Bab 10
Bab 10
Sepanjang jalan menuju kantor Yanti, senyum di bibir Gigih tak luntur sedikit pun. Pria yang memerlukan waktu lebih dari tiga puluh menit untuk menentukan pakaian itu bersikap seperti anak remaja yang baru pertama kali menemui kekasihnya. Meskipun perempuan yang hendak ia temui saat ini bukanlah miliknya. Namun, detak jantung yang menggedor rongga dadanya saat ini, membuatnya ingin mempercepat laju kendaraannya.
“Beneran pakai motor,” kata Yanti ketika melihatnya duduk di atas motor sambil memeluk helm full face yang ia persiapkan. “Kalau aku pakai rok, gimana?” Jengkel yang terlihat jelas di wajah Yanti membuat senyum di bibir Gigih semakin lebar. Beberapa menit lalu, ia sengaja tak mengirim pesan ketika sampai di depan kantor Yanti. Gigih menanti dengan sabar hingga perempuan yang menyita perhatiannya berjalan menuju ke arahnya dengan langkah berderap.
“Tapi enggak, kan.” Perempuan yang hanya berjarak selangkah darinya kini cemberut memandangnya. “Pakai dulu!” perintah Gigih mengulurkan jaket tanpa mempedulikan kesal yang masih terpatri di wajah Yanti. “Dingin, Ci!”
Untuk beberapa saat, mereka berdua beradu pandang karena penolakan Yanti, tapi Gigih tak kalah keras kepala. Ia menyampirkan jaket ke atas pundak Yanti. “Kemeja kamu tipis, ntar masuk angin, lho!” Tak mempedulikan keberatan di bibir Yanti, ia tetap menanti perempuan yang tak melepas pandangan darinya tersebut setuju untuk memakai jaketnya.
“Aku bisa pakai sendiri, Mas!” protes Yanti sambil memakai jaket Gigih yang terlihat terlalu besar di tubuh perempuan yang masih cemberut menatapnya. Namun, protes itu kembali didengarnya ketika Gigih membungkukkan badan di depan Yanti dan memastikan helm ditangannya terpasang dengan sempurna. “Aku bisa pakai sendiri, Mas!”
“Aku ngerti. Tapi aku tetap mau pakaikan helm buat kamu.” Ia bisa merasakan kemarahan Yanti. Bahkan tatapan tajam yang ia dapatkana saat ini tak membuat Gigih memundurkan langkah. “Mana tas kamu?” pintanya.
“Aku bawa sendiri!” sergah Yanti ketika Gigih hendak meraihnya. “Lagian warnanya pink, lho!” Meski penolakan meluncur dari bibir Yanti, tapi backpack yang beberapa detik lalu masih erat dicengkeramannya, kini berada di tangan Gigih.
“Ya ampun, Cyn … aku pakai pink juga enggak masalah,” jawab Gigih dengan suara selembut dan segenit yang ia bisa.
Mata membulat Yanti membuat Gigih terbahak-bahak. Wajah cantik itu terlihat kuatir memandangnya. “Aku enggak ngerti apa yang terjadi sama kamu dalam waktu sepuluh tahun. Gigih Irawan yang aku kenal bukan cowok gemulai begini!” kata Yanti yang menolak untuk menaiki motornya meski saat ini Gigih mengulurkan tangan untuk membantunya. “Kamu beneran laki, kan?!”
Gigih meliriknya. “Kamu perlu bukti?” tanyanya yang langsung mendapat pukulan di lengan atasnya. “Ayo, kita makan malam dulu,” ajak Gigih. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Gigih bisa bernapas lega ketika Yanti menerima uluran tangannya. “Sudah?” tanyanya ketika merasakan tubuh Yanti berada di belakangnya. “Masih ingat peraturan duduk di boncenganku, kan?”
“Iya, cerewet!” hardik Yanti yang melingkarkan tangan di pinggangnya. Meskipun Gigih bisa merasakan keraguan, tapi dalam sekejap ia merasa seperti ketika keduanya masih sering manghabiskan waktu bertemu hampir setiap hari.
Beberapa saat setelah Gigih melajukan motor meninggalkan kantor yang terletak di daerah Surabaya Timur, ia mendengar gumaman Yanti. “Ya ampun … semua gara-gara kamu, Ra. Kamu enggak tahu aja kalau berdekatan sama dia bikin jantungku enggak sehat. Gimana mau move on kalau rasanya seperti dipeluk gini, mana parfumnya masih sama, lagi. Ya ampun, Ra … aku harus gimana ini?” Saat ini Gigih harus menahan diri untuk tidak berteriak kegirangan ketika suara Yanti memenuhi ruang dengarnya. Intercom pelengkap helm full face yang terpasang memungkinnya untuk bisa mendengar omelan itu dan Yanti tidak mengetahui bahwa saat ini, ia bisa mendengar setiap kata yang diucapkannya.
“Kenapa aku mau, ya, Ra,” kata Yanti kembali. “Aku koyok wong gendeng, ngomong-ngomong dewe.[1] Untung saja Mas Gigih enggak bisa denger suaraku sekarang.” Gigih merasa seperti menguping pembicaraan pribadi antara Yanti dan dirinya sendiri, karena itu ia menutup erat bibirnya. Meskipun saat ini hatinya terasa berbunga mendengarnya. “Masa iya, aku masih suka sama dia, ya? Sepuluh tahun … semua bisa berubah. Aku berubah, dia juga berubah … tapi ….”
Suasana malam kota Surabaya selalu membawa kenangan tersendiri baginya. Ia menghabiskan banyak waktu bersama Yanti di atas motornya, menyusuri jalanan yang selalu ramai meski waktu mulai beranjak. Seperti saat ini, ketika Gigih mengarahkan motornya ke arah tempat makan yang membawa banyak kenangan bagi mereka berdua dengan curahan hati Yanti memenuhi kepalanya.
“Mie ayam kare?” tanya Yanti tidak percaya ketika Gigih menghentikan motornya. “Aku baru ke sini kemarin.”
“Sama Dara?” Yanti mengangguk dan mengikuti langkahnya memasuki warung yang tak pernah telihat sepi. “Duduk sana aja!” kata Gigih sebelum meninggalkan Yanti duduk di bangku yang ditunjukknya beberapa saat lalu.
Dari sudut mata, Gigih bisa melihat Yanti memandang ke sekililing warung. Terlihat menikmati setiap suara, aroma dan suasana di sekitarnya. Sesekali ia menjawab pertanyaan pria yang mempersiapkan pesanannya tanpa melepas pandangan dari perempuan penawan hatinya.
“Pacar, Gih?” tanya pria dibalik rahasia mie ayam kare.
“Bukan, Pak,” jawab Gigih tanpa berpaling dari Yanti. “Calon istri,” jawab Gigih lagi sebelum menerima dua mangkuk mie ayam yang membuat air liurnya terbit.
Yanti terdiam memandang mangkuk yang diletakkan di depannya. Ia mendongak dan mengucapkan terima kasih. Aroma menggoda menguar dari mangkuk dengan potongan ayam di atasnya. “Aku udah lama enggak ke sini,” kata Gigih menarik perhatian Yanti dari potongan ayam berbumbu kare. Aroma kare yang menguar membuat perut Yanti bergemuruh dan ia mendengar hal itu. “Mie ayam kare ini tetap bisa bikin perut konser tunggal, ya, Ci!” Yanti masih terdiam. “Kenapa?”
“Rasanya aneh datang ke sisni sama kamu sejak ….” Yanti terdiam ketika tidak mendapati potongan sawi di dalam mie.
“Kenapa?”
Yanti menegakkan kepala dan memandangnya keheranan. “Enggak ada sawi di sini? Mereka lupa atau—”
“Lah, bukannya kamu enggak suka sawi.” Gigih bingung mendapati tanda tanya yang tercetak jelas di wajah Yanti. Perempuan yang selama ia mengenalnya tak pernah suka dengan rasa sawi di dalam mie ayamnya tersebut masih terdiam. Keningnya mengernyit dengan pandangan masih terpaku padanya. “Aku salah pesan? Kamu suka sawi sekarang?” Gelengan kepala Yanti membuat Gigih semakin bingung. “Terus masalahnya di mana?”
“Kamu ingat, Mas?” Yanti terlihat tidak percaya, terlebih lagi ketika Gigih menjauhkan tempat sambel.
“Jangan makan sambelnya!” perintah Gigih ketika Yanti meraih mangkuk sambel yang berada tepat di depannya. Ia tak mengindahkan protes Yanti dan mulai menikmati mie ayam yang tak pernah gagal membuat lidahnya bergoyang.
Keduanya makan dalam diam dengan pikiran kembali ke masa lalu. Terlihat dari sorot mata Yanti yang tampak gugup, berbeda dengan Gigih. Pria yang saat ini harus menahan diri untuk tidak menyeringai lebar tersebut merasa bahagia memenuhi hatinya. ia tak pernah membayangkan kembali bisa merasakan duduk berdua menikmati mie ayam kare bersama Yanti. Perempuan yang saat menunduk di atas mangkuk tanpa mengangkat kepala tersebut membuat jantungnya berdetak semakin kencang.
“Masih sama enaknya enggak?” Gigih memecah keheningan di antara mereke berdua. Pandangannya tak lepas dari Yanti yang terlihat ragu untuk menjawab.
“Jujur … waktu kemarin makan sama Dara, menurutku rasanya berubah. Tapi ….” Yanti terdiam sesaat sebelum kembali memandangnya setelah melarikan matanya ke segala penjuru. “Kenangan membuat rasa mie ayam ini berbeda.”
Gigih mengerutkan kening. “Jadi lebih enak atau enggak—”
“Tapi aku ngajak kamu ketemu bukan untuk bahas mie ayam, Mas,” sela Yanti terlihat gugup di matanya. “Aku pengen tanya sesuatu tentang Mas Putra. Tapi ada sesuatu yang aku enggak ngerti, kenapa Dara enggak tanya kamu langsung, sih!”
“Ya, mana aku tahu, Ci.” Gigih terkekeh mendapati wajah Yanti terlihat penuh tanda tanya dan jengkal dalam waktu yang bersamaan. “Tapi aku bersyukur Dara enggak bypass dan tanya ke aku, sih.”
Yanti yang beberapa saat terjebak dalam pikirannya, kin memandang Gigih dengan kening mengernyit. “Lah, emang kenapa? Bukannya lebih bagus kalau Dara langsung tanya kamu, Mas. Enggak perlu lewat aku gini, kan.”
[1] Aku seperti orang gila, berbicara sendiri.
Mas Gigih mecungul pagi-pagi guys
Love, ya!
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top