Bab 6
Bab 6
Teriknya Matahari tak membuat Gigih membatalkan pilihannya menggunakan motor siang itu. Kendaraan roda dua selalu menjadi pilihannya mengunjungi proyek mencegahnya terjebak kemacetan selama ini. Seperti siang ini. Ketika ia harus menuju ke rumah Yanti yang berada di selatan kota Surabaya, menggunakan mobil bukan pilihan tepat saat harus melewati beberapa titik kemacetan.
Seiring perjalanan, Gigih harus menahan diri untuk tidak memacu motornya seperti remaja yang hendak menemui kekasihnya. Meskipun antusias yang muncul di dalam dirinya saat ini tak ubahnya seperti ABG yang sedang jatuh cinta. "Sadar, Gih Ojo koyok arek cilik! Eling umur. Eling Lala!" perintahnya pada diri sendiri saat tanpa sadar ia kembali memacu motornya di atas kecepatan rata-rata.
Memasuki kawasan perumahan tempat rumah Yanti berada, jantungnya kembali berulah. Gigih mengurangi kecepatan hingga sepenuhnya berhenti di depan pagar yang masih tertutup rapat bersamaan dengan getar ponsel di saku celananya. Setelah melepas helm full dan sarung tangan, Gigih membaca pesan yang Wisnu kirim.
Ninu
Seberapa banyak Yanti pengen ngerubah rumahnya, Gih?
Setahuku, dia pengennya simple dan enggak terlalu banyak perubahan. White and simpel.
Ntar aku info lagi, dia barusan sampai.
Gigih memasukkan ponsel ke dalam kantong jaket ketika melihat Yanti keluar dari mobil dan berjalan ke arahnya. Ia tak mengalihkan pandangan dari Yanti yang terlihat semakin cantik. Palazzo berwarna putih dan kemeja biru tua yang membuat wajahnya terlihat semakin cerah membuatnya tak bisa memalingkan wajah.
"Mas Gigih udah lama?" tanya Yanti sesaat setelah menghentikan langkah di depannya. "Aku harus mampir ke satu tempat sebelum ke sini. Maaf, ya. Tadi sebenarnya udah mau kabarin kalau telat, tapi aku masih berusaha tepat waktu. Enggak tahunya malah ketemu macet tadi." Penyesalan yang ada di wajah Yanti mendatangkan senyum di bibirnya. Selama kedekatan mereka dahulu, terlambat adalah sesuatu yang tidak bisa Yanti tolerir. Perempuan itu paling benci terlambat, dan Gigih tahu itu, karena ia selalu terlambat.
"Barusan kok," jawabnya tak ingin memperbesar perasaan bersalah Yanti yang terlihat jelas di wajahnya. "Buka pagarnya aja dulu, aku masukkan motor." Gigih bisa merasakan tatapan tajam Yanti ketika ia mendorong motor. Bahkan saat ini, ia bisa menduga apa yang ada di kepala Yanti, karena Gigih pun memikirkan hal yang sama.
Pagar harus di ganti. Gigih membuat tambahan catatan di kepalanya ketika mendengar suara berderit dari pagar setinggi pinggang orang dewasa tersebut. "Ci, kamu udah nikah?" Perempuan yang membiarkan rambut panjangnya terurai tersebut terlihat terkejut. Gerakannya terhenti dan kunci yang sesaat ada ditangannya kini terlepas tergeletak di lantai. "Kenapa? Kok kaget gitu?" tanya Gigih.
"Aku ... aku enggak nyangka aja dapat pertanyaan itu," kata Yanti meraih kunci bersamaan dengannya, hingga tangan keduanya pun saling bersentuhan. "Sorry," katanya sebelum memundurkan badan.
"Sorry, enggak seharusnya ... kita lihat rumah dulu." Gigih meraih kunci dan membuka pintu lebar tanpa menunggu Yanti yang mematung di belakangnya. Ia tak mau suasana canggung antara mereka berdua semakin panjang dan mengacaukan hari ini.
Setelah pertanyaan lancangnya beberapa saat lalu, Gigih tenggelam dengan pekerjaan. Mengambil banyak foto dan juga mengukur setiap ruangan yang bisa Wisnu gunakan nanti. Ia bisa merasakan gerakan Yanti di belakang tubuhnya, tapi saat ini ada pekerjaan yang harus dilakukan sebelum kembali mencari informasi tentang dia yang membuatnya penasaran. Gigih menahan diri untuk tidak mencari tahu apa yang Yanti lakukan di belakangnya, meski aroma parfum yang menguar dari tubuh perempuan itu membuatnya sulit untuk berkonsentrasi, dan kenangan mereka bersama kembali mengisi kepalanya.
"Kamu kerja di mana, Ci?" tanya Gigih sambil membuka pintu kamar utama, tapi suara Yanti tak kunjung terdengar. "Ci!"
"Eh. Iya, Mas." Dari mata membulat Yanti, Gigih tahu pikiran perempuan yang berdiri kaku tak jauh darinya itu melayang kesegala penjuru, seperti dirinya yang berusaha untuk menguasai diri.
"Aku kerja di kantor konsultan, tapi ...." Gigih menoleh dan mendapati keraguan di wajah cantik Yanti. Sesuatu ia lihat di sana, seperti yang ada di wajah adiknya saat itu, lelah.
"Tapi kenapa?" tanya Gigih yang melihat wajah Yanti tampak berbeda. Kakinya ingin melangkah mendekatinya, tapi Gigih segera menahan keinginan itu ketika melihat keraguan di sana.
"Sebenarnya aku berencana resign bulan depan, Mas." Gigih menaikkan alis tak percaya dengan apa yang didengarnya. Senyum terbit di bibir Yanti dan ia semakin tidak percaya. Saat ini, ia melihat perempuan yang tak terlihat sedih, karena Yanti terlihat bahagia. "Mungkin kelihatan aneh ya ... tapi aku lega setelah mengatakannya."
Gigih lupa bagaimana rasanya bekerja untuk orang lain. Dua tahun semenjak lulus kuliah, ia dan Wisnu memberanikan diri untuk bekerja sendiri. Setelah menghabiskan lebih dari dua tahun bekerja untuk orang lain. Keberanian mereka berdua tak serta merta berbuah manis, karena kegagalan dan kekecewaan menjadi bagian dari perjalanan usaha keduanya. Namun, pada akhirnya, semua berjalan sesuai yang ia dan Wisnu harapkan.
Memandang Yanti yang terlihat lega dan bahagia, seketika Gigih bisa mengerti apa yang dirasakannya. "Kamu memang kelihatan ... lega."
"Anehnya iya." Yanti menatapnya dan tersenyum. "Aku akhirnya memberanikan diri untuk melakukan sesuatu untukku. Hanya untukku."
Gigih bisa mengerti perasaan Yanti. Seperti Fitra yang berencana untuk resign, ia mengerti ketika seseorang mersa cukup dan memerlukan perubahan untuk dirinya sendiri. "Good for you, dan rumah ini juga bagian dari itu semua?" tebaknya. Gigih bisa merasakan Yanti menarik diri ketika ia menyebut rumah, tapi memutuskan untuk tidak menanyakan tentang hal itu.
Yanti meninggalkannya dan kembali menyusuri dinding yang beberapa saat lalu ia ukur. "Enggak tahu kamu ingat atau enggak—"
"Aku ingat semuanya," sela Gigih. "Setiap ruangan yang kau inginkan. Warna yang kamu mau, masih lengkap di sini." Gigih mengetuk pelan pelipisnya. "Aku kerja dulu. Tunggu di luar aja." Tak ingin membuang lebih banyak waktu, Gigih meninggalkan Yanti untuk mengerjakan pekerjaan sebelum pembicaraan mereka berdua membuatnya malas untuk bergerak. Walaupun saat ini yang diinginkannya adalah mendengarkan suara lembut Yanti menceritakan tentang dirinya, tapi Gigih menyadari ada pekerjaan yang menantinya.
Gigih kembali tenggelam dalam pekerjaan tanpa memperhatikan di mana Yanti berada. Ia ingin segera menyelesaikannya, karena bisa mengarahkan konsentrasi untuk mencari tahu segala hal tentang pemilik rumah nantinya. Ada banyak hal yang ingin dan harus ia cari tahu tentang Yanti yang sepuluh tahun tahun lalu ia tinggalkan.
"Sudah?" tanya Yanti setelah Gigih kembali ke bagian depan rumah. "Mau?"
Gigih menatap kagum kotak kue yang Yanti ulurkan padanya. Kue sus atau choux pastry dengan vla yang terlihat menggoda, fruit tarts dengan potongan buah segar dan juga croissant dengan potongan almond di atasnya. Ia mengenali jenis kue yang saat ini memenuhi pandangannya. Semenjak beberapa tahun lalu, Lala tertarik mencoba resep kue yang terkadang gagal dan membuatnya kecewa. Namun, yang saat ini ia lihat adalah pastry kualitas bintang lima.
Selama beberapa bulan mengenal Yanti, Gigih mengetahyui hobinya membuat kue. Namun, tak pernah terlintas di pikiran kue yang Yanti maksud saat itu adalah pastry cantik tampak sayang untuk dimakan. "Ini buatanmu? Beneran?" Yanti terkekeh menjawabnya.
"Ini enak banget, Ci." Yanti menepuk tempat kosong di sebelahnya setelah membuka pintu belakang mobil SUV yang terlihat terlalu besar untuknya. "Aku masih ingat kamu suka bikin kue, cuma enggak nyangka kalau secantik ini."
Craquelin atau lapisan krispi dengan aroma kopi dihias dengan cream dan potongan coklat terlihat terlalu cantik di atas tangan kasarnya. Gigih kagum melihat warna coklat keemasan, berbeda dengan semua choux yang pernah ia lihat selama ini. Tiba-tiba pikirannya melayang ketika Lala memintanya memasuki toko bahan kue, dan gadis tercintanya histeris. Dalam waktu sekejap, keranjang di tangannya terisi berbagai alat yang ia tak ketahui namanya. Namun, melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Lala, Gigih merasa terbang ke langit ketujuh.
"Mas!" panggilan Yanti membuyarkan lamunannya. "Kenapa?"
"Aku masih enggak percaya ini buatan kamu. Aku kagum aja, Ci." Gigih mengigit dan membelalakkan mata ketika rasa kopi memenuhi mulutnya. "Sumpah, ini beneran enak." Yanti terlihat tersipu mendengar pujiannya, tapi perempuan yang meraih satu kue sus dan memasukkannya ke dalam mulut tersebut tidak berkata apa-apa.
Keduanya terdiam ketika menikmati masa tenang makan siang mereka. Sesekali Gigih bisa merasakan lirikan Yanti, dan tak bisa menahan diri untuk tersenyum mendapati hal tersebut. Ia tahu saat ini, pikiran perempuan di sebelah berlarian ke segala penjuru seperti dirinya. Gigih bahkan membayangkan apa yang akan terjadi jika sepuluh tahun lalu, ia tetap berada di samping Yanti.
"Mas," kata Yanti mengubah arah duduknya. "Kamu ngerti sama hobiku ngumpulin resep, kan, Mas?" Gigih mengangguk menjawabnya. "Dari dulu aku selalu mencoba bikin, meski terkadang gagal."
"Kok aku enggak pernah dapet kuenya?!" protes Gigih di antara kunyahan kue yang memanjakan mulutnya. Kekehan Yanti membuatnya semakin bersemangat meraih fruit tarts.
"Ya ... waktu itu kita kan belum terlalu dekat, Mas," jawab Yanti. "Aku belum terlalu PD untuk kasih kue bikinanku ke kamu. Biasanya kelinci percobaanku ya ibu atau mereka bertiga," ucap Yanti mengingatkannya tentang tiga orang temannya.
Gigih kembali memasukan fruit tarts ke dalam mulut. Ledakan rasa manisnya cream dan asamnya buah strawberry membuat hidangan kecil itu lengkap. "Ini beneran enak, Ci."
"Ini juga salah satu alasanku untuk berhenti bekerja," kata Yanti menunjuk kotak kue di antara mereka berdua. "Sejak kita ... pokoknya setelah malam itu aku jadi lebih rajin ngecoba resep yang aku kumpulin. Baking jadi semacam pengalihan pikiranku. Bisa dikatakan, baking jadi terapi, dan kalau di pikir-pikir lagi ... aku harus berterima kasih sama kamu, Mas."
Gigih menyadari sikapnya telah menyakiti Yanti, pilihan untuk tidak mengatakan semuanya padanya mengubah mereka berdua. "Aku senang dengar kamu menemukan kebahagiaanmu, Ci. Kamu enggak perlu berterima kasih, justru aku yang seharusnya meminta maaf."
"Gimana kalau aku enggak berterima kasih, dan Mas Gigih enggak perlu meminta maaf." Kedewasaan yang saat ini terdengar jelas di setiap kata dari bibir Yanti, membuat Gigih sedikit bisa bernapas lega. Ia mengangguk setelah bertekad akan menjelaskan semuanya saat waktunya tepat.
Hari itu Gigih mendengar rencana Yanti setelah resmi resign dari pekerjaannya, dan kagum yang ia rasakan semakin besar ketika Yanti mengatakan keberhasilannya merintis usaha sejak beberapa tahun lalu. "Enggak capek, Ci?"
"Capek, dong!" jawabnya ketus meski Gigih bisa melihat senyum di bibirnya. "Pagi berangkat kerja, sambil mantengin pesanan yang masuk. Biar enggak capek banget, aku bikin jadwal, jadi hari-hari tententu saja kue-ku ready. Sistem pre order juga bantu aku bagi waktu dan tenaga, Mas."
Gigih mengacungkan kedua ibu jari ke arahnya, dan tawa yang dulu selalu mengisi hari, kini terdengar jelas. "Kerja kantoran, terima pesanan kue. Eh, gimana kabar trio kwek-kwek?" tanya Gigih ketiga sahabat Yanti semasa kuliah.
Tawa Yanti membuat hatinya menghangat. "Fauzan sekarang jadi juragan emas, dia ambil alih usaha kedua orang tuanya. Wahyu anaknya dua, sekarang tinggal di Blitar. PNS dia." Gigih melirik Yanti yang terdiam. "Rizal setelah kuliah enggak ada kabar. Enggak ada yang tahu kabarnya."
Ingatan tiga orang yang selalu protektif pada Yanti membuat Gigih mengingat momen lucu di antara mereka berempat ketika ia sempat mengikuti ketiga orang penggemar PS tersebut. Ia masih bisa mengingat semua taktik yang dilakukannya untuk mencari informasi tentang Yanti saat itu. "Selain kerja dan terima pesanan, sibuk apa lagi, Ci?"
"Percaya enggak kalau aku juga bikin video tutorial gitu." Kali ini Gigih tak bisa menahan diri. Bibirnya terbuka lebar dengan mata membelalak tak percaya. Yanti yang ia kenal bukan perempuan dengan kepercayaan diri tinggi. Yanti yang dikenalnya selalu menahan diri untuk tidak menonjol di antara semua orang. "Tapi, sampai saat ini, semua video tutorialku enggak ada yang kelihatan wajah."
"Itu kenapa kamu mau dapur besar dengan semua kelengkapannya? Itu semua untuk keperluan konten?"
"Yes and no," jawab Yanti tak menghapus senyum di bibirnya. "Mas Gigih kan tahu aku pengen punya dapur seperti itu dari dulu, dan kebetulan banget kalau itu semua bisa ngedukung kegiatanku."
Duduk berdua di bagian belakang mobil Yanti, menikmati kue sus tak pernah ada dalam bayangan Gigih selama ini. Suasana akrab yang dulu pernah ada di antara mereka berdua kini terasa kembali. Hingga pertanyaan Yanti membuatnya tersadar, semua sudah berubah. "Kamu udah nikah, Mas?"
Sadar Gih. Jangan seperti anak kecil. Ingat Umur. Ingat Lala.
Yuhuuu ... Mas Gigih is back. Setelah lama enggak muncul.
Surabaya lagi rajin-rajinnya hujan nih, bawaannya males mulu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top