Bab 12


Bab 12 


Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, dan banyak hal terjadi dan berubah. Pola pikir dan caranya memandang sesuatu pun berubah. Begitu juga pola pikirnya. Yanti saat ini, berbeda dengan dirinya di masa lalu. Namun, ketika aroma parfum Gigih memasuki penciumannya, ia merasa kembali ke masa silam. Masa di mana nama Gigih selalu muncul di pikirannya. Hangat tubuh pria yang membawanya menyusuri jalanan kota Surabaya malam ini membuatnya merasa nyaman. Perasaan rindu yang tertahan selama ini pun membuatnya merasa tak bisa berpikir lurus.

Dengan sadar Yanti melingkarkan lengan di perut Gigih. Bahkan sesekali, ia menyandarkan kepala ke punggung tegak yang dulu memberinya harapan. Tanpa ada penolakan ia menyandarkan tubuh sepenuhnya pada pria yang tak mengatakan sepatah kata pun sepanjang penjalanan. Namun, saat ini, tidak perlu ada kata di antara mereka berdua, karena Yanti kembali merasakan sesuatu yang menghilang darinya sepuluh tahun lalu.

Tidak ada marah, kekecewaan, ataupun amarah di hatinya saat ini. Yanti merasa pulang ke rumah, meski ia tahu ini hanya sesaat. Hingga tiba-tiba suara lembut Gigih memasuki ruang dengar dan membuyarkan semua lamunannya. "Ci, kenapa enggak mau dengar penjelasanku?"

Yanti menegakkan punggung dan menajamkan telinga. Ia bertanya dalam hati, bagaimana bisa saat ini suara Gigih jelas terdengar di telinga. "Gimana aku bisa dengar suara Mas Gigih, padahal kaca helm tertutup rapat?" tanyanya pelan tanpa menyadari saat ini Gigih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Helm yang kita pakai ada tambahan intercomnya, Ci. Tanpa buka kaca helm, aku dan kamu bisa ngomong biasa tanpa harus teriak-teriak," jawab Gigih menarik tangannya kembali, membuat tubuh yang beberapa saat lalu menegak kembali menyandar ke punggung tegap itu.

"O gitu," jawab Yanti mengangguk. "Kenapa dari tadi Mas Gigih enggak ngomong apa-apa." Ia menghentikan kalimatnya ketika tersadar beberapa saat lalu bibirnya tanpa sadar mengucapan sesuatu yang seharusnya untuk dirinya sendiri. "Jadi tadi Mas Gigih dengar semuanya?"

"Jangan marah ... tapi aku dengar semuanya." Saat ini, Yanti bersyukur Gigih tidak bisa melihatnya, karena ia bisa merasakan hangat yang muncul di pipinya. Tanpa sadar, tangannya memukul pelan paha Gigih sambil melayangkan protes. "Kenapa enggak bilang apa-apa, sih, Mas! itu kan bukan untuk kamu dengar."

Bukan permintaan maaf yang saat ini memasuki telinganya, karena suara tawa Gigih terdengar jelas. Yanti bisa merasakan getaran punggung yang saat ini menahan berat tubuhnya, dan itu memperparah semua yang dirasakannya. "Sorry, Ci. Harusnya aku menghentikanmu, tapi ... masalahnya, itu juga yang kurasakan saat ini." Yanti menarik tangannya, dan Gigih menahannya. "Sini aja!"

Yanti bisa merasakan hangat yang menjalar naik ke pipinya setelah mendengar pengakuan Gigih. Namun, keraguan yang masih menggantung rendah membuat hatinya sulit untuk terbuka lebar. "Enggak seharusnya kamu ngomong gitu, Mas," pintanya dengan suara pelan kembali mengingat cerita antara mereka berdua.

"Ci, Taman Apsari. Mau?" Tanpa menunggunya untuk menjawab ajakan itu, Gigih mengarahkan motor menuju tengah kota. "Ci, jangan marah." Yanti masih terdiam karena tak tahu apa yang harus ia katakan. Hingga motor berhenti di depan kafe yang terlihat ramai meski malam semakin larut, ia masih diam.

"Tunggu di sana aja!" Yanti mengikuti arah yang Gigih tunjuk dan berjalan tanpa menolak perintah itu.

Pertemuan malam ini seharuanya berisi dengan pembicaraan tentang Dara dan juga Putra. Yanti memiliki daftar pertanyaan di tangannya, tapi sejak ia melihat Gigih di atas motor memandangnya dengan senyum di bibir, ia meragukan niatannya. Hingga keduanya duduk di dalam kafe beberapa saat lalu. Namun, saat ini, yang ada di kepalanya hanya pertanyaan tentang perasaannya pada Gigih.

Yanti tak menampik bahwa saat ini, jantungnya berdetak kencang setiap kali berdekatan dengan pria yang pernah menghilang darinya. Ia pun mengakui mungkin masih ada rasa yang tertinggal di antara mereka berdua. Namun, ia tak bisa melupakan semua yang pernah terjadi sepuluh tahun lalu. Ia tak bisa menghapus sedih dan sakit yang dirasakannya ketika Gigih tiba-tiba seolah ditelan bumi.

"Kenapa enggak bolehi aku ngejelasin semuanya, Ci?" pertanyaan Gigih membuyarkan lamunannya. "Sejak pertemuan kita pertama, aku pengen jelasin semuanya, tapi kamu—"

"Kenapa kamu pengen ngejelasin semuanya? Apa yang kamu harapkan setelah menjelaskan semuanya? Kata maaf, atau Mas Gigih berharap kita kembali memulai dan mengejar ketinggalan?!" Kemarahan tiba-tiba mengisi hatinya. Ia merasa bodoh karena sejak melihat Gigih menjemputnya, perasaan itu kembali mengisi hatinya. "Mau kamu apa, sih? Harusnya kita bahas Dara dan Putra, kan?" Yanti menghela napas panjang dan menanti Gigih menjawab pertanyaannya, meski saat ini jantungnya merasa tak siap untuk mendengar jawaban pria yang tak melepas pandangan darinya.

"Gimana kalau aku jawab, aku mau bikin kamu jatuh cinta lagi?"

"Lagi?" tanya Yanti dengan kening mengernyit. "Kok yakin kalau dulu aku jatuh cinta sama kamu, Mas?!"

"Yakin, lah!" jawab Gigih santai sambil meraih gelas kopi hitam di antara mereka berdua. Ketenangan itu membuat Yanti semakin merasa jengkel. "Aku pengen revisi syarat pertukaran informasi di antara kita berdua."

Sambil melipat tangan di dada, Yanti menunggu Gigih mengatakan isi kepalanya. Namun, hingga beberapa saat, pria yang tak melepas pandangan darinya saat ini, tak kunjung membuka bibirnya. "Katanya mau ngerevisi, apa?!"

"Aku bakalan bantu Dara sekuat tenaga untuk dekat sama Putra, tapi aku minta satu hal sama kamu."

Ia menggelengkan kepala dan bersiap untuk menolak ketika bayangan wajah Dara yang terlihat bersinar ketika menceritakan tentang ketertarikannya pada Putra melintas. Dara berhak untuk bahagia, ia merasa berhutang pada sahabatnya. Meskipun tak ada sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu mereka berdua.

"Ya wis, aku dengerin revisi itu. apa?!"

"Aku bantu kamu, asal kamu izinkan aku untuk berusaha buat kamu jatuh cinta lagi sama aku?"

Sejak pertemuan pertama mereka, Yanti bisa merasakan ketertarikan Gigih padanya. Namun, ia tak menyangka Gigih akan mengatakan di depannya seperti malam ini. "Dengan semua yang pernah terjadi di masa lalu, enggak mudah, Mas." jawabnya berterus terang.

"Gimana kalau aku buat kamu enggak sengaja jatuh cinta lagi." Yanti tidak menyembunyikan keterkejutannya mendengar kalimat Gigih yang disampaikan dengan jelas. Tanpa ada jejak tawa. Tanpa ada keraguan. Yanti bisa melihat sosok pria yang menarik hatinya sejak pertemuan pertama mereka di kampus.

"Emang cara kerja jatuh cinta begitu, kan?" tanya Yanti di sela tawa di bibirnya. "Kita emang enggak bisa memilih akan jatuh cinta pada siapa. Gimana bisa Mas Gigih bilang kalau bakalan bikin aku enggak sengaja jatuh cinta lagi sama kamu?"

"Kamu tahu, menurut KBBI, sengaja adalah dimaksudkan atau direncanakan. Jadi, kalau enggak sengaja adalah tidak dimaksudkan atau tidak direncanakan." Mata Yanti membulat mendengar Gigih menerangkan tentang kata sengaja menurut KBBI.

"KBBI?" tanya Yanti. "Sekarang kita memasuki waktunya mata kuliah bahasa Indonesia?" Meski tak ada senyum di bibir Gigih, ia tak bisa menahan diri.

Gigih mengangkat tangan tanda memintanya untuk berhenti tertawa, "Kamu boleh ketawa, tapi aku bertekad bikin kamu enggak sengaja jatuh cinta, lagi, Ci!" Meski Yanti berusaha menahan laju bahagia yang dirasakannya. ia tak menampik rasa yang datang ketika seseorang menunjukkan ketertarikan sebesar Gigih, walaupun sejarah masa lalu mereka membuatnya sakit hati. "Dan kamu belum menjawab pertanyaanku."

"Kenapa aku belum mau dengar penjelasanmu?" Yanti tersenyum ketika melihat anggukan pria yang tak melepas pandangan darinya saat ini. "Mungkin aku ... takut. Mungkin aku belum siap. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, banyak hal yang sudah terjadi. Aku bohong kalau enggak penasaran dengan alasan di balik ngilangmu waktu itu, tapi aku harus jujur kalau ada rasa takut."

"Takut?" Yanti mengangguk. "Takut apa Ci? Apa yang kamu takutkan dari mendengar penjelasanku?"

Sejak melihat Gigih setelah sepuluh tahun berselang, Yanti mencoba untuk menyelami perasaannya dan hingga malam ini ia tak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Bersemayam seolah menanti hingga waktu yang tepat untuk muncul. Hingga mendengar revisi yang membuatnya terkejut. "Kalau kemarin ... mungkin aku enggak punya jawaban atas pertanyaan itu. Tapi, setelah mendengar revisimu tadi, akhirnya aku mengerti. Aku takut setelah mendengar penjelasanmu, aku akan dengan mudah enggak sengaja jatuh cinta sama kamu."

Yanti bisa melihat perubahan wajah Gigih mendengar penjelasannya, meski ia tak bisa membacanya. "Seburuk itukah jatuh cinta sama aku, Ci?"

"Enggak," jawabnya tegas. "Aku marah sama kamu. Aku benci kamu. Aku bingung. Ada banyak pertanyaan di kepalaku, dan itu semua tersimpan dan mengendap selama ini, Mas." Yanti terdiam dan tersenyum mendapati suasana yang berubah di antara mereka berdua. "Aku bukan perempuan yang gagal move on dan enggak bisa meninggalkan masa lalu, itu bukan aku. Aku hanya takut—"

"Terluka untuk kedua kali." Gigih menyelesaikan kalimatnya dan keduanya terdiam dengan pikiran tak tentu arah. Yanti mengedarkan pandangan, menolak untuk memandang Gigih. Meskipun ia bisa merasakan tatapan tajam yang seakan menempus kepalanya saat ini.

"Berbeda denganku, Putra itu pria yang paling anti bikin perempuan menangis. Perempuan akan mudah untuk jatuh cinta padanya, meski enggak banyak omong. Dia enggak bermulut manis, tapi setiap kata yang muncul dari bibirnya, bisa buat perempuan tersenyum malu." Yanti terkejut dengan perubahan topik di antara mereka berdua, tapi tidak mengatakan apapun untuk mencegah Gigih menceritakan tentang temannya.

"Dia belum pernah punya kekasih yang serius, bukan karena enggak pengen manikah atau enggak suka perempuan, ya!" Senyum di bibir Gigih menular padanya. "Putra dekat sama mamanya. Tante Ine adalah satu-satunya wanita dalam hidupnya selama ini." Mendengar hal itu, senyum di bibir Yanti semakin lebar. Ia selalu kagum dengan pria yang sekat dengan ibunya.

"Dara enggak dekat sama ibunya. Bahkan sejak SMA, dia sudah keluar dari rumah dan memilih untuk tinggal sendiri. Jangan tanya kenapa, karena itu bukan ceritaku." Yanti memutuskan untuk mengikuti jejak Gigih. "Dara mudah untuk dekat dengan siapapun, tapi sepertinya kali ini berbeda, Mas. Aku enggak tahu sebesar apa ketertarikan Dara untuk Mas Putra, dan aku enggak tahu arah yang akan dia tuju, aku hanya ingin mengumpulkan informasi untuknya. Meski itu berarti harus mempertaruhkan hati untuk kedua kalinya padamu."

Saat ini, tatapan mata Gigih tidak membuatnya canggung, malu ataupun salah tingkah. Ada kebulatan tekad di sana. Ada kehangatan yang mengusir keraguan di hati ketika hendak melingkarkan lengan di pinggang Gigih. Ada kenyamanan yang bisa ia rasakan sejak ia memutuskan untuk mengikuti nasehat ibunya. Yanti tak melepas pandangannya dan tersenyum lembut.

"Aku enggak tahu apa yang terjadi ini," kata Yanti ketika melihat Gigih membuka mulut. "Sedetik lalu, aku marah karena kalimatmu. Tapi sebelum itu, dengan sadar aku meluk kamu dari belakang. Menikmati kedekatan kita. Bahkan kalau boleh jujur, aku menikmati kehangatan antara kita. Tapi ... ini semua enggak seharusnya terjadi, kan? Setelah apa yang terjadi di antara kita sepuluh tahun lalu, aku pengen terus bentangin jarak. Aku enggak mau kita menjadi sedekat itu lagi, tapi rasanya ... rasanya banyak hal yang justru membuatku semakin dekat ke kamu."

Yanti mengutarakan semua yang dirasakannya tanpa memikirkan apa yang akan Gigih pikirkan tentangnya. Ia tak ingin mengetahui apa yang akan terjadi nanti, karena kepalanya terlalu penuh saat ini. "Kita berdua berubah. Banyak hal yang sudah terjadi dan enggak mungkin kita begitu saja memulai atau mengejar ketinggalan. Iya, kan, Mas?!"

Gigih masih terdiam tanpa mengalihkan pandangan darinya. "Aku belum ingin mengetahui alasan di balik ngilangmu waktu itu, jadi jangan menyelaku dan mengatakan apapun yang ingin Mas Gigih katakan!" Yanti kembali menyela ketika melihat bibir Gigih kembali terbuka.

"Aku ngerti, Ci! Sekarang dengerin aku dulu.!" perintah Gigih membuat bibinya tertutup rapat. "Kamu enggak sendiri, karena sejak melihatmu turun dari mobil bersama Dara, rasa bersalah yang ada di hati kembali datang. Aku ngerti dengan semua yang baru saja kamu katakan." Gigih mengulurkan tangan, dan tanpa ragu, ia menyambutnya.

"Ci, aku enggak memintamu untuk melakukan sesuatu yang enggak kamu inginkan. Aku hanya ingin kesempatan. Kesempatan untuk kembali membuatmu jatuh cinta padaku lagi."

"Maaf," kata Yanti setelah menyadari kebodohannya. "Enggkl seharusnya aku ngomel seperti itu, mungkin efek mau resign. Ini minggu terakhirku di kantor, jadi mood naik turun." Yanti merasa lega, malu dan juga takut, karena mengutarakan semua yang sudah tersimpan di dalam kepalanya. Hubungannya bersama Gigih, berbeda dengan ketika mereka berdua masih berusia dua puluhan.

"Aku anter pulang, yuk," ucap Gigih yang tidak mendapat penolakan darinya. Tanpa ragu, Yanti berdiri dan keluar meninggalkan Gigih dibelakangnya. Membentangkan jarak membuatnya bisa sedikit bernapas lega, hingga ia bisa merasakan kehadiran Gigih tepat di belakangnya.

Yanti berencana menjauh dari punggung Gigih ketika sudah berada di atas motor, tapi suara Gigih membuat semuanya buyar. "Aku enggak bakalan jalan kalau kamu enggak pegangan, Ci!"

"Mas ... setelah apa yang aku katakan tadi, bukannya harusnya kita memerlukan jarak aman." Yanti masih tak bisa menjaga detak jantungnya, dan berdekatan dengan Gigih semenjak tadi tak membuat semuanya mudah.

"Ci!" perintah Gigih. Dengan ragu, Yanti mencengkeram sisi kemeja Gigih, tapi pria yang saat ini menolak untuk melarikan motornya tersebut menarik kedua tangannya hingga melingkar sempurna di perut. Membuat mereka kembali tak berjarak. "Aku jauh lebih nyaman kalau tahu kamu aman gini, Ar."

"Aman aman ... jantungku enggak aman, Mas!" hardiknya tanpa malu.

"Kamu kira jantungku aman!" jawaban Gigih membungkam apapun yang ingin Yanti katakan dan mengeratkan lengan sebelum merebahkan kepala di punggung tegap yang menawarkan kenyamanan dan keamanan baginya.


Lanjut ngadate sama Mas Gigih, yuk
Happy reading

love, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top