Bab 15
Bab 15
Yanti mengedarkan pandangan dan merasakan gugup yang muncul semenjak ia membuka mata. Panggung yang terletak di depan menjadi pusat perhatian banyak orang yang semakin membuatnya semakin gelisah. Setelah pertemuannya dengan gadis bernama Lala beberapa saat lalu, Yanti menghubungi pihak penyelenggara dan menerima ajakan untuk menjadi pengisi acara cooking class tersebut. Meski ia menyadari kekurangannya dalam berbicara di depan forum, tapi Yanti merasa ini waktunya untuk melangkah. Dengan rencana bakehouse dan juga kafe yang yang mulai berjalan, ia harus berani untuk menunjukkan kemampuannya.
"Mbak Yanti," kata perempuan dengan lanyard yang melingkari lehernya bertuliskan panitia. "Hallo, saya Aline penanggung jawab dan sekaligus MC yang akan nemenin Mbak nanti." Yanti menerima uluran tangan berjari lentik tersebut. "Gugup?" tanya Aline.
"Kelihatan banget, ya," ucapnya sambil memindai keadaan sekeliling untuk mengalihkan pikirannya. "Mbak Aline udah pernah lihat sosal media saya ... aku, kan?" tanyanya mencoba untuk sedikit santai. "Di video emang bisa kelihatan santai, karena enggak ada orang sebanyak ini yang ngeliatin aku. Gimana kalau aku mengacaukan acara Mbak Aline. Gimana kalau nanti resepnya gagal? Atau ovennya meleduk dan bikin mall kebakaran?!"
Tawa lembut Aline membuatnya mengalihkan pandangan dan menatap perempuan yang membuatnya merasa salah kostum. Dengan gaun berbahan katun tanpa lengan sepanjang mata kaki, Yanti terlihat seperti gadis remaja. Berbeda dengan Aline yang tampak professional dan cantik dengan celana jeans dan kemeja sutra berwarna biru tua. Make up sempurna tanpa cela membuat wajah cantik Aline teelihat semakin mempesona.
"Jujur ... aku enggak PD, Mbak," katanya mengurai rambut dan kembali mengikatnya. "Aku kelihatan bulukan di samping Mbak Aline gini."
Tanpa ia sangka Aline mengajaknya menuju balik panggung dan meminta duduk. "Mbak Yanti cantik gini kok bulukan," kata Aline memintanya duduk di salah satu kursi. "Tunggu di sini sebentar, nanti ada tim yang make up in Mbak."
"Tunggu!" teriak Yanti menahan langkah Aline. "Gimana caranya Mbak Aline ngilangin gugup?" tanyanya sebelum kehilangan keberanian. Semenjak beberapa saat lalu, ia tak bisa berhenti meremas jari jemarinya dan Aline melihat itu. Yanti tersenyum kikuk ketika merasakan remasan lembut di tangannya.
"Setiap orang pasti berbeda-beda caranya. Saya biasanya bayangin wajah suami." Senyum di bibir Aline menular padanya. "Suami saya adalah penggemar nomor satu, setiap ada kesempatan, pasti datang untuk lihat, dan itu bikin saya tenang. Coba Mbak Yanti bayangin wajah suami, pacar atau seseorang yang bikin hati adem. Mungkin itu bisa buat lebih tenang." Sebelum Yanti sempat menjawab, Aline meninggalkannya setelah seseorang datang dan membisikan sesuatu ke telinga perempuan yang sabar menjawab pertanyaannya.
Sambil menanti sesorang yang akan membantunya, Yanti mencoba memikirkan seseorang. Namun, tubuhnya sedikit tersentak ketika bayangan Gigih muncul dalam pikirannya. Senyum dan sorot mata pria yang selalu membuat jantungnya melonjak tinggi, kini justru membuat detaknya teratur. Menghilangkan semua gugup dan takut yang muncul, memberinya ketenangan dan mendatangkan senyum di bibirnya.
"Bayangin seseorang yang kita cintai memang selalu menghadirkan senyum di bibir." Yanti terkejut mendapati Aline berdiri di depannya. Namun, kalimat yang Aline katakan membuatnya jantungnya seketik berhenti.
"Kita cintai?" tanyanya.
"Iya, Mbak. Setidaknya itu yang aku rasakan setiap kali ingat suamiku. Mas Raffi selalu memberiku ketenangan kala panik datang dan membuatku ingin berteriak." Yanti tertegun memandang wajah Aline yang terlihat bersinar ketika menyebut nama suaminya. "Aku senang lihat Mbak Yanti udah enggak gugup lagi. Touch up dikit ya, biar lebih kelihatan glowing."
Tanpa Yanti sadari, bayangan wajah Gigih kembali memenuhi kepalanya dan bibirnya pun melengkung membayangkan senyum itu tertuju padanya. Hingga ia mendengar suara Aline membuka acara dan seseorang perempuan bernama Chita memintanya untuk bersiap dan jantungnya kembali berulah. Namun, ia tidak memiliki banyak waktu untuk menenangkan hati karena Aline baru saja memanggil namanya dan tepuk tangan riuh membuatnya harus segera beranjak dan melupakan semua gugup yang dirasakannya.
"Selamat siang Mbak Yanti," sapa Aline membuatnya lupa untuk menjawab. "Sepertinya tamu kehormatan kita agak gugup saking banyaknya peserta yang datang hari ini." Yanti mengikuti arah pandang Aline dan membelalak tidak percaya.
"Ya Tuhan ... ternyata ramai," katanya tersenyum malu. "Maaf Mbak Aline dan teman-teman yang sudah datang untuk ikutin cooking class siang ini, saya agak gugup."
Tepuk tangan membahana dan membuatnya bisa mulai menguasai diri. "Kita mulai dari awal ya." Sejak saat itu, Yanti mulai menguasai diri dan mulai menikmati acara. Menjawab setiap pertanyaan yang Aline lontarkan sambil mengatakan langkah langkah untuk membuat choux au craquelin sebagai tema kelas memasak hari itu. Keaktifan setiap orang memberinya dorongan untuk semakin menikmati setiap detiknya. Senyum pun tak hilang dari wajahnya, dan ia merasa menemukan sesuatu yang selama ini kurang dalam hidupnya.
Hampir tiga jam berlalu dengan cepat ketika Yanti menikmati setiap detinya. Wajah-wajah asing yang membuatnya merasa di terima menghapus semua ketakutannya selama ini. Ia menerima ucapan terima kasih dan tepuk tangan mengakhiri sesi memasak juga tanya jawab sebelum Aline menutup. Bahkan ia tak percaya ketika peserta dipersilahkan untuk berfoto dengannya, antusias semua orang semakin memberinya harapan. Meski Yanti merasa aneh mendapat perlakuan istimewa, tapi ia tetap menanggapi antusias semua orang dengan senyum. Bibirnya tak berhenti tersenyum dan sesekali menjawab pertanyaan yang ia dapatkan, hingga mendengar sesorang memanggilnya.
"Tante Yanti!" Teriakan terdengar jelas dari samping panggung, dan ia tak mempercayai siapa yang datang menemuinya.
"Lala, kamu beneran datang? Sama siapa?" tanyanya. "Enggak datang sendiri, kan? Jangan pergi dulu," pintanya ketika ada tiga orang perempuan yang memintanya untuk berfoto bersama. Sesekali ia melirik Lala yang terlihat sibuk dengan ponselnya dan kembali menerima ajakan seseorang untuk membicarakan tentang acara memasak lainnya. Dengan sabar ia menjawab dan beranjak setelah tidak ada antrian di depannya.
"Capek ternyata," ucapnya setelah duduk di samping Lala. "Datang sama siapa?" Yanti masih mengingat kemandirian gadis di sampingnya saat di toko bahan kue dan hatinya kuatir saat ini Lala datang tanpa pendamping. "Hari ini senang enggak?" tanyanya tidak sabar ingin mengetahui feedback dari peserta.
"Senang banget, Te. Enggak sabar pengen coba nanti di rumah," jawab Lala dengan mata berbinar. Tante bisa bernapas tenang, aku diantar Papa kok. Cuma aku enggak tahu Papa nunggu dimana." Kalimat Lala terpotong ketika ponsel di tangannya berdering. Yanti tak ingin menguping pembicaraan teman barunya, ia mengeluarkan ponsel dan mendapati pesan Gigih beberapa saat lalu.
Gigih Irawan
Kangen aku enggak?
Yanti tak menjawab pesan yang membuatnya tersenyum. Ia tak menyangka mendapat pesan berisi tiga kata yang menggambarkan perasaannya saat ini. Semenjak wajah Gigih muncul di kepalanya ketika gugup, Yanti merasa rindu pada pria yang mulai berhasil membuatnya jatuh cinta lagi. Meski menurut pengakuan Gigih, semua itu terjadi secara tidak sengaja. Ia pun tak sabar ingin segera pulang dan membalas pesan itu.
"Nah, itu Papa. Papa sini!" teriak Lala sambil melambaikan tangan pada pria bertopi biru yang melangkah menuju di mana mereka berdua duduk di samping panggung. Ada sesuatu yang familiar di matanya ketika melihat cara pria itu berjalan, Yanti tak bisa melihat wajahnya dengan jelas saat ini. Saat ini ia duduk di samping Lala yang masih melambaikan tangan dengan senyum terkembang.
Yanti kembali membuka jendela pesan Gigih dan berencana untuk membalasnya ketika mendengar suara yang sudah akrab di telinganya. "Udah selesai acara masaknya, Sayang?" Ia mendongakkan kepala dan dunianya berhenti. Sapaan sayang itu bukan untuknya. Senyum yang terkembang itu bukan untuknya. Namun, mata membelalak tidak percaya itu untuk dirinya.
"Mas Gigih," katanya dengan tanda tanya.
"Cici ... kamu—"
"Papa kenal tante Yanti?!" Kepalanya tersentak ke samping ketika menyadari panggilan Lala untuk pria yang pernah mengatakan tentang status pernikahan padanya. "Kok Papa enggak bilang kalau kenal sama idola Lala, sih!"
"Ini papanya Lala?" tanya Yanti dengan suara bergetar ke arah gadis yang menganggukkan kepala.
Yanti merasa jantungnya berhenti memompa darah ketika kenyataan tentang Gigih memenuhi kepalanya. Lala pernah bilang umurnya sepuluh tahun. Gigih menghilang darinya sepuluh tahun yang lalu. Otaknya tak bisa berhenti berputar, memikirkan semua kebohongan yang ia dengar sejak berkenalan dengan Gigih. Yanti bertanya dalam hati apakah semua yang Gigih katakan padanya hanya kebohongan. Ia bisa merasakan tatapan Gigih padanya dan seketika kakinya melangkah pergi. Panggilan Gigih, Lala bahkan Aline yang ingin menahannya tak membuat langkahnya berhenti.
Dari semua pikiran buruk yang pernah muncul di kepalanya sejak menghilangnya Gigih, tak sekalipun ia berpikir pria itu memiliki anak. Dalam sekejap, semua tawa dan kehangatan yang ia rasakan sejak kemunculan Gigih dalam hidupnya, terganti dengan amarah yang membuat napasnya memburu. Yanti bisa merasakan kembali seperti sepuluh tahun lalu, ketika semua harapannya hancur berantakan. Namun, kali ini, hatinya terasa lebih sakit, karena rasa cinta yang ia punya untuk Gigih jauh lebih besar .
Yuhuuu ... ada Mbak ALine yang lelah ditikung mulu
Happy reading guys
Love, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top