Bab 19


Bab 19 



Beberapa hari setelah pertemuannya bersama Yanti, Gigih memutuskan untuk mengenalkan Yanti dan Lala secara resmi. Namun, sebelum semua itu terjadi, Yanti memintanya untuk melakukan sesuatu terlebih dahulu. Bukan untuk bertemu dengan wanita yang memberinya informasi tentang keberadaan Yanti di kota Yogya. Yanti ingin ia bertemu secara resmi dengan kedua sahabatnya.

"Aku enggak tahu kalau kamu punya satu lagi sabahat selain Dara, Ci?" tanya Gigih ketika mendengar keinginan kekasihnya. Yanti yang sejak tadi mengaduk isi gelasnya hanya mengedikkan pundak tanpa menjawab pertanyaannya.

"Namanya Kenes, dari kemarin itu dia ikut rombongan dari kementerian pariwisata keliling Eropa untuk ngenalin budaya Indonesia atau apa gitu."

"Tunggu," kata Gigih membuat Yanti menegakkan kepala. "Kenapa baru cerita sekarang. Selama ini hanya Dara yang kamu sebut." Mengenal Yanti saat di bangku kuliah, ia tahu ketidakcocokannya untuk berteman dengan sesama perempuan. Namun, mendengar tentang dua sahabat yang saat ini Yanti ceritakan, terdengar aneh di telinganya. "Rasanya kok aneh dengar kamu cerita sahabat perempuan, sih, Ci."

Perempuan yang tak segera menjawabnya tersebut hanya menghela napas panjang dan melipat tangan di depan dada. Tak terlihat terkejut mengetahui tanya di kepala Gigih. "Kamu kenal Dara, kan, Mas. Sama dia, aku enggak pernah merasa takut membuatnya sakit hati. Meski tampilan cewek banget, enggak ada bedanya dia sama trio kwek-kwek. Itu yang membuatku nyaman sejak hari pertama berkenalan dengannya."

Gigih menganguk mengerti dengan apa yang Yanti katakan. "Kenes?"

"Aku enggak ngerti nama lengkapnya, aku tahunya hanya Kenes dan biasa dipanggil Keke. Dia teman SMA Dara. Orangnya diem banget, tapi asik. Kita bertiga suka baca novel—itu yang buat kita cocok—selain karena suka ngecoba tempat makan atau kafe baru. Baca jadi kesukaan kita bertiga."

Meski ia tak tahu alasan kenapa Yanti ingin memperkenalkannya pada sabahatnya secara resmi, Gigih mengabulkan permintaan itu. Saat ini ia melengkah memasuki salah satu restoran di jalan Manyar bersama Wisnu dan juga Putra yang mengikuti langkahnya. Ia bisa membaca pertanyaan di wajah Yanti ketika melihatnya bersama dua orang mengikuti langkahnya.

"Maaf, Sayang. Mereka datang waktu aku mau berangkat, dan aku pikir ini bisa jadi kesempatan Dara dan Putra untuk ketemu, kan?" bisik Gigih ketika Yanti menyambutnya dengan senyum yang terlihat terpaksa.

"Dara." Gigih bisa mendengar sapaan Putra yang terdengar kaku di sampingnya.

"Ra, apa kabar?" tanya Wisnu ke arah Dara yang menahan tawa di bibir dengan mata tak lepas dari Putra.

"Mas," kata Yanti. "Kenalin ini Kenes, teman yang aku ceritain kemarin," ucap Yanti pada perempuan berambut panjang dengan wajah bulat berkulit kuning langsat. Berbeda dengan kekasihnya yang memiliki kulit putih.

"Hai, Wisnu. Aku sahabat dan teman kerja Gigih. Kalau yang lagi sibuk lirik-lirikan sama Dara itu namanya Putra," kata Wisnu menunjuk Putra.

"Kenes, Mas. Teman Yanti. Jadi ini yang namanya Mas Gigih." kata Kenes mengulurkan tangan padanya. "Yanti banyak cerita kemarin. Maaf, baru bisa kenalan sekarang."

"Maaf, Cici jarang cerita tentang kamu, ak—"

"Cici?" tanya Kenes memandangnya dan Yanti bergantian.

"Itu panggilan sayang dia buat Yanti sejak jaman kuliah. Meski kedengeran aneh, kamu pasti biasa ntar dengarnya. Gigih emang aneh, maunya kelihatan beda, jadi manggilnya Cici." Terang Wisnu tak memberi kesempatan pada siapapun untuk menjawab keingintahuan Kenes ketika semua orang duduk mengelilingi meja.

Suasana di antara mereka berenam terasa istimewa, karena sepanjang hampir tiga jam mereka berkumpul, Yanti tak melepas tangannya. Sesekali genggaman tangan mereka terlepas, karena jari lentik itu mengusap lengan atasnya, atau sekilas memeluk pundaknya. Gigih tak berhenti tersenyum mendapati Yanti tak menutupi ketertarikan mereka berdua pada semua orang. Meski sesekali Putra atau Wisnu melemparkan ejekan, tapi kebahagiaan yang dirasakanna tak membuat suara-suara itu mengendap di kepalanya.

"Ya ampun ... yang lagi jatuh cinta enggak bisa jauh-jauhan tangannya," kata Dara yang duduk tepat di samping Yanti mengundang tawa semua orang termasuk Putra yang semenjak tadi tidak terlalu banyak berbicara. Gigih bisa merasakan ketegangan Dara setiap kali perempuan itu mengalihkan pandangan pada sahabatnya.

"Ojo meneng ae, Put. Ngomong opo ta opo, ngono, lho!" bisik Gigih berusaha tidak menarik perhatian semua orang ketika Kenes meminta Wisnu untuk membantunya dengan masalah rumah. Gigih tak sepenuhnya mendengarkan karena saat ini, ia ngin menarik Yanti menjauh dari mereka berempat dan memeluknya erat. Kesibukan mereka berdua sejak kembali ke Surabaya membuat keduanya sulit untuk mencari waktu bertemu.

"Sejak pertama lihat Dara di sebelah Yanti, aku tahu kalau perempuan itu bakalan jadi istriku, Gih!" keyakinan dari setiap kata yang Putra bisikan membuatnya tertegun. Gigih menaikkan alis seolah berkata, Hah?! Dijawab dengan anggukan tanpa ragu. "Kalau kamu bilang sama Yanti mau bikin enggak sengaja jatuh cinta sama kamu. Aku bilang cinta datang tiba-tiba, saat aku melihat senyum Dara, Gih."

Gigih semakin tertegun mendengar pengakuan Putra. Sesekali ia melirik Dara yang terlihat bersungut-sungut ketika mendengar cerita Kenes. Bahkan Wisnu dan Yanti pun tak menyadari saat ini, ia dan Putra terlibat pembicaraan serius dan rahasia.

"Yakin?" tanya Gigih. Saat ini ia memiringkan tubuh ke arah Putra meski ia tak melepas genggaman tangannya. "Ojo guyon, Put! Aku enggak ngerti apa cerita Dara, tapi aku curiga ada sesuatu yang pernah terjadi padanya. Jadi kalau ini," kata Gigih sambil melerikan jari telunjuk di depan wajah Putra. "Hanya sekedar penasaran atau coba-coba, mendingan jangan diterusin."

"Jancuk, mbok kiro aku arek cilik, Gih!" umpatan Putra tak membuatnya mundur. Sesekali ia melirik Yanti, memastikan perhatian kekasihnya sebelum kembali memandang Putra.

"Dara itu partner kerjaku, dia juga sahabat calon istriku, jadi kalau kalian berdua jadian dan ujung-ujungnya bubaran. Itu bikin suasana kerja, bisa-bisa rumah tanggaku ikutan kacau!" ancamnya tanpa ragu. "Aku kenal kamu, Put. Dan aku percaya kalau kamu enggak main-main, tapi aku tetap harus kasih kamu warning!" Gigih memundurkan badan setelah melihat anggukan samar Putra bersamaan dengan panggilan Wisnu.

"Keke butuh bantuan kita, Gih. Kapan kamu bisa." Gigih sedikit kebingungan dengan pertanyaan Wisnu karena sejak beberapa saat lalu, ia memusatkan konsentrasi mengancam Putra yang kembali memandang Dara.

"Atur aja, Nu. Asal enggak bentrok sama jadwal nyonya, aman." Ia kembali mendapat sorakan dari semua orang yang mendengarnya, termasuk Yanti yang melepas tangannya.

Gigih memandang semua orang di sekitar meja yang beberapa bulan lalu tak pernah ada dalam bayangannya akan berkumpul di suatu sore dalam suasana kekeluargaan seperti saat ini. Pertemuannya bersama seolah membuka pintu bagi semua temannya. Termasuk Wisnu yang terlihat berbeda setiap kali Kenes memanggilnya Mas.

"Jadi kapan akad nikahnya nih?" tanya Dara membuat semua orang Kembali memperhatikannya. "Jangan bilang kalau masih satu dua tahun lagi, ya, Mas. Kalian udah saling nunggu selama sepuluh tahun, masa iya harus nunggu lagi?!" pertanyaan berselimut ancaman itu membuat Gigih menarik pundak Yanti dengan lembut.

"kita berdua," ucap Yanti yang memandang tepat di kedua bola matanya seolah mencari persetujuan darinya. "Mutusin untuk nikah di KUA dekat rumah, kalau lancar semuanya ... kita nikah tiga bulan lagi." Lanjut Yanti setelah mendapatkan anggukan samar darinya.

Sorakan dan ucapan selamat dari kelima teman mereka tak membuat keduanya memutus tatapan mata keduanya. Bahkan Gigih semakin berani dengan mendekatkan kepala dan berbisik pelan, "Aku enggak sabar pengen bisa peluk dan cium kamu, Yang."

****

Malam itu, Gigih mambawanya pergi untuk berkenalan dengan adik perempuannya dan juga Lala. Tawa dan bahagia di wajahnya ketika meninggalkan Dara dan Kenes bersama Putra juga wisnu segera menghilang tak lama setelah Gigih mengarahkan mobil ke arah rumahnya. Sesekali Yanti menepuk pelan dada kiri untuk menenangkan laju jantungnya, tapi semakin lama detak itu semakin kencang.

Gugup yang dirasakannya kini mulai terasa di sekujur tubuhnya, bahkan pria yang tak melepas genggaman tangannya pun bisa merasakannya. "Sayang, tanganmu kok jadi dingin gini? Gugup?" Yanti tak mampu menjawab, ia hanya mengangguk pelan. "Kenapa harus gugup? Lala sudah jatuh cinta sama kamu. Sedangkan Fitra, dia pasti lega dan bahagia."

Yanti tak merasa tenang, meski Gigih berkali-kali meyakinnya, karena di dalam hatinya masih ada sedikit rasa takut yang tak kunjung menghilang. "Gimana kalau ada sesuatu dan kamu mutusin untuk ninggalin aku lagi? Gimana kalau setelah nikah, kamu kecewa dan nyesel? Gimana kalau ternyata aku enggak bisa jadi ibu yang baik buat Lala? Gimana kalau Fitra kecema melihat perempuan pilihan kamu, Mas. Gimana kal—"

"Lau mereka berdua jatuh cinta dan sayang kamu lebih besar timbang sayang mereka buatku," sela Gigih. "Gimana kalau setelah nikah kita berdua menemukan kebahagiaan kita? Gimana kalau Lala enggak bisa jauh darimu? Gimana kalau anak gadisku lebih butuh kamu ketimbang papanya sendiri?"

Jantung yang beberapa saat lalu membuatnya sulit untuk menikmati kebahagiannya, kini seolah menemukan ritmenya. Membuatnya bisa bernapas lega dan menikmati setiap kata yang Gigih ucapkan. Mengusik rasa takut dan ragu yang sesekali menyandera pikirannya.

"Ci, siap?" Yanti tersentak mendengar pertanyaan Gigih. Saat itulah ia melihat rumah berpagar hitam di sebelah kiri, ia tak menyadari berapa lama ia melamun. Namun, ketika melihat senyum Gigih, ia merasa siap menghadapi apapun.

"Siap enggak siap, harus siap. Tuhan sudah kasih kita. Eh, aku," koreksinya. "Tuhan sudah kasih kesempatan aku untuk enggak sengaja jatuh cinta lagi sama kamu, kan, Mas." Tawa Gigih mengiringi langkah keduanya memasuki rumah yang terlihat asri. Halaman penuh dengan tanaman yang terawat menyambutnya. Namun, tidak ada yang menyiapkan hatinya untuk bertemu dengan gadis penarik hatinya saat ini.

"Tante Yanti, seneng banget bisa ketemu lagi," kata Lala yang berlari menyambut kehadirannya. Melingkarkan tangan di pinggangnya. Memeluknya seolah tak ingin terlepas. Sambutan terhangat yang menarik air mata membasahi pipi membuat semua keraguan dan ketakutannya menghilang. "Tante nanti nikah sama Papa, kan? Jadi aku bisa panggil tante Mama, iya, kan?" Yanti menatap Gigih yang tersenyum ke arahnya. Ia kewalahan menerima sambutan dan penerimaan Lala.

"Aku bisa belajar bikin kue, kan? Aku kemarin lihat resep croissant yang Tante bikin. Susah banget itu ...." Suara Lala semakin menghilang ketika Gigih mendekatkan kepala dan berbisik di telinganya.

"Enggak perlu takut Lala tolak kamu, Yang. Seperti papanya, dia jatuh cinta padamu. Kami berdua enggak akan bisa jauh darimu," kata Gigih tanpa melepas pandangan darinya. Keduanya berdiri di tengah ruang yang terasa nyaman dan mengundang dengan suasana yang membuatnya betah.

Mereka berkumpul di ruang tengah setelah makan malam terlambat karena Fitra lupa menyiapkan lauk. Yanti bisa merasakan tatapan Gigih ketika tanpa ragu ia membantu Fitra meski tak ada yang memintanya. Fitra yang sempat menolak bantuan Yanti ketika melihatnya mencuci tangan terlihat berterima kasih ketika dengan sigap ia mengerjakan menu yang sudah adik Gigih itu persiapkan.

Selain kedua sahabatnya, Nina dan juga Lintang, Yanti tak pernah merasa klik dengan siapapun, hingga saat ini. sesekali ia memandang Fitra yang tak terlihat ragu meski saat ini ia merasa seperti penyusup, memasuki zona nyaman mereka tanpa izin. Namun, ketika melihat senyum di bibir perempuan yang terlihat cantik tanpa make up tersebut, Yanti merasa berkumpul dengan keluarganya, meski malam itu pertama kali mereka berdua berkenalan.

Setelah beberap saat keduanya berkutat di dapur, menu sederhana yang keduanya persiapkan tertata rapi di atas meja makan. Suasana nyaman dan kekeluargaan kembali ia rasakan ketika cerita mengalir di antara mereka berempat tanpa ada masalah.

"Jadi, kamu ninggalin Mbak Yanti di malam waktu Mbak Lita pulang?" tanya Fitra setelah Gigih menyelesaikan ceritanya. "Sepuluh tahun enggak ketemu dan sekalinya ketemu kamu ngajak Mbak Yanti nikah?" Yanti kembali melihat Gigih mengangguk dan memandangnya.

Ia bisa merasakan hangat yang menjalar ke pipinya ketika mendengar jawaban Gigih. "Cukup sekali kehilangan dia, Fit. Enggak mau lagi," jawab Gigih tanpa mengalihkan pandangan darinya. "Sepuluh tahun ... siapa yang sangka kalau bakalan bisa ketemu lagi." Yanti mengulurkan tangan yang Gigih terima tanpa ragu. Ia bisa merasakan semua yang ada di hati Gigih, begitu juga sebaliknya. Tanpa memperhatikan sekeliling, mereka berdua beradu tatapan dengan senyum di bibir.

"Kamu kok mau, sih, Mbak?" tanya Fitra membuyarkan momen mereka berdua. Sebelum ia sempat menjawab Gigih melempar tisu bekas ditangan pada adiknya. Perempuan yang saat ini menopang dagu menanti jawaban darinya tertawa keras melihat kelakuan Gigih. "Eh, Mbak Yanti aja enggak protes kok kamu yang kebakaran jenggot, sih, Mas."

Yanti masih memandang Gigih dan sesekali melirik Lala yang terlihat bahagia. "Fitra pernah enggak merasa nyaman dengan seseorang meski baru pertama kali bertemu?" tanya Yanti pada Fitra. "Pertama ketemu Mas Gigih, waktu asam lambung lagi kambuh di kampus. Keringat udah segede jagung, badan lemas dan kepala rasanya seperti di ketok palu godam. Dia datang dan kaget waktu tahu aku cewek, rasanya pengen aku gigit dia." Gigih mengusap puncak kepalanya dan menyebut kata maaf tanpa suara.

"Waktu itu aku jengel banget, tapi sejak pertama lihat Mas ... ada perasaan nyaman di sini." Yanti menyentuh dada kiri dan tertawa lebar menyadari semua mata tertuju padanya.

"Emang kenapa Papa ngiranya Mama cowok?" Yanti terkejut mendengar panggilan Lala, dan ia tahu Gigih pun merasakan hal yang sama. "Eh ... aku boleh panggil Mama dari sekarang, kan?" tanya Lala yang menegakkan badan dan memandang Gigih dengan penuh harap.

"Yang ... aku ngikut kamu. Aku enggak mau kalau—"

"Dengan senang hati, La. Lala boleh panggil apapun yang membuatmu nyaman." Yanti tak membiarkan Gigih menyelesaikan kalimatnya. Tanpa bisa menahan diri, Yanti berdiri dan memungkukkan badan di samping Lala. "Terima kasih, Sayang."



Jangan diam saja, Put. Bicara apa gitu.

Jangan bercanda

Kamu kira aku anak kecil


Ternyata udah mau kelar nih ....
Thank you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top