Bab 11


Bab 11


Mendengar setiap kata yang terucap dari bibir Yanti seolah perempuan itu tak ingin berurusan dengannya dan itu membuat Gigih merasa tidak nyaman. Sebelum ia mengatakan sesuatu yang akan disesalinya, ia bediri tiba-tiba meski itu membuat Yanti terkejut. "Aku bayar dulu." Tanpa menunggu jawaban, Gigih meninggalkan perempuan yang terlihat masih memikirkan semua pertanyaan di kepalanya. Hingga ia kembali, Yanti masih terlihat berpikir. "Ya ampun, Ci. Gitu kok di pikir, to. Kata orang, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Aku dan kamu bisa dapatkan informasi yang mereka berdua mau sambil mengejar ketinggalan. Aku enggak keberatan, kok."

Seolah tersadar, Yanti membelalakkan mata ke arahnya. "Enak aja! Pulang aja, kalau gitu!" ajak Yanti tiba-tiba sebelum keluar meninggalkannya sendiri di tengah hiruk pikuk warung yang semakin malam terlihat semakin ramai.

"Kok pulang?" Gigih kembali memasangkan helm di kepala Yanti dan menjejajarkan wajah keduanya. "Bukannya malam ini pengen tanya sesuatu tentang Putra?" Yanti tersentak mendengarnya. "Kamu lupa?"

"Iya," jawabnya tanpa sadar. "Tapi ...." Entah apa yang terjadi selama beberapa menit lalu, Yanti terlihat aneh di matanya. Perempuan yang selalu tampak yakin itu, terlihat bingung dan ragu.

Gigih mengarahkan motor ke arah Tea house yang beberapa hari lalu menjadi tujuannya bersama Lala. Ia merasa suasana tenang yang mereka tawaran bisa membantu Yanti untuk lebih santai menghabiskan waktu berdua bersamanya. Kurang dari tiga puluh menit, motornya membelah jalanan menuju Surabaya Barat, menjauh dari salah satu tempat kenangan mereka berdua.

"Tea house," kata Yanti sambil menyerahkan helm padanya. "Kok enggak ngopi aja, Mas. Udah enggak ngopi?"

"Kamu, kan, enggak ngopi, Ci. Yuk, kamu pasti suka di sini." Gigih melangkah menuju pintu masuk dan menanti hingga wanita yang terlihat kecil dalam pelukan jaketnya tersebut melewatinya.

Interior tempat yang terasa berbeda dengan semua kafe di Surabaya terlihat menarik perhatian Yanti. Gigih menyadari sejak keduanya duduk menanti pesanan mereka, perempuan di depannya tak berhenti mengamati setiap sudut dengan mata berbinar.

"Kamu kok tahu tempat ini, Mas?" tanya Yanti tanpa memandang ke arahnya. "Suasananya enak, bikin betah duduk lama di sini sambil baca novel."

"Masih suka baca novel?" tanyanya setelah mendengar pengakuan Yanti. "Udah nambah berapa banyak koleksinya? Masih suka ke periplus?" Senyum di bibir Yanti seolah menjawab semua pertanyaannya.

Tanpa menjawab petanyaannya, Yanti meraih tas dan menunjukkan novel yang ada di dalam tas. "Karena tas hari ini enggak terlalu gede, jadi bawa yang tipis," kata Yanti menunjukkan buku bersampul merahnya. "Jangan tanya ada berapa buku yang ada disini, ya, Mas." Gigih menggeleng keheranan melihat perangkat baca yang Yanti tunjukkan padanya.

"Sekarang jadi suka e-book? Bukannya dulu paling suka kalau pegang buku fisik?" Kecintaan Yanti terhadap novel membuatnya mudah untuk membangun percakapan, seperti saat ini. Setiap kali Gigih mendengarkan cerita Yanti tentang buku yang sedang dibacanya, matanya tak bisa lepas dari perempuan yang terlihat bersemangat. Membuatnya tak bisa menahan diri.

"Fictional man itu jauh lebih memuaskan gitu, lho, Mas. Mereka kadang ngeselin, tapi juga bikin hati meleleh. Meski bikin sakit hati tapi perasaan mereka itu beneran bisa aku rasakan. Memuaskan banget, kan?" Gigih kembali bisa melihat mata sipit itu terlihat berbinar dan sekali lagi, ia tak mampu berpaling. Ia harus menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan membelai pipi Yanti yang terlihat bersemu merah.

"Itu kenapa sampai sekarang kamu belum menikah? Karena kamu belum menemukan seseorang yang bisa bikin kamu jatuh cinta?" Suasana akrab yang beberapa saat lalu ada di antara keduanya, seketika menghilang. Mata membelalak Yanti, membuatnya merasa bersalah menanyakan sesuatu yang terasa terlalu personal. "Sorry," kata Gigih. "Enggak seharusnya aku tanya gitu."

Wajahnya tak terlihat marah, tapi Gigih bisa merasakan sesuatu berubah. Yanti terlihat tenang ketika meraih gelas berisi teh yang ada di depannya. "Is it real?" Keningnya mengernyit tak tahu apa yang Yanti maksud. "Semuanya yang pernah terjadi di antara kita berdua. Semua tawa, canda bahkan tangis yang pernah aku bagi sama kamu... semuanya nyata atau itu hanya ada di aku?"

"Enggak!" jawab Gigih tanpa ragu. "Semua itu nyata dan enggak hanya di kamu, karena itu juga di sini." Gigih bisa merasakan arah pandang Yanti, karena mata sipit itu tertuju pada tangan yang ada di dada kirinya saat ini. "Ini waktunya aku jelasin semuanya atau....?"

Gelengan kepala Yanti membuat tanya dikepalanya semakin besar. "Enggak sekarang, karena malam ini, ada yang lebih penting."

"Dara dan Putra." Yanti mengangguk. "Apa yang pengen kamu tanyakan?" tanya Gigih sambil menopang dagu menatap perempuan yang tertunduk malu di depannya. Mencoba untuk mengikuti arah yang Yanti tuju, meski saat ini yang diinginkannya adalah menjelaskan semua yang terjadi padanya sepuluh tahun silam. "Kenapa, Ci?"

Beberapa kali bibir Yanti terbuka dan tertutup. Pandangannya ke segala penjuru, kecuali padanya. "Kira-kira teman Mas Gigih tipe cowok yang keberatan kalau liat cewek agresif, enggak? Maksudku." Yanti menjeda pertanyaannya. "Maksudku, gaya pacarannya seperti apa, sih? Dia tipe cowok yang diem tapi aktif atau ...." Yanti kembali terdiam, dan Gigih semakin bingung.

Yanti terlihat gugup, ia membuka dan menutup bibirnya seolah menyusun kata yang terlihat susah untuk diucapkannya. "Maksudku adalah, gaya pacaran Mas Putra itu sehat atau ... Dara pengen aku tanya, dan Ini beneran pertanyaan Dara, ya, Mas. Dia pengen tahu Mas Putra pernah ngelakuin itu enggak sama pacar-pacarnya dulu," kata Yanti ketika melihatnya membelalak mendengar pertanyaannya. "Aku beneran malu tanyanya, tapi Dara." Yanti terdiam, dan keraguan di wajah itu kembali Gigih lihat dengan jelas.

"Dara itu unik. Aku kenal dia sejak hari pertama dia nempati kamar kos tepat di sebelahku. Dia itu rame, cerewet, enggak bisa diem, blak-blakan, terkadang agresif. Mas Gigih pasti tahu itu, kan?" Gigih mengangguk. "Selama ini, Dara enggak pernah malu untuk ngejar cowok. Dia enggak punya masalah untuk nunjukkin kalau dia tertarik. Pernah satu kali kita lagi jalan di mall, lewat di samping resto yang berdinding kaca. Kita berdua lagi ngobrol gitu, tiba-tiba dia berhenti. Tahu enggak apa yang Dara lakukan?" Gigih menggeleng sambil menahan senyum di bibirnya karena melihat Yanti menceritakan sahabatnya dengan mimik wajah yang sayang untuk dilewatkan.

"Dia berhenti dan ngetuk kaca sampai cowok di balik kaca itu menoleh. Dara dengan santai nunjukkan ponselnya setelah ketik pesan boleh kenalan, enggak? Aku malu banget, Mas." Yanti kembali meneruskan cerita dan kali ini kedua tangannya pun bergerak seiring ceritanya. "Dan yang bikin aku lebih malu lagi, waktu cowok itu ngangguk, Dara minta nomor telepon dan dia telepon setelah orang itu sebutin nomor yang dengan mudah Dara dapetin. Itu Dara."

Gigih masih tak mengerti dengan alasan di balik pertanyaan pribadi tentang Putra. "Lalu apa hubungannya sama Pertanyaan Dara tadi? Lagian itu pertanyaan harusnya untuk ditanyakan langsung, bukan lewat informan begini, kan?!"

Yanti kembali terlihat tidak nyaman, begitu juga dengan dirinya. Gigih tidak akan menjawab pertanyaan Yanti meski ia mengetahui jawabannya, karena itu akan menjadi pelanggaran privasi. "Putra bukan laki-laki yang mudah untuk bergaul, dan aku sudah pernah katakan dulu, kan. Banyak perempuan yang mencoba deketin dia, apalagi saat karirnya mulai nanjak. Enggak jarang dia dapat tawaran tersembunyi sampai blak-blakkan dari perempuan. Tapi, Putra enggak mudah jatuh cinta. Dia juga enggak pernah dengan sengaja memintaku untuk mencari tahu tentang seseorang, seperti saat ini."

Yanti sibuk menggigit bibirnya, terlihat tidak nyaman sejak pertanyaan itu terlontar dari bibir merahnya. Gigih menyadari itu, tapi ia justru semakin menikmati kegugupan Yanti yang terlihat menggemaskan di matanya. "Maaf, Mas. Enggak seharusnya aku tanyakan itu. Dara memintaku, dan ... intinya aku minta maaf."

Gigih meraih ponsel dan menghubungi perempuan yang saat ini menjadi inti pembicaraan mereka berdua. "Heh, ngapain minta Yanti tanya gitu. Dodol!" kata Gigih setelah mendengar suara Dara di ujung sambungan.

"Kalau aku yang tanya ke kamu, emang mau jawab?!" kata Dara disela-sela kekehannya. Perempuan yang tak pernah malu untuk menjawabnya tersebut bahkan terdengar bahagia. "Pasti sekarang pipi mantan gebetanmu merah padam. Kamu harusnya bilang makasih sama aku, Mas. kalau aku enggak minta Yanti untuk cari informasi, kamu enggak bakalan bisa ngabisin waktu berdua. Kali aja cinta lama itu bersemi kembali."

"Siapa bilang sudah mati!" Gigih menyadari pandangan Yanti tertuju padanya, tapi ia tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Jangan titip pertanyaan aneh-aneh lagi, Ra!" Tanpa menunggu jawaban dari bibir Dara, Gigih memutuskan sambungan.

"Kenapa telepon Dara, Mas?" Pipi merah Yanti yang membuat Gigih harus menahan diri untuk tidak mengusapnya masih terlihat merona. "Ntar dia marah sama aku." Ada jejak tawa di kalimat yang seharusnya berbau protes tersebut. "Dara itu malu sama kamu, karena selama ini dia enggak pernah kasih tahu ke siapapun tentang sisi gilanya itu."

"Telat! Aku sama Wisnu udah tahu segila apa teman kamu, Ci. Lagian, dia enggak bakalan marah sama kamu." Gigih berdiri dan mengajak Yanti keluar sebelum keduanya di usir karena terlalu lama berada di kafe yang mulai terlihat sepi. "Yuk, dari pada kita di usir, ntar."

"Sudah capek, belum?" Langkah Yanti terhenti ketika mendengar pertanyaan Gigih. Pria yang saat ini kembali membantunya memasang helm, membuat dentuman di dadanya semakin keras. "Capek, ya?" Yanti menggeleng karena saat ini, yang dirasakannya bukan capek.

"Emang kenapa?" tanya Yanti mengeratkan jaket Gigih di tubuhnya. "Jangan ngajak ngopi ke Pacet, aku masih harus ngantor besok." Tawa Gigih mengisi ruang dengarnya dan serbuan kenangan itu membuat dentuman itu kembali terasa.

"Enggak, lah. Aku cuma belum pengan anter kamu pulang," ucap Gigih sambil mengulurkan tangan, menanti hingga jari lentik Yanti menyambutnya.

Malam itu Yanti kembali mengeratkan lengan di pinggangnya. Kedekatan mereka membuat detak jantungnya kembali menggedor rongga dada ketika ia memacu motor menyusuri jalanan kota Surabaya. Ada rasa yang membawanya kembali ke masa di mana kehadiran Yanti menjadi sandarannya. Menguatkannya. Memberinya harapan. Menghapus keraguan.


Mas  Gigih is back 
Happy reading

love, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top