Bab 7


Bab 7 


Senyum lebarnya membuat Yanti terlihat tidak nyaman, dan ia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Meskipun situasinya tak sesimpel jawaban sudah ataupun belum. "Belum," jawab Gigih jujur. "Kamu?" Gelengan kepala Yanti membuat senyumnya semakin lebar. Gigih merasa ada harapan, cita-cita dan mimpi yang ingin ia raih terasa mungkin bisa terwujud.

"Aku masih enggak percaya bisa ketemu kamu lagi, Ci." Seringai lebar di wajah Gigih sudah bisa menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini. " Dan Dara enggak pernah nyebut nama kamu, jadi bisa bayangin kondisi jantungku waktu itu, kan? Setelah ... sepuluh tahun."

"Ngomong-ngomong tentang Dara. Ada yang pengen aku tanya, Mas." Permintaan tiba-tiba Yanti membuat gerakan tanganku berhenti. Kue yang siap memasuki mulut pun harus terhenti. "Mas Putra sudah menikah belum?"

Gigih mengunyah secepat yang ia bisa sebelum menelan dan menatap Yanti dengan mata membelalak. "Untung enggak keselek, Ci. Kenapa tiba-tiba tanya Putra? Atau kamu tertarik sama Putra?" Dalam hati Gigih berdoa semoga mendengar jawaban tidak.

"Seperti apa sih dia? Udah punya pacar atau istri? Asli Surabaya atau anak rantau? Makanan kesukaannya apa? Suka kopi atau teh?" Cecar Yanti membuat Gigih semakin bingung untuk menjawab setiap pertanyaan itu.

Yanti terdiam ketika mendengar tawa untuk menutupi gugup yang mulai membuat hati Gigih ragu. "Ini sensus atau apa, Ci? Dara atau kamu yang suka sama Puput?" tanya Gigih setelah meredawakan tawa.

"Jawab aja, Mas!" hardik Yanti yang terlihat malu memberondong Gigih dengan pertanyan tentang Putra. "Dara suka sama mas Putra dan minta aku untuk menggali informasi sebanyak mungkin. Dia malu kalau tanya kamu."

Gigih bernapas lega mendengar Dara tertarik pada Putra. "Kamu percaya enggak kalau Putra meminta hal yang sama?" Mata Yanti membelalak. "Beneran. Enggak lama setelah ketemu sama kalian kemarin, ujug-ujug dia tanya tentang Dara. Putra bukan pria yang mudah untuk bergaul, Ci. Diamnya terkadang membuat orang berpikir dia orang yang sombong."

Yanti mengigit bibir dan bertepuk tangan dengan riang, seperti anak kecil yang mendapat mainan. "Tunggu! Ini beneran Mas Putra suka sama Dara, Mas?!"

"Putra bukan orang yang mudah untuk diajak berteman." Gigih mengangkat tangannya ketika melihat Yanti membuka mulut. "Aku kenal Putra sejak SMA. Dia enggak pernah banyak omong, tapi sekalinya buka mulut, kadang mak jleb sakitnya. Makanya enggak punya banyak teman dia itu. Tapi dia pria yang baik, aku tahu itu."

Semua pertanyaan yang terlihat di wajah Yanti beberapa saat lalu kini menghilang. "Tapi dia masih suka—"

"Jangan kuatir, Putra suka perempuan," sela Gigih. "Mungkin ia hanya belum menemukan satu perempuan yang bisa membuatnya merasa—"

"Enggak bisa napas saat berpisah." Yanti menyelesaikan kalimatnya.

"Jantung berdebar saat bertemu," sambung Gigih dengan tatapan terpaku pada Yanti ketika ia menyambung kalimatnya.

Keduanya mengulum senyum ketika mendengar kalimat yang dulu pernah mereka ucapkan. "Dunia terasa lebih indah saat bersama," kata Yanti kembali

"Yang ia lihat, hanya dia semata," ucap Gigih lagi yang masih tak melepas pandangan dari Yanti dan waktu terasa berhenti. "Enggak ada yang berarti kecuali kebahagiaannya." Jika saat ini tidak ada masa lalu yang mengikat kita berdua dan tak ada rahasia membayangi langkahku, bisakah bahagia menjadi milikku, Ci? tanya Gigih dalam hati

"Ya ampun ... bahasa kita novel banget, sih, Mas." Yanti memutus tatapan matanya dan menunduk merapikan kotak kue dan tumbler yang dibawanya. "Kalau aku tanya-tanya tentang Mas Putra, kamu mau jawab, enggak?"

Meski saat ini Gigih merasa aneh karena berbagi informasi tentang Putra, tapi mengingat keinganan temannya, ia menelan ketidaknyamanannya. "Tergantung." Gigih meraih tissue bekas mereka berdua dan mengumpulkan jadi satu sebelum menyerahkan pada Yanti.

"Tergantung apaan? Kok sekarang jadi perhitungan banget, sih! Kayaknya dulu enggak gini. Kamu enggak pernah nolak apapun permintaanku." Hatinya bisa meledak karena bahagia melihat bibir cemberut Yanti. "Dulu enggak gini! Makin tua kok jadi enggak ikhlasan!"

Tangan Gigih dengan sigap membersihkan remah-remah yang berjatuhan di antara mereka berdua. "Aku bilang bilang tergantung, kamu udah nyerocos marah."

"Ya ... dulu kan enggak ada jawaban tergantung gitu. Kamu selalu bilang iya!" protest Yanti kembali. "Ingat waktu aku minta kamu nemenin makan durian, padahal kamu enggak suka. Aku bisa lihat wajahmu pucet nahan mual, tapi enggak nolak." Yanti tertawa hingga air mata terbit diujung matanya. Mata sipit itu menjadi semakin tak terlihat seiring tawa meluncur dari bibirnya. Sesekali tangannya mendorong pundakku tanpa disadarinya. "Waktu itu aku udah siap-siap kamu bakalan muntah, lho, Mas."

Gigih masih bisa mengingat hari itu. Salah satu pengorbanan yang rela ia berikan untuk Yanti, meski pening di kepala membuat langkahnya goyah. Bahkan mual yang menggumpal di dasar perut pun tak membuat semangat Gigih surut. Semua demi Yanti yang saat ini masih tertawa mengingat itu semua.

"Demi kamu aku rela menahan mual dan pening. Demi kamu, Ci!" jawab Gigih menahan tawa mengingat semua yang rela dilakukannya demi perempuan pengisi hatinya.

Pandangan Yanti semakin tajam padanya. "Kok sekarang pake tergantung, enggak bisa langsung jawab iya?!" protes Yanti kembali tanpa menutupi jengkel yang terdengar jelas.

"Itu semua tergantung sama kamu, Ci."

"Kok aku, Mas. Aku pengen ngumpulin informasi tentang temenmu buat Dara, lagian kamu bilang kalau dia juga tertarik sama Dara, kan! Dara itu teman kamu juga, lho!" Yanti beranjak turun dan membuatnya harus menahan senyum. "Kalau enggak mau bantu, bilang aja!"

"Yang bilang enggak mau bantu, itu siapa?" jawab Gigih santai.

"Terus?!"

"Aku mau bantu asalkan pertukaran informasi itu tidak dilakukan lewat telepon, pesan ataupun email. Semua harus face to face. Setuju?"

Jika Yanti terkejut, ia pandai menyembunyikan, karena saat ini Gigih melihat Yanti dengan santai menutup pintu belakang mobilnya tanpa melihat ke arahnya. "Emang kenapa harus ketemuan? Sepenting itu Mas Gigih harus ketemu aku setiap kali aku punya pertanyaan tentang Mas Putra."

"Penting. Penting banget!" Gigih menjajari langkah Yanti menuju pintu gerbang yang beberapa saat lalu Yanti tutup setelah memasukkan mobil. "Karena aku pengen bisa ketemu kamu lagi."

Langkah Yanti terhenti, meliriknya dan beralih ke arah motor yang terparkir tepat di sambing mobil. "Masih suka naik motor, Mas." Yanti mengedikkan dagu ke arah kendaraan roda dua berwarna hitam yang menjadi kebangaan Gigih selama ini. "Kalau aku setuju kamu jemput, naik ini?"

"Iya, dong. Bukannya dulu suka?" jawab Gigih tanpa merasa malu membuat Yanti mengingat kejadian di masa lalu mereka.

"Kepekso!" suara ketus Yanti membuat senyum di bibir Gigih semakin lebar. Pengalaman pertamanya membonceng Yanti menjadi salah satu momen terindah bersamanya. "Aku enggak pernah ngebayangin bakalan dibonceng motor gini lagi. Mending naik motor matic, lebih enak!"

"Mau metic atau motor seperti ini, aku siap bonceng kapanpun kamu mau!" Lirikan Gigih tajam seiring Yanti menutup pintu mobil bersiap untuk meninggalkannya.

Yanti tak segera melajukan mobil ketika mesin sudah menderu. Bahkan pandangan perempuan tak berpaling darinya yang berdiri disamping pintu dan bersedap. Sesekali pandangan mereka bertemu, keduanya merasa ada sesuatu yang belum terucap, tapi keraguan meliputi keduanya. "Ada sesuatu yang pengen aku katakan sejak pertama ketemu kamu waktu itu," kata Gigih memutuskan untuk menyudahi kecanggungan mereka berdua.

"Kalau itu alasan kenapa kamu ngilang ... jangan!" jawab Yanti tegas. "Setidaknya enggak sekarang."

"Kenapa?" Yanti tak segera menjawab pertanyaan Gigih. "Aku pengen ngejelasin semuanya, Ci." Gelengan kepala Yanti membuat Gigih tak mengerti, tapi ia menahan diri untuk tidak memaksakan kehendaknya.

"Jangan sekarang," pinta Yanti. "Nanti, Mas. Saat itu tiba, aku pasti minta Mas Gigih untuk ngejelasin semua. Tapi enggak sekarang."

Gigih mengangguk mengerti dan memundurkan langkah. Meskipun ia tak mengetahui alasan di balik permintaan Yanti, ia percaya semua memiliki waktunya masing-masing. Termasuk penjelasan tentang masa lalu yang membayangi mereka berdua saat ini. "Oke."

Berdiri di depan rumah Yanti hingga mobil yang perempuan itu kendarai hilang dari pandangan tak membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Gigih tak menampik rasa bahagia yang muncul di hati sejak pertemuan pertama mereka beberapa hari lalu, tapi ketika mendengar penolakan Yanti untuk mendengar penjelasan, ia merasa sesuatu yang berbeda. Gigih tak ingin berandai-andai, tapi ketika kesempatan kedua datang, ia tak ingin menyia-nyiakan semuanya.

***

"Lah, ngapain balik ke kantor, Gih?!" tanya Wisnu ketika kakinya melangkah memasuki ruangannya. Di antara mereka berdua, hanya wisnu yang memiliki kantor khusus. Sedangkah Gigih memilih untuk bekerja di mana saja ia bisa lakukan, termasuk di ruang rapat berisi satu meja panjang. "Aku udah dapet datanya kok. Minggu depan kamu bisa presentasi ke Yanti."

"Nu." Gigih terdiam. "Nek awakmu dadi Yanti, tak cedhaki maneh, gelem, enggak?"

"Tergantung, Gih," jawan Wisnu tanpa melepas pandangan dari layar komputer di depannya. "Kamu deketin hanya karena memenuhi rasa penasaran atau enggak?"

"Yo enggak se-cethek iku, lah, Nu!" Meski Gigih tahu Wisnu tidak melihatnya, tapi mendengar pertanyaan itu membuatnya melayangkan sorot mata tajam. "Aku enggak ngerti ini kesempatan kedua untuk melanjutkan apa yang tertunda dulu atau ...."

"Saatnya untuk ngelepas dia dari pikiranmu!" sambung Wisnu yang masih sibuk dengan pekerjaannya. "Pikir lagi, Gih. Sekarang ada Lala yang harus kamu pikir, kan?"

Tanpa mengatakan apapun, Gigih meninggalkan Wisnu yang masih setia menatap layar. Pria yang terkadang menjadi penghuni terakhir kantor mereka selalu mendapatkan ketenangan dalam bekerja saat tidak ada siapapun di sekitarnya. Berbeda dengannya , karena Gigih selalu menikmati bekerja dengan orang lain.

Aryanti. C Ramdhani
Kalau aku pengen ngobrolin tentang Dara dan Putra, kamu keberatan enggak, Mas?

Langkah kaki Gigih terhenti ketika melihat nama Yanti di layar ponselnya. Perempuan yang baru saja berpisah dengannya beberapa saat lalu kini membuatnya kembali tersenyum.

Apa, sih, yang enggak buat kamu, Ar.
Tapi ada syaratnya!

Aryanti. C Ramdhani
Jangan aneh-aneh!

Syaratnya, aku boleh jemput kamu?

Aryanti. C Ramdhani
Naik motor?

Iya, lah!
Kasih tau alamat dan jam berapa aku jemput!

Gigih menunggu jawaban yang tak kunjung muncul di layar ponselnya. Tiga puluh menit setelah jawaban ia kirim, Yanti masih belum jua memberinya jawaban dan keraguan kembali muncul di hati. Pertanyaan pun kembali datang. Bayangan buruk mengisi pikirannya.

Sejak pertemuan pertama mereka berdua, dorongan untuk kembali bertemu, mengejar ketinggalan di antara mereka seolah memenuhi pikirannya.

"Nu, cewek suka enggak sih kalau kita ngejarnya full power gitu?" tanya setelah memutar langkah dan menganggu Wisnu untuk kedua kalinya.


Mas Gigih yang kelupaan nongol di Wattpad is ready untuk dibaca.
Happy reading guys ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top