Bab 18


Bab 18



Gigih tak mampu menjauhkan bibirnya dari wajah Yanti. Saat ini ia mendekat erat tubuh kekasihnya yang memiringkan wajah memberi ruang pada Gigih untuk memperdalam ciumannya. Selama tujuh hari, pikirannya penuh dengan penyesalan dan ketakutan. Ia tak ingin melewatkan kesempatan untuk mencintai Yanti.

"Mas, aku laper," ucap Yanti pelan yang diikuti dengan suara perut terdengar mengisi kekosongan di antara mereka berdua. "Tuh, kan." Yanti tak terlihat malu meski saat ini Gigih bisa mendengar dengan jelas panggilan tersebut.

Ia masih enggan untuk mengendurkan lilitan lengannya, dan mendapati bibir cemberut Yanti pun tak membuatnya beranjak. Gigih mencium bibir merah itu sekali lagi sebelum berdiri dan membawa serta Yanti yang menjerit dan segera menutup bibirnya sebelum memukul pundak Gigih bertubi-tubi. "Turunin! Badanku berat, Mas!"

"Ayo cari makan, sebelum kamu jadi tambah uring-uringan," ucapnya setelah menurunkan tubuh Yanti.

Satu jam kemudian, keduanya duduk berhadapan dengan semangkuk bakso yang terlihat menggoda. Tanpa ragu, Yanti menarik tempat sambel ketika Gigih sibuk dengan ponsel di tangannya. "Enggak!" kata Gigih tanpa mengangkat kepala.

"Sayang," kata Yanti lembut. "Boleh, ya. Dikit aja kok," rayuan yang membuat bibirnya tersenyum tak mampu membuat Gigih luluh. "Sayang, dikit aja, kok."

"Pilih mana? Tetap makan sambel tapi aku cium di sini, atau enggak makan sambel tapi tetap aku cium nanti?" Gigih meletakkan ponsel dan menunda urusan pekerjaan hingga nanti. Saat ini ada perempuan bermata sipit dengan bibir merah menggoda yang membuatnya harus menahan diri.

Semenjak Yanti membuka pintu kamar hotel untuknya, Gigih tak ingin berhenti untuk menyentuh, membelai dan mencium. Menunjukkan kerinduan yang terpendam di dada sejak sepuluh tahun lalu. Memberikan kasih sayang yang tertunda. "Pilih mana?" tanyanya dengan senyum di bibir.

"Lah, kok pilihannya enak di kamu semua, Mas!" protes Yanti yang melupakan keinginannya untuk menambahkan sambal ke dalam mangkuk baksonya setelah mendengar ancaman itu. "Kenapa semua melibatkan ciuman?"

"Karena sejak melihatmu membaca novel di kantin, aku pengen nyium kamu." Ketertarikan yang muncul sejak melihat senyum Yanti terkadang membuatnya harus menahan diri. Bayangan wajah yang mulai mengisi hatinya sejak pertemuan pertama seolah menjadi doa bagi Gigih.

"Kamu jatuh cinta sama aku sejak kejadian Mas Teto?" tanya Yanti menyebut nama tokoh kesukaan mereka berdua. "Dan Mas Gih enggak ngomong apa-apa selama itu?" Ada penyesalan yang muncul—meski sekilas—di mata Yanti. "Kenapa enggak ngomong apa-apa?"

Gigih tak memberikan jawaban hingga keduanya menghabiskan makan dan beranjak menuju mobil yang ia kendarai dari Surabaya. "Cari tempat ngobrol baru kita ngobrol lagi." Yanti tak terdengar keberatan, bahkan perempuan yang terlihat santai dengan terusan tanpa lengan tersebut menunjukkan kafe tempat keduanya bisa berlama-lama menghabiskan waktu berdua.

Suasana kafe seperti yang Yanti katakan, sepi dan nyaman untuk menghabiskan waktu untuk bekerja atau sekedar bertukar cerita. Seperti yang keduanya inginkan. Setelah Gigih menjelaskan dan Yanti menerima permintaan maafnya, mereka berdua masih merasa ada banyak yang perlu diceritakan. Sepuluh tahun perpisahan keduanya, menyimpan banyak cerita.

"Aku enggak ngomong apa-apa, tapi pasti kamu bisa ngerasain dari sikapku, kan, Ci!" kata Gigih ketika keduanya duduk berhadapan di ujung kafe bagian belakang. Terpisah dari keramaian, tapi cukup terbuka untuk memandang ke sekeliling bangunan. "Walapun aku sadar seharusnya ngomong sesuatu. Asal kamu tahu, aku berencana nembak kamu sepulang dari Periplus waktu itu."

Yanti tersenyum lembut, dan Gigih menyadari jalan hidup mereka berdua ditakdirkan untuk terpisah sepuluh tahun lalu. "Setelah aku pikir lagi, perpisahan kita dulu adalah keputusan yang terbaik." Gigih terdiam meski di dalam hati ia mengakui kebenaran dari ucapan Yanti. "Kita berdua belum cukup dewasa untuk mengikat diri dengan komitmen sebesar itu. Tapi, setelah tahu tentang Lala ... aku kagum sama kamu, Mas."

Gigih terkejut mendengar pujian itu. "Apa yang kamu kagumi, Ci? Aku hanya melakukan yang seharuskan kulakukan di situasi itu. Siapapun pasti akan melakulan hal yang sama." Gelengan kepala yang ia lihat menandakan ketidaksetujuan Yanti. "Kenapa?"

"Sayang," ucap Yanti yang jarang memanggilnya dengan sebutan sayang. "Enggak semua orang memutuskan untuk mengambil alih seperti yang kamu lakukan. Mas Gigih langsung ambil tanggung jawab itu 100% tanpa ragu dan itu membuatku semakin mencintaimu." Yanti menyambut uluran tangannya. Gengaman keduanya mengalirkan rasa sayang yang selama ini ada di hati keduanya.

"Stop ngomongin itu, sekarang cerita sama aku. Dalam waktu sepuluh tahun, ada berapa perempuan yang pernah mengisi hatimu?" tanya Yanti. "Dengan asumsi, saat ini hanya ada aku di sana." Yanti, perempuan yang selalu berhasil memancing senyum di bibir, kini menatapnya dengan bibir cemberut.

"Aku enggak berani jalin hubungan dengan siapapun sampai Lala masuk SD." Gigih terdiam sesaat mengingat perjalanannya selama ini. "Setelah mutusin untuk ninggalin kamu, enggak ada satu orangpun yang bisa membuatku memalingkan wajah. Lala menjadi pusat dari segalanya. Aku ingin memberikan dia yang terbaik, Ci. Hati dan pikiranku selama lima tahun itu hanya untuk Lala dan pekerjaan. Hingga ibu meninggal dan semuanya mulai berubah."

Selama ia menceritakan lima tahun pertama dari bagian hidupnya, Gigih tak melepas pandangannya. Memperhatikan wajah Yanti, mengamati setiap ekspresi yang muncul di sana, mencoba mencari tahu isi hatinya.

"Aku pernah punya pacar selepas kuliah. Kukira dia akan jadi masa depanku pada saat itu, tapi ternyata Tuhan menakdirkannya bersama orang lain. Dia bertemu dengan seseorang yang bisa memenuhi ambisinya dalam karir. Bukan perempuan yang bermimpi memiliki usaha kue dan melepas karirnya nanti."

Tak ada sedih ataupun marah di setiap kata yang mengisi ruang dengarnya saat ini. Yanti terlihat tenang, seperti menceritakan tentang salah satu Tokoh dalam buku ceritanya. Senyum yang tersungging di bibir merah Yanti pun terlihat bebas tanpa beban. "Abis itu punya pacar lagi?" tanya Gigih yang ingin mengetahui pria di masa lalu kekasihnya.

"Ada... tapi enggak cukup berkesan untuk aku ceritakan karena enggak terasa seperti pacaran, sih. Selama kurang lebih tiga tahun jalan sama dia, terasa seperti biasa. Kalau di inget lagi, lebih terasa seperti teman. Aku sama dia pernah hampir sebulan enggak kontak-kontakkan sama sekali, dan sekalinya ketemu ... ya biasa aja."

Gigih percaya jodoh, rezeki dan maut adalah hak prerogatif Tuhan. Ia menyerahkan sepenuhnya padaNya, karena yakin Tuhan akan memberikan perempuan terbaik untuknya. Selama ini, ia tak berani berharap akan dipertemukan kembali dengan Yanti, tapi ternyata garis jodoh keduanya kembali bertemu. Mendengar cerita tentang mereka yang pernah ada di dalam kehidupan Yanti, menimbulkan rasa cemburu yang tak bisa Gigih tahan. "Aku cemburu!" katanya tak bisa menahan diri.

"Lah, ngapain! Mereka cuma singgah, Mas." Yanti menenangkannya. "Aku bersyukur dengan semua pria yang pernah datang dalam kehidupanku selama ini. Setiap orang telah mengajarkanku sesuatu dan itu membuatku menjadi seperti sekarang ini. Anggap saja semua yang pernah datang, membuatku siap untuk dirimu."

Gigih tak menutupi kelegaannya. Mendengar Yanti menceritakan tentang masa lalunya seakan mengingatkan tentang kebodohannya selama ini. "Aku hampir menikah dua tahun lalu." Yanti terlihat terkejut tapi seketika wajahnya kembali melembut.

"Kenapa enggak jadi?"

"Aku mengenalkan seseorang pada Lala, di saat hubungan itu sudah jelas arahnya. Karena aku enggak ingin anakku berharap terlalu besar dan ternyata kecewa. Pada saat itu, aku dan dia merasa sudah cocok, tapi Lala menolaknya sejak pertama kali aku membawanya ke rumah." Gigih masih bisa mengingat semua alasan yang anak gadisnya berikan. "Kami berdua masih bertahan meski Lala dan pada akhirnya Fitra pun menentangku, tapi ... penolakam dua orang perempuan dalam hidupku ternyata mempengaruhi semuanya. Perlahan dan tanpa aku sadari, kami berdua saling menjauh dan akhirnya memutuskan untuk berpisah."

"Gimana kalau Lala dan adikmu enggak suka sama aku, Mas?" pertanyaan yang tak pernah melintas dipikirannya tersebut membuat wajah Yanti terlihat murung. "Gimana kalau setelah semua yang terjadi dan kita lewati ternyata mereka berdua enggak setuju?"

Satu hal yang Gigih yakini semenjak omelan Lala ketika mendengar cerita masa lalunya bersama Yanti adalah, anak gadisnya akan menerima semuanya dengan senyuman. Ia bisa melihat mata berbinar Lala ketika mendengar tujuannya hari ini. Bahkan ia harus menolak keinginan gadis itu untuk diizinkan ikut menamaninya menemui Yanti.

"Aku temeni Papa. Jadi waktu ngejelasin ke Tante Yanti, Papa enggak salah omong. Percaya deh, Tante Yanti pasti luluh dengar ceritaku." Gigih masih bisa mengingat kalimat Lala yang diucapkan dengan penuh harapan. Ia tak ingin siapapun hadir bersamanya ketika harus memberikan penjelasan. Menarik garis masa kembali saat ia menorehkan luka di hati Yanti, sesuatu yang masih ia sesali hingga saat ini.

"Mas." Suara Yanti membuyarkan lamunannya.

"Kamu adalah perempuan tercantik dengan hati lembut yang berhasil menawan hatiku sejak hari itu di kantin. Percaya atau enggak, aku sudah menceritakan hal itu pada Lala, dan dia enggak sabar untuk bisa ketemu kamu. Jadi jangan ada ketakutan dia tidak menerimamu, karena sejak kehadirannya di dalam kehidupanku, kami berdua sudah menyiapkan tmpat khusus hanya untukmu."


Cihuuuy ... 
Happy reading guys

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top