Entah apa yang membuat Yanti mengatakan hal itu. Namun, semenjak pertemuan mereka kembali, satu persatu kenangan bersama pria berkaca mata tersebut kerap muncul memenuhi kepalanya.

"Dia nyanyi buat kamu?!" tanya Dara penuh tanda tanya. "Enggak ada lagu lainnya apa? lagian nama kamu Aryanti bukan Aryati!"

Yanti tersenyum mengingat Gigih selalu mengganti lirik Aryati menjadi namanya. "Mas Gigih selalu menyebut namaku sebagai pengganti Aryati, rasanya malu banget, Ra. Karena dia nyanyi di depan semua orang dan matanya enggak berhenti ngeliatin aku." Dari sudut mata, Yanti bisa melihat mata membelalak Dara.

Dosakah hamba mimpi berkasih dengan puan?
Ujung jarimu kucium mesra tadi malam
Dosakah hamba memuja dikau dalam mimpi?
Hanya dalam mimpi

"Saat dia sampai di bagian itulah, hati ini selalu berdetak kencang dan berpikir kalau dia memiliki perasaan untukku," kata Yanti setelah menyanyikan beberapa bait lagu Aryati meski saat ini bukan itu yang memenuhi ruang dengar mereka berdua.

"Sebenarnya, perasaannya ke kamu—"

"Jujur, aku enggak tahu, Ra." Yanti menyela Dara. "Sepanjang aku mengenalnya, aku bisa merasakan dia punya perasaan lebih padaku, tapi ... enggak tahu juga kalau hatiku tertipu."

Dara tidak meneruskan pertanyaan ketika melihatnya terdiam menatap jalanan menuju salah satu toko bahan kue tempat yang ia tuju hari ini. "Mungkin aku yang GR kali, Ra." Yanti mengedikkan pundak dan bersiap untuk membelokkan kemudi ke arah toko yang berada di samping kafe tempat mereka berdua sering menghabiskan waktu."

"Aku tunggu di kafe aja, deh. Ada beberapa email yang harus aku balas." Sebelum Yanti sempat menjawab, Dara membuka pintu mobil dan meninggalkannya sendiri.

Suasana toko bahan kue selalu membawanya ketenangan di level yang berbeda. Selain toko buku. Di sini, Yanti bisa membayangkan apa yang akan dibuatnya sepulangnya nanti. Kepalanya penuh dengan kreasi untuk mengisi daftar kue buatannya. Langkahnya pelan menyusuri lorong berisi berbagai macam peralatan ketika melihat gadis berambut ikal terlihat kesulitan meraih salah satu loyang yang berada di atas jangkuan tangan mungilnya.

"Boleh tante bantu?" tanyanya setelah berhenti beberapa langkah dari gadis yang terlihat terkejut mendengarnya. "Kelihatannya kamu kesulitan. Kalau enggak keberatan, tante bantu." Anggukan yang Yanti lihat memberinya izin untuk melangkah mendekatinya. "Yang ini?"

"Atasnya lagi, Tante. Lala pengen belajar bikin fruit tarts." Jawaban gadis bernama Lala tersebut membuatnya terkejut.

"Lala sendirian?" tanya Yanti sambil melihat sekeliling. Namun, ia tak melihat seseorang di sekitar mereka berdua. "Mama atau papanya di mana?"

Yanti melirik Lala yang berjalan menyusuri lorong kembali terlihat sibuk melihat le segala penjuru. "Aku enggak sendiri, kok, Te. Ada Papa, tapi nunggu di sebelah. Males banget kalau ke sini sama Papa."

"Lho, kenapa?" tanyanya keheranan. Meski dari nada yang ia dengar tidak terdapat jejak kebencian di sana. "Papa Lala enggak suka kalau Lala bikin kue?"

"Papa suka banget, sampai sampai aku yang kadang bingung. Kalau ke sini sama Papa, pasti di tanya mau bikin apa. Butuh bahan apa aja? Kapan bikinnya? Terus kadang Papa yang tanya aku bisa bikin kue ini atau itu, enggak?"

Yanti menahan senyum di bibir ketika melihat bibir cemberut Lala ketika menceritakan tentang orang tuanya. "Lala suka banget bikin kue?" Dari tubuhnya yang mungil, Yanti memperkirakan usia gadis itu belum sampai sepuluh tahun. "Kalau enggak keberatan tante tanya, umur Lala berapa?"

"Sepuluh," jawab Lala sambil tersenyum. "Pasti tante ngiranya aku masih kecil, ya?!" Tubuh mungil Lala membuatnya berasumsi gadis di sebelahnya masih kecil.

Alisnya terangkat tak percaya melihat gadis di depannya. "Sorry, tante kira kamu masih kecil. Enggak tahunya udah ABG." Lala mengedikkan pundak seolah apa yang meluncur dari bibirnya bukan sesuatu yang menganggu pikirannya. "Yanti," katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Lala yang menerimanya dengan senyum terkembang. "Sejak kapan suka baking?" tanya Yanti.

"Kayaknya baru tiga tahun ini, sih, Te." Yanti mengikuti langkah Lala menuju salah satu lorong yang berisi berbagai macam coklat. "Aku juga pengen nyoba bikin kue sus yang ada lapisan atasnya gitu. Susah enggak, ya?" Ia semakin kagum melihat Lala yang tak terlihat canggung, bahkan gadis dengan senyum lebar itu tampak nyaman. Seperti dirinya.

Yanti meraih dark coklat sebelum memasukkan ke dalam keranjangnya sendiri. "Tante bisa bikin craquelin choux ... dan kalau kamu tertarik belajar bikinnya, kamu bisa ikut cooking class." Lala menoleh dengan mata bersinar terang.

"Tante bisa bikinnya? Tante bikin cooking class? Kapan? Bayar berapa? Di mana? Aku boleh ikutan enggak? Enggak ada batasan umurnya, kan?"

Yanti tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa mendengar deretan pertanyaan Lala yang membuatnya semakin kagum. Bulan lalu, ia mendapat tawaran untuk mengadakan cooking class bekerja sama dengan merk tepung yang akan di selenggarakan di salah satu mall di Surabaya Barat. Meski hingga saat ini ia belum memberikan jawaban pasti, tapi ketika melihat antusias gadis berusia sepuluh tahun di depannya, Yanti memutuskan untuk menerima tawaran tersebut.

"Tanggal pastinya belum ada, sih. Tapi kalau sudah fix pasti ada di akun instagram tante." Yanti menyebutkan akun sosial medianya dan terkejut ketika pekikan meluncur dari bibir Lala sebelum gadis itu membekap bibirnya sendiri.

"Ya ampun ... ya ampun ... aku enggak percaya bisa ketemu tante. Percaya atau enggak, pertama kali aku tertarik untuk membuat kue waktu ngelihat salah satu tutorial tante." Yanti tertegun mendengar pengakuan Lala. "Sejak hari itu, aku follow dan mencoba semua resep yang tante share. Step by step yang tante posting, bikin aku mudah untuk ikutinnya. Dan semuanya berhasil, enggak ada yang gagal, lho, Te!"

Yanti kehilangan kata-kata mendengar cerita Lala. Ia tak pernah menyangka akan berada di sini dan bertemu dengan salah satu pengikut akunnya. "Makasih, La. Tante enggak tahu harus bilang apa, thank you ya."

"Tapi kenapa enggak pernah ngeliatin wajah Tante?" Lala bukan orang pertama yang mempertanyakan pilihannya untuk tidak memperlihatkan wajahnya di sosal media, meski setelah cooking class nanti, itu semua pasti berubah.

"Tante malu. Enggak PD, La." Yanti menikmati kegiatannya selama ini. Membagikan resep dan video step by step pembuatan kue tanpa memperlihatkan wajah, memberinya kebebasan tersendiri. Ia merasa semua pengikutnya akan lebih bisa berkonsentrasi jika tidak melihat wajahnya. "Tapi kayaknya setelah cooking class besok itu, tante enggak bisa sembunyi lagi."

"Ya ... enggak apa-apa, sih. Mungkin udah waktunya tante muncul," jawabnya ragu, karena Yanti masih belum sepenuhnya siap. Namun, melihat wajah cerah Lala ketika keduanya menysuri lorong tempat berbagai cetakan kue, Yanti merasa bangga sudah menjadi bagian dari proses belajar gadis kecil di sampingnya.

Denting ponsel Lala terdengar jelas di telinga mereka ketika langkah kedunya tak jauh dari kasir. "Maaf, tante. Lala harus pulang, Papa udah kirim pesan."

"Sampai ketemu lagi, La. Moga-moga tante beneran jadi ngisi cooking class itu dan kita ketemu lagi." Meski hingga detik itu ia belum sepenuhnya yakin untuk menerima tawaran tersebut, tapi ia tahu itu bukan kesempatan yang bisa dilewatkan begitu saja.

"Harus jadi, dong, tante. Aku beneran nunggu," kata Lala meletakkan barang belanjaannya. "Kalau aku DM tante, boleh?"

"Boleh, dengan senang hati, La." Yanti menunggu hingga Lala keluar sebelum kembali meneruskan rencana belanjanya sore itu. Ia tak perlu kuatir dengan Dara yang menantinya, karena Yanti tahu saat ini sahabatnya tersebut menunggunya sambil bekerja.

Hingga ia melangkah menuju tampat Dara menantinya, bayangan gadis kecil bernama Lala masih melekat di pikirannya. Semangat dan ketertarikan yang Yanti lihat di wajah gadis kecil itu membuatnya teringat pada diri sendiri. Mengumpulkan resep, menjadikan kliping yang rapi dan terawat hingga saat ini, mencoba dan mencoba meski terkadang gagal, melewati proses yang terkadang membuatnya takut menanti hasilnya. Semua itu membuatnya semakin bersemangat untuk meninggalkan pekerjaan yang menawarkan kestabilan keuangan baginya. Namun, kepuasan yang ia dapatkan dari menjual kreasi kuenya sendiri, tak akan bisa tergantikan.

"Udah selesai?" tanya Dara ketika ia meletakkan dua kantong di atas meja yang sudah terdapat minuman kesukaannya. "Tumben cepat?"

"Aku takut kamu jamuran kalau kelamaan. Lagian kamu cranky kalau laper!" Seperti dirinya Dara menyukai makanan, bahkan mereka berdua selalu menyempatkan untuk mencoba tempat makan atau kafe yang mulai menjamur di setiap sudut kota Surabaya. "Enggak pesen makanan?" tanya Yanti ketika tidak menemukan makanan di atas meja mereka.

"Ntar aja, aku pengen coba mie ayam kare."

Yanti mengangkat kepala dan menatap tajam Dara yang sibuk mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Ia tahu tempat yang Dara sebutkan, karena sepuluh tahun silam, seseorang pernah membawanya ke sana. Ia tak ingin mengatakan kepada Dara, karena untuk saat ini, mengingat Gigih bukan sesuatu yang diinginkannya.

"Kamu belum pernah coba, kan?" Yanti tertegun tak siap menjawab ketika Dara tiba-tiba menatapnya tajam. "Kapan? Perasaan selama ini kamu perginya cuma sama aku atau Keke, kan?!"

Yanti tersenyum memperlihatkan jajaran giginya dan menunjukkan kedua jari. "Jangan marah, tapi aku pernah nyoba, tapi udah lama banget."

"Sama Mas Gigih?" tebak Dara dengan mata berbinar. "Aku jadi penasaran, sejauh apa sih sebenarnya PDKT waktu itu?" Yanti mengedikkan pundak tak ingin menceritakan detail pertemanannya bersama Gigih sepuluh tahun lalu. "Ayolah ... aku penasaran, Ti."

Tanpa memenuhi keinginan tahuan Dara, Yanti meraih gelas gelas tanpa menyadari bukan itu minum yang ia pesan dan mengernyit ketika pahit memenuhi rongga mulutnya. "Ya ampun, pahit!" protesnya meletakkan kembali ice espresso shake yang membuatnya mengernyit.

"Mending jawab pertanyaanku ketimbang itu, kan," kata Dara yang terbahak melihatnya menahan rasa pahit yang bertahan di lidahnya.

"Sama-sama pahit, Ra," jawab Yanti yang membuat Dara tak bisa menahan tawa, dan bibirnya pun tertarik ke atas mengingat patah hatinya.

"Itu yang buat kamu sulit untuk ngebuka hati?" Wajah serius Dara tak bisa ia indahkan, karena setiap kali Dara atau Keke—teman mereka berdua—mulai memasang mimik serius, ia tak mampu untuk menolak menjawabnya.

"Kamu masih pengen aku cari tahu tentang temennya, enggak?" Yanti tahu Dara menahan diri untuk tidak bertanya tentang pertemuannya keduanya. Ia juga tahu Dara tidak sabar ingin mencari tahu hasil data mining yang dilakukannya kemarin. "Penasaran, to!"

Yanti harus menahan diri untuk tidak tertawa ketika Dara meletakkan ponsel dan memandangnya tajam. "Aku udah sabar enggak nagih kamu cerita, karena tahu ketemu sama Mas Gigih bukan sesuatu yang mudah, lho, Ti!"

"Aku belum sempat banyak tanya, karena Mas Gigih kasih syarat." Dara membelalakkan mata tak percaya dengan apa yang dikatakannya. "Dia mau kasih info tentang temannya, tapi ada syaratnya."

"Hah! Syarat apaan?" Seperti dirinya, Dara tampak keheranan dengan sikap Gigih.

"Mas Gigih bilang setiap kali kita berdua bertukar informasi harus dilakuakn face to face. Enggak boleh by phone, chat atau email." Dara diam tanpa kata. "Aku hampir lupa, Mas Gigih bilang kalau temannya juga minta dia untuk cari informasi tentang kamu."

Dara masih terdiam, tapi Yanti bisa melihat semu merah yang kini terlihat di pipi bulat sahabatnya. Mengulum senyum dan tak lama kemudian Dara membekap mulut menahan teriakannya. "Beneran?" tanya Dara setelah berhasil menguasai diri. "Mas Putra tanya tentang aku, Ti?!" tanya Dara sambil mencengkram kedua pundaknya. "Mas Putra ... ini beneran Mas Putra?!"

"Aku heran, emang selama kamu ada kerjaan sama Mas Gigih, enggak pernah ketemu Mas Putra?" tanya Yanti.

Dara menggeleng. "Aku udah pernah bilang kalau mereka itu berdua, Mas Gigih sama Mas Wisnu. Kalau Mas Gigih itu orang lapangan, Mas Wisnu itu arsiteknya. Orangnya ganteng juga, tapi diem banget. Kadang bikin aku takut."

Yanti mengernyit mendengar nama Wisnu. "Aku kayaknya pernah kenal, tapi enggak inget wajahnya," katanya mencoba mengingat di antara tumpukan kenangannya besama Gigih.

"Kapan mau ketemuan lagi?" Yanti mengedikkan pundak karena ia masih ragu meminta Gigih bertemu karena syarat dan ketentuan yang pria itu ajukan, meski jantungnya melonjak setiap kali bayangan wajah memenuhi pikirannya. "Kalau Mas Gigih masih simpen perasaan buat kamu, gimana?" kepalanya tersentak ketika mendengar pertanyaan yang memenuhi pikirannya sejak pertemuan pertama keduanya.

"Aku enggak tahu, Ra. Kemarin Mas Gigih pengen jelasin, tapi aku enggak mau," ucapnya mengingat keinginan Gigih untuk menjelaskan semuanya.

"Lah, kenapa?" tanya Dara dengan mata membelalak tidak percaya. "Sepuluh tahun, Ti. Selama itu, enggak mungkin kamu enggak penasaran, kan?! Kenapa enggak mau dengerin penjelasannya?!"

Yanti kembali mengedikkan pundak, tak yakin dengan alasan penolakannya. Namun, ia tahu dengan pasti, hatinya belum siap untuk mendengarkan penjelasan yang membuatnya kembali ke masa itu. "Mungkin aku butuh waktu untuk nyiapin hati, Ra. Aku enggak tahu penjelasan Mas Gigih bakalan buat aku lega, atau malah bikin aku nyesel."


Meski telat buangeeet, enggak apa-apa, yaaa
Selamat Hari Raya Idul Adha gut pipeeel

Happy reading
Love
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top