Bab 14
Bab14
Mendengar cerita "Harus sampai Ketintang gini, Mas?" protes Yanti terdengar tak lama setelah Gigih menghentikan mobil yang ia kendarai tepat di depan rumah makan yang menyediakan menu rawon dan juga empat suwir. "Padahal tadi cari pecel deket-deket sana juga ada, kan," protes Yanti tak menyurutkan langkahnya. Gigih memulih bangku terluar untuk memberinya mereka berdua jarak dengan pengunjung lain, karena ia ingin menikmati kebersamaan mereka berdua.
"Ini makanan kesukaan Putra, padahal dia enggak terlalu suka daging. Rendang yang super nikmat pun, bagi Putra itu biasa. Setiap ada kesempatan, dia selalu ke sini." Gigih memulai pembicaraan tentang Putra tak lama setelah pesanan keduanya tertata rapi. Dengan sigap, ia meraih tempat sambal dan menjauhkan dari jangkauan Yanti yang cemberut ke arahnya. "Jangan sambel, Yang. Perutnya sakit ntar." Gigih bisa merasakan ketidaksetujuan Yanti mendengarnya memanggil Sayang, tapi ia memutuskan untuk tidak mau tahu. "Selain rawon, Putra suka banget sama lontong kupang," kata Gigih di antara kunyahannya.
"Lontong kupang? Selera Mas Putra lokal banget, Mas." pertama kali ia mengetahui kesukaan Putra pada makanan berbahan dasar sejenis kerang kecil-kecil membuatnya keheranan. Pasalnya, wajah sahabatnya tersebut jauh dari kata lokal. Berkulit putih bersih dengan wajah menarik, semua orang akan mengira Putra adalah lelaki pesolek yang lebih menyukai makanan mahal dan bukan berdesakan di warung yang selalu ramai.
"Wajah boleh interlokal, selera makan dia lokal banget, Ci." Berbeda dengannya yang tidak terlalu pemilih dalam hal makanan—kecuali durian—Gigih bisa menikmati semua makanan. "Kayaknya yang ada petisnya, dia suka banget. Apalagi rujak cingur, meski harga sampai seratus ribu, dia enggak masalah." Pembicaraan seputar makanan kesukaan Putra tak berhenti di sana, karena Gigih bertekad untuk memberi tahu semua yang ia ketahui. Kecuali sesuatu yang terlalu pribadi.
"Dara suka spaghetti. Dia paling suka makanan yang ada keju-kejunya gitu." Gigih tertawa mendapati perbedaan kedua orang yang terlalu bertolak belakang dalam selera makanan. "Dua orang itu pasti susah kalalu ngedate, ya, Mas. Satu maunya lokal, yang satunya lidah interlokal."
"Enggak seperti kita,"
"Iya," jawab Yanti sebelum tersadar dengan jawabannya. "Eh, maksudku itu kita berdua enggak picky sama makanan. Bukan masalah ngedate-nya." Semburat merah di pipi Yanti membuat hatinya bahagia. "Jangan senyum-senyum!" perintah Yanti meski Gigih bisa melihat saat ini perempuan yang tak berani menegakkan kepala itu sibuk dengan empal daging di piringnya. "Aku ngerti kamu pasti senyum-senyum enggak jelas."
Mendapati Yanti tersipu malu mengembangkan senyum di bibirnya, seolah itu membuatnya jadi pria paling bahagia di muka bumi. "Yany, aku lihat kalau kamu minta Wisnu ngerubah layout dapur," kata Gigih teringat perubahan yang ia dapatkan semalam. "Kenapa?"
Yanti menyudahi makan dan menegakkan punggung, menatapnya tanpa ragu. "Aku pengen buka bakehouse di rumah nanti. Aku pengen bikin croissant, danish pastry, pain au chocolat dan banyak lagi. Sejak memutuskan untuk memperbaiki rumah peninggalan Bapak, aku pengen memaksimalkan semuanya. Aku juga minta Mas Wisnu untuk ngerubah tampilan luar, karena pengen jadikan halaman depan jadi café kecil. Aku tahu itu riskan, bikin usaha tapi lokasi di dalam perumahan, tapi aku merasa itu bisa aku lakukan."
Gigih tak menyela Yanti yang terlihat bersinar menceritakan rencananya. Wajah perempuan yang terlihat semakin cerah itu membuatnya semakin yakin tak ingin lagi berjauhan darinya. "Mas Gih dengerin aku, kan?"
"Denger, Sayang," jawabnya serious. "Aku, kan, enggak mau motong rencana kamu. Aku bisa bantu apa?" Pipi itu kembali memerah.
"Jangan bikin aku baper! Ini waktunya serius!" perintah Yanti yang dengan rela Gigih jawab dengan anggukan membawa senyum di bibir merah itu. "Aku udah sering terima pesanan pastry atau croissant selama ini. Sosial media dan video tutorial yang aku posting selama ini sudah jadi semacam promo terselubung, soft selling gitu, lah." Lanjut Yanti yang sesekali menundukkan kepala seolah menyembunyikan sesuatu. Namun, setelah beberapa saat, ia kembali terlihat tenang dan melanjutkan ceritanya. "Ibu sempat bilang aku harus manfaatin pemberian bapak. Buang jauh rasa marah, dendam ataupun benci."
"Karena itu, kamu pengen memulai bikin bakehouse di rumah sendiri?" Senyum yang terkembang dibibir merah itu menjawab pertanyaannya. Gigih bersyukur ketegangan atau kemarahan ketika cerita tentang bapaknya menguap seiring informasi tentang Putra dan Dara. Kesedihan ketika Yanti membuka diri bisa ia lihat di wajah yang selalu terlihat lembut, dan itu membuat Gigih ingin melingkarkan lengan, membisikkan kata sayang, memberikan penghiburan. Namun, ia pun menyadari telah menjadi bagian dari masalah yang Yanti hadapi.
"Kenapa pembicaraan kita selalu lompat-lompat?" Gigih terhenyak dari lamunanya ketika mendengar pertanyaan Yanti. "Kita selalu lompat dari curhatanku tentang bapak, Dara dan Putra sampai rencana bakehouse. Mas Gigih sadar, enggak?"
"Kalau aku enggak sadar, berarti sekarang pingsan, Yang," jawabnya ingin membuat suasana terasa ringan setelah pembicaraan berat mereka. "Jangan marah dulu," ucapnya ketika wajah cemberut menggantikan keceriaan beberapa saat lalu. "Aku enggak bisa bilang kalau saat ini ngerti gimana perasaanmu, karena aku enggak ngerti." Gigih memberanikan diri menggenggam tangan Yanti.
"Tapi aku bisa bilang kalau, aku merasa bersalah karena menjadi bagian dari kisah sedihmu. Hari itu—"
"Stop!" Gigih membelalakkan mata ketika Yanti mencegahnya untuk menjelaskan. "Aku belum memintamu untuk ngejelasin, Mas."
"Sayang—" Yanti kembali mencegahnya, dengan kedua tangan menutup kedua telinganya. Gigih tak tahu alasan di balik keengganan Yanti untuk mendengarkan penjelasannya. Gigih tahu rasa penasaran pasti ada di hati, tapi sikap penolakan yang masih saja ia dapatkan tak membuat perasaan bersalahnya berkurang.
"Aku berterima kasih untuk usahamu meringankan suasana yang tiba-tiba jadi canggung setelah ceritaku tentang bapak. Tapi jujur, aku cerita bukan untuk membuatmu merasa bersalah, Mas." Gigih terkejut mendengar suara Yanti yang sesaat lalu seolah tak ingin mendengar apapun darinya. "Aku suka dengan apa yang terjadi saat ini, kedekatan kita ini," kata Yanti sambil menggerakkan jari di antara mereka berdua. "Meski terkadang terasa menakutkan, tapi aku suka. Rasa nyaman yang timbul setiap kali menghabiskan waktu sama kamu, membuatku tak ingin merusaknya dengan penjelasan tentang kejadian sepuluh tahun lalu."
Gigih menahan diri untuk tidak membuka bibirnya. "Aku tahu saat ini Mas pasti pengen banget jelasin semuanya ke aku, tapi aku belum siap."
"Lalu ... mau kamu apa?" tanya Gigih yang kembali mengulurkan tangan dan berharap Yanti menyambutnya dengan yakin. Setelah menanti beberapa saat dengan hati berdebar, ia melihat jari lentik itu menyambutnya.
"Gini aja dulu, ya, Mas." Permintaan yang tak akan pernah tolak. Apapun yang Yanti inginkan, ia bertekad untuk memenuhinya, meski itu membuatnya harus menunda penjelasannya. "Mas Gigih selesaikan rumahku. Kita saling membagi informasi tentang Dara dan Mas Putra, di sela-sela itu ... aku pengen kita mulai saling mengenal."
"Mulai dari nol, Ya, Sayang," kata Gigih dengan mimik serius, dan tak lama kemudian, keduanya tertawa menyadari kekonyolan mereka berdua. Slogan yang banyak dijadikan meme-meme kocak tersebut menjadi bagian dari hubungan mereka berdua sejak pagi menjelang siang hari itu.
Di dalam hati, Gigih menyadari kesalahannya di masa lalu akan selalu mengikuti mereka berdua. Keraguan yang muncul karena Yanti menolak untuk mendengar penjelasannya menghantui langkahnya saat ini. Namun, ia tak kuasa untuk menolak permintaan perempuan yang masih menggenggam erat hatinya sejak sepuluh tahun lalu.
Speed update beneran nih Mas Gigih-nya
Happy reading ya
Love, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top