Bab 17
Bab 17
Gigih bisa melihat ketidakpercayaan di wajah Yanti ketika membuka pintu kamar hotelnya. Perempuan yang menolak semua telepon dan tak membalas pesannya selama tujuh hari itu membuatnya kalang kabut. Ia tak bisa konsentrasi untuk bekerja. Setiap saat mengecek ponsel hingga membuat Wisnu jengkel dan marah. Hampir setiap hari ia datang ke rumah keluarga Yanti dengan harapan mendapat jawaban.
"Hai, Sayang," sapanya membuat mata Yanti semakin lebar. "Boleh masuk? Atau kamu lebih suka kita ngobrol di luar begini?"
Mata keduanya saling beradu. Gigih yang terlihat lega dan bahagia, berbeda dengan Yanti. Tanpa kata, Yanti membalik badan dam meninggalkannya di ambang pintu. "Mas tahu dari mana aku nginep di sini?" tanya Yanti tanpa membalik badan. "Dara?"
"Ibu yang bilang."
"Enggak mungkin," ucap Yanti saat membalik badan dan bersedekap menanti jawaban darinya. "Ibu tahu aku butuh waktu. Ibu tahu aku butuh jarak untuk menjauh darimu!" nada tajam yang saat ini memasuki telinganya sarat dengan rasa pedih. "Kamu ...."
"Aku berhutang penjelasan—yang kamu tolak sejak pertemuan pertama kita—cerita dan banyak permintaan maaf." Gigih melangkah mendekat dan berharap tidak ada penolakan, tapi ketika ia melihat Yanti melangkah mundur, hatinya kacau. Ia mengangkat tangan tanda menyerah dan menghentikan langkah. "Boleh aku jelasin semuanya?"
Yanti tidak menjawabnya. Untuk beberapa saat keduanya hanya diam saling memandang tanpa kata. Keduanya terdiam dengan kening mengernyit dan tanpa senyum. "Aku janji kalau setelah mendengar semuanya dan kamu masih pengen aku pergi ... aku akan pergi dan enggak akan ganggu kamu lagi. Setidaknya kasih aku kesempatan untuk menjelaskan, bukan untuk membela diri. Aku tahu yang kulakukan padamu itu enggak adil dan salah." Yanti masih tidak menjawabnya, perempuan yang terlihat ragu dan bimbang itu duduk di ujung ranjang dan menundukkan kepala.
"Please," pinta Gigih lembut dan duduk tepat di seberang Yanti yang masih menolak menegakkan punggung. "Aku janji bakalan pergi setelah ngejelasin semuanya."
"Kamu bener udah punya anak, Mas?" Ada sakit hati yang bisa Gigih rasakan di setiap kata. "Aku merasa bodoh banget—"
"Lala muncul dalam hidupku di hari terakhir kita ketemu," sela Gigih tak ingin memperpanjang kesalahpahaman di antara mereka berdua. "Dia anak Lita—kakak perempuanku—yang pergi sejak dia lulus kuliah. Hari itu Ibu telepon bilang dia pulang, dan satu-satunya yang kuinginkan adalah menemuinya." Gigih menceritakan semuanya tanpa melepas pandangan dari Yanti yang menatapnya balik. Sesekali ia bisa melihat matanya membulat sebelum kembali menguasai diri. Ia tidak menutupi atau meninggalkan informasi apapun dari Yanti. Gigih menceritakan semuanya, termasuk perasaan yang tak pernah hilang darinya selama ini.
"Aku enggak bisa menghilangkan wajahmu. Aku masih bisa mengingat perfum yang kamu pakai. Senyummu, kebiasaan kecilmu bahkan semua mimpi-mimpimu masih jelas di dalam ingatanku. Semua ini salahmu!" kata Gigih tegas. Matanya tajam memandang perempuan yang membelalak tidak percaya ke arahnya. Mukanya memerah dan napasnya memburu, ia tahu saat ini Yanti menahan marah. "Semua ini salahmu!" ulang Gigih dengan suara pelan yang masih bisa Yanti dengar, karena sesaat setelah mengucapkannya, Gigih mendengar tarikan napas tajam ketika ia sibuk mengusap kasar wajahnya.
"Siapa yang pergi ninggalin aku?! Siapa yang pergi tanpa kabar?! Siapa yang enggak jawab telepon, balas chat? Siapa?! Dan sekarang dengan santainya kamu bilang aku yang salah! Siapa yang ngilang saat aku membutuhkanmu?!" bentakan Yanti membuat Gigih tak bergeming, tapi air mata yang saat ini membasahi pipi perempuan cantik didepannya menggetarkan hatinya. "Dan kamu nyalahin aku, Mas?" Kini air mata itu semakin deras.
Gigih tak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ia mengulurkan tangan dan menangkup pipi basah Yanti. Mengusap pelan dan menghapus lelehan air mata yang mengiris kalbunya saat ini. "Semua ini salahmu, karena sejak aku melihatmu menahan sakit hari itu... wajahmu enggak hilang dari pikiranku. Sejak hari itu, kamu ada di hatiku dan enggak mau pergi! Meninggalkanmu adalah keputusan yang paling berat yang pernah kuambil sepanjang hidupku. Menahan diri untuk enggak lari nemunin kamu waktu itu adalah sisksaan terberat dalam hidupku. Karena aku terlalu mencintamu dan malam itu aku harus melepasmu, karena Lala."
Tarikan napas Yanti dan kemarahan yang masih tergambar jelas di wajah manis itu tak membuat Gigih menarik tangannya. Bahkan saat ini ia semakin memberanikan diri Dan mendekatkan kepala, menyatukan kening keduanya sebelum menarik napas panjang dan memulai ceritanya tentang Lala.
"Bodoh banget, kamu, Mas!" kata Yanti tajam sebelum melingkarkan tangan di leher Gigih. "Tega kamu, Mas."
Untuk sesaat, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya kecuali memeluk Yanti dan sesekali mengusap pelan kepala di ceruk lehernya. "Maafin aku, Ci. Aku enggak mau narik kamu ke dalam hidupku saat itu, Sayang. Pikiranku hanya tertuju pada Lala, dia memerlukanku dan aku enggak mau kamu...." Gigih terdiam sesaat dan mengendurkan pelukannya. Ia kembali menangkup pipi Yanti, karena saat ini ia membutuhkan menatap mata yang masih terlihat basah dan memerah itu. "Perjalananmu masih panjang, Sayang," ucap Gigi. Ia kembali mendekatkan kepala dan memberanikan diri untuk mengecup singkat bibir Yanti. "Aku pengen kamu bisa ngerasain semua yang kamu inginkan dan enggak terikat sama pria yang harus memiliki tanggung jawab pada anak bayi. Aku pengen kamu bisa bahagia."
Gigih terhenyak ketika jari lentik Yanti menangkup pipi dan menariknya mendekat. "Tapi aku maunya kamu, Mas," bisik Yanti sesaat sebelum ia kembali merasakan lembutnya ciuman sarat dengan makna yang membuatnya tak bisa menahan air mata. Terlebih lagi ketia ia kembali mendengar suara lembut di antara isakan yang membuatnya tak bisa manahan diri. "Ini semua salahmu." Gigih kembali mencium bibir Yanti dan mengangguk pelan.
Yanti melepas tautan bibir tanpa mengendurkan lilitan lengan di lehernya. "Semenjak malam pertama kamu jemput aku selepas rapat di himpunan, kamu enggak mau pergi dari hatiku. Semua ini salahmu, Mas. Karena kamu ambil dan bawa pergi hatiku."
"I love you, Sayang." Tangannya tak berhenti mengusap lembut wajah perempuan pengisi hatinya. "Enggak ada cinta yang lain untukku, hanya kamu."
Air mata kembali membasahi pipi keduanya. Mata yang saling menatap menggetarkan hati. Ucapan sayang tanpa kata keduanya rasakan di setiap tarikan napas mereka. Rasa lega yang mengisi hati membuat keduanya tak ingin saling melepas dan menjauh. "I'm home," ucap Gigih.
"You're home," balas Yanti sebelum Gigih kembali menariknya masuk dalam pelukannya. "Welcome home, Sayang."
Malam itu, setelah hampir seminggu Gigih bisa kembali melihat wajah manis perempuan yang tak pernah hilang dari hatinya, dan ia bisa menghela napas lega. Lengannya tak bisa jauh dari pundak Yanti yang sesekali mengeratkan pelukannya. Bibirnya tak berhenti mengecup puncak kepala Yanti yang bersandar di dadanya. "Sejak ngelihat kamu turun dari Mobil Dara, yang aku inginkan hanya satu. Meluk kamu dan enggak aku lepasin lagi."
"Lala," ucap Yanti.
Gigih menegakkan punggung, melepas pelukan dan menangkup pipi yang masih terasa basah. Dengan lembut, ia menghapus lelehan air mata yang membuat mata sipit itu memerah. "Lala adalah anakku, meski tidak ada setetes darahku di tubuhnya. Lala adalah anakku, walau tak ada namaku di dalam akte lahirnya. Lala adalah anakku. Namanya selalu ada di dalam doaku. Wajahnya selalu ada di dalam hati dan pikiranku—"
"Katanya aku yang selalu ada di dalam hati dan pikiranmu, Mas?!" protes Yanti yang terlihat mengulum Senyum. "Gombal banget rayuanmu selama ini!" tanpa memberi kesempatan Yanti untuk kembali melayangkan protes, ia mengangkat tubuh mungil itu dan didudukkan di atas pahanya. Pekikan yang meluncur dari bibir mungil itupun tak membuat Gigih mengurungkan niatnya.
"Kamu ada di dalam hati dan pikiranku. Kamu yang pengen aku cium setiap hari, setiap saat. Kamu yang pengen aku lihat setiap pagi setelah membuka mata dan sesaat sebelum memejamkam mata. Kamu adalah perempuan yang selalu muncul dalam mimpiku, menggodaku, merayu malam-malamku, melenakan hatiku. Membuat jantungku berdetak lebih kencang. Kamu... membuatku memikirkan tentang kebahagiaanku sendiri, bukan hanya tentang Lita, Lala ataupun Fitra. Kamu adalah perempuan yang ingin aku panggil dengan sebutan istriku. Kamu, Aryanti Citra Ramdhani, adalah calon istri Gigih Irawan. Perempuan yang aku cinta, sayang, lindungi, hormati dan akan kujaga sepanjang Tuhan mengizinkan. Kamu adalah calon ibu dari anak-anakku, termasuk Lala. Kamu adalah satu-satunya perempuan untukku."
Gigih menyudahi deklarasi panjangnya dengan ciuman lembut yang membuat keduanya harus memisahkan diri ketika gejolak di dalam dada tak bisa mereka berdua tahan. "Aku harus berhenti. Kita harus berhenti. Aku enggak berani jamin bisa menahan diri lebih lama jika terus-terusan meluk dan cium kamu seperti ini, Sayang." Belaian lembut jari Yanti di kedua pipinya, membuat Gigih semakin sulit untuk menahan diri.
"Bisa-bisanya kamu ngilang, bikin lubang besar dihatiku dan sepuluh tahun kemudian kamu muncul ... bikin hatiku utuh kembali." Air mata kembali membasahi pipi Yanti. "Saat dengar Lala manggil kamu Papa, aku merasa bodoh banget karena ngiranya kejebak di lubang yang sama." Gigih menggengam erat tangan Yanti. "Aku enggak mau kembali menjadi Yanti yang menangisi kebodohannya karena jatuh cinta sama seseorang yang kemudian ngilang tanpa kabar, Mas!"
Gigih kembali mencium Yanti. "I'm here to stay, if you let me. Aku enggak kemana-mana, selama kamu ngizinin aku tetap di sampingmu."
Yanti beranjak dan duduk di atas pangkuan Gigih, membuatnya terkejut dan hampir terjengkang. "Jangan kemana-mana!" pinta Yanti mengeratkan pelukannya. "Tetap di sini. Peluk aku. Temeni aku. Jagai aku. Sayangi aku. Cintai aku," pinta Yanti tanpa jeda di setiap permintaan dan tuntutannya.
"Mas tahu lagu apa yang pas buat kamu?" tanya Yanti tiba-tiba mengendurkan pelukan menatapnya dengan lembut. Jari lentik Yanti kembali mengusap pelan pipinya, dan itu kembali membuatnya sulit untuk menahan diri.
Gigih tak bisa menahan diri untuk tidak menangkup pipi perempuan dipangkuannya. "Lagu?" Anggukan Yanti membuatnya bingung. "Aku enggak tahu, Sayang," jawab Gigih yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"La gua, lah!" jawab Yanti yang terlihat tak bisa menahan diri. Tawa lembut mengisi ruang dengarnya tak lama setelah ia mendengar rayuan Yanti.
Untuk sesaat,Gigih melupakan semuanya. Ketakutannya. Keraguannya. Kekurangannya. Ketidaktahuannya.Kebodohannya dan semua hal yang membawa langkah mereka hingga di sini, berdua. "Akusuka lagu itu," jawab Gigih sesaat sebelum mendekatkan bibir dan mencium lembutYanti yang menyambutnya dengan senyuman.
Di KK ada cerita tentang Mas Ninu dan Putra, dolan ke sana aja kalau udah enggak sabar nunggu.
Aku publish ke ke wattpad, tapi nunggu Mas Gigih kelar dulu yaaa
Thank you sooooo much
Happy reading
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top