Bab 1

Bab 1


Sepuluh tahun kemudian

"Gih, itu ... itu Yanti-mu, kan?" pertanyaan Putra membuyarkan lamunannya, menganggu isi kepalanya. Gigih masih tak mempercayai matanya. Perempuan yang sejak sepuluh tahun lalu mengisi hatinya, kini tersenyum lembut. Tak terlihat ada kemarahan atau kebencian di mata sipit itu, tapi Gigih tahu, perempuan yang saat ini berjalan pelan ke arahnya menyimpan sakit hati. Serbuan kenangan seketika muncul kembali, melumpuhkan akal dan membuatnya tak bisa berkata-kata. Perempuan berwajah bulat itu tak pernah hilang dari ingatannya. Walaupun keduanya tak pernah lagi bertemu, tapi Gigih tak pernah melupakan wajah manis yang masih mengenggam hatinya.

"Gih." Suara Putra kembali terdengar, tapi ia masih dia dengan mata hanya tertuju pada dua orang yang berjalan ke arah mereka berdua. "Nyebut, Gih! Ojo meneng ae!" Suara Putra memasuki ruang dengarnya dan kali ini Gigih berhasil menemukan jalan untuk menarik bibir ke atas.

"Dari semua manusia di Surabaya, eku enggak pernah ngebayangin bakalan ketemu lagi sama kamu, Mas." Suara itu membuat senyumnya semakin lebar, masih terdengar lembut di telinganya. Meninggalkan jejak yang kembali menariknya ke masa lalu. "Apa kabar Mas Gigih Irawan? Mas Putra keliatan ... beda." Gigih tak mengalihkan pandangan dari Yanti yang memusatkan perhatian pada sahabatnya, dan seketika ia menyesali kehadiran Putra bersamanya.

"Aryanti Citra Ramdani," katanya mencoba untuk kembali menarik pandangan Yanti padanya. Senyum di bibir Gigih semakin lebar ketika matanya menangkap rona merah di pipi perempuan yang tersipu malu. "Apa kabar, Ci?" tanya Gigih yang masih mamanggilnya Cici, bukan Yanti ataupun Ti, seperti semua orang. Ia mempertahankan senyum di bibir ketika tangan halus Yanti menyambut uluran tangannya.

"Baik, Mas. Kamu apa kabar? Masih ganteng aja." Gigih tertawa terbahak-bahak mendapati Aryanti yang dikenalnya masih sama tidak berubah. Perempuan yang tak pernah ragu untuk mengatakan isi kepalanya. Perempuan yang selalu membuatnya merasa nyaman hanya dengan kehadirannya.

"Ganteng itu sudah takdirku, Ci. Kamu jug—"

"Tunggu!" sela Dara—agen real estate yang selama ini bekerja sama dengannya—terlihat bingung memandang Gigih dan Yanti bergantian dengan kedua tangan terulur. "Kamu kenal Yanti, Mas?" tanya Dara ke arah Gigih. "Dan kamu udah kenal Mas Gigih, Ti? kenapa enggak bilang?!"

Tatapan mereka berdua beradu sesaat sebelum Yanti mengalihkan pandangan. "Mas Gigih ini seniorku di kampus dulu, Ra." Meski jawaban Yanti membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Namun, ia memutuskan untuk tersenyum dan menyetujui apapun ucapan Yanti.

"Dan Mas Gigih beneran enggak pernah tahu kalau ini temenku, Mas?!" Dara menunjuk Yanti. Wajah jengkel Dara terlihat jelas ketika Gigih menggeleng tanpa mengalihkan pandangan dari perempuan yang terlihat mengulum senyum.

"Mas Gigih—"

"Ci." Panggil Yanti bersamaan dengan Gigih membuat keduanya tertawa menyadari kekonyolan mereka. Perempuan yang terlihat berbeda itu tak melepas pandangan darinya. Untuk sekejap, tidak ada Putra atau Dara yang memandangnya dengan penuh tanda tanya. Tidak ada kecanggungan atau tanda tanya yang menggantung di antara mereka berdua. Gigih kembali di selasar kampus memandang gadis cantik dengan mata sipit dengan suara lembut yang membuatnya rajin kembali ke kampus.

"Gih! Yang sama Yanti itu siapa?" tanya Putra membuyarkan lamunannya. "Itu yang namanya Dara?" Gigih menolehkan kepala ketika mendengar nada tertarik dari pertanyaan Putra. Namun, saat ini, kehadiran Yanti menyisihkan semua pikiran tentang Putra dan ketertarikan yang bisa ia dengar di pertanyaan sahabatnya tersebut. Tatapan matanya masih terpaku pada Yanti. Senyum yang pernah mengisi hari-harinya, kini kembali.

Pertemuan pertama mereka berdua masih terlihat jelas di ingatan Gigih. Begitu juga setiap tawa dan mimpi yang mereka berdua bagi. Yanti adalah perempuan yang untuk sesaat mengisi hari dan hatinya, hingga semua harus berakhir, dan kini kembali di hadapannya.

Gigih membuka bibir, tapi tak ada satu kata yang terdengar. Hingga ia merasakan tepukan di pundaknya kembali dan dari sudut mata, ia bisa melihat uluran tangan Putra pada Dara. "Hai, saya Putra teman SMA Gigih. Kamu teman kuliah mereka juga atau—"

"Minggir, Put! Kalau mau ngobrol berdua sama Dara, sana!" Gigih mendorong Putra menjauh sebelum kembali menatap Yanti yang menggeleng melihatnya. "Sorry, Putra kadang ngeselin. Kamu apa kabar, Ci?" tanya Gigih setelah membuang pikiran tantang perkenalan Putra dan Dara berlalu begitu saja. Ia bahkan membuang tanda tanya dikepalanya tentang ketertarikan sabatnya yang bisa ia rasakan.

"Aku enggak percaya bisa ketemu kamu lagi." Gigih masih tak bisa mempercayai yang terjadi. Selama ini ia merasa Tuhan telah menutup jalannya untuk bertemu dengan Yanti. Dari semua alumni yang masih berhubungan baik dengannya, tak pernah ada yang mendengar kabar tentang Yanti.

"Yanti ini yang punya rumah, Mas," terang Dara menyela pikirannya. "Waktu dia tanya aku punya kenalan kontraktor enggak? Aku langsung kepikiran kamu, dong." Memusatkan pikiran dan konsentrasi hanya pada satu orang bukan hal yang sulit baginya saat ini. Walaupun ia masih bisa mendengar suara Dara menceritakan tentang rumah Yanti, tapi pandangannya hanya tertuju pada perempuan yang semakin terlihat cantik.

Gigih tak bisa menahan senyumnya saat ini. Mengingat semua hal yang pernah terjadi di masa lalu, bertemu kembali dengan Yanti bisa menjadi hal baik ataupun buruk. Namun, ketika melihat senyum di bibir Yanti, Gigih percaya ini semua akan berakhir baik.

Meninggalkan Putra dan Dara, Yanti membawanya berkeliling di dalam rumah yang terdapat dua kamar tidur, dapur dan satu kamar mandi tersebut. Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas lebih dari 200m2 tersebut terlihat memiliki kusen kayu jati yang sayang untuk dibuang. Meski beberapa bagian rumah terlihat usang, tapi Gigih bisa membayangkan itu akan menjadi daya tarik rumah mungil itu.

"Jadi ... kamu masih enggak mau ada ruang tamu?" tanya Gigih mengonfirmasi permintaan Yanti.

Perempuan yang terlihat anggun dengan rok pensilnya tersebut melangkah di tengah ruangan dan merentangkan tangan. "Aku mau lihat kitchen island gede saat pertama kali membuka pintu rumah. Kompor, kabinet dan juga lemari es ada di sini," kata Yanti menunjuk salah satu dinding. "Kitchen sink ada di meja dapur menghadap ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang kelaurga atau ruang tamu."

Gigih mencatat beberapa poin yang Yanti katakan tanpa mempedulikan apa yang Putra atau Dara lakukan di belakang mereka berdua. Saat ini, Gigih terlalu menikmati suara lembut Yanti menjelaskan satu persatu yang diinginkannya. Matanya dimanja dengan senyum dan juga binar mata perempuan yang terlihat tenggelam dalam khayalannya ketika mengatakan keinginannya. "Open floor plan, ya. Aku bisa itu." Gigih masih mengikuti langkah Yanti menuju salah satu kamar menghadap halaman belakang.

"Aku mau kamar ini sedikit di lebarin, Mas. kamar mandi dalam dan satu ruang untuk walk in closet. Enggak perlu gede, tapi ruangan tersendiri. Karena aku enggak mau ada lemari baju dalam kamarku."

Sepanjang Yanti mengatakan keinginannya, seketika Gigih bisa membayangkan mereka berdua di dalam kamar yang didominasi warna putih. Ranjang king size dengan sprei berwarna putih terlihat menggoda terletak di tengah, diapit dua meja nakas berwarna coklat. "Bisa, kan, Mas?"

"Hah?" tanya Gigih tersadar dari lamunannya. "Sorry, aku lagi ngebayangin kamar. Kamu tanya apa?"

Yanti mengulum senyum mendengar jawaban Gigih. Namun, perempuan yang Gigih yakin memiliki puluhan pertanyaan untuknya tersebut tak terlihat heran. "Kamu enggak berubah, Mas."

"Kamu berubah," jawab Gigih. "In a good way maksudku. Kamu kelihatan cantik." Selama ini, Gigih tak pernah pelit dalam memuji seseorang. Namun, di dalam hati, Gigih tahu cantik tak bisa menggambarkan apa yang dilihatnya saat ini. Perubahan Yanti bukan hanya pada fisik, karena ia merasa sesuatu yang berbeda padanya. Ada sesuatu yang berbeda dari mata sipit yang kini berada di balik lensa. Ada kekerasan dan kebulatan tekad terlihat di sana, berbeda dengan mata sayu yang pernah ia lihat di masa lalu.

"Gih, udah dapet semuanya?" panggilan Putra dari ambang pintu memecah apapun yang sempat memenuhi kepalanya beberapa saat lalu.

Gigih meminta Yanti untuk berjalan terlebih dahulu dan keduanya berhenti ketika melihat Dara yang selalu banyak bicara terlihat gugup. Bahkan perempuan yang selalu tampil sexy tersebut sesekali menundukkan kepala menyembunyikan rona di pipinya. "Dara kenapa, Ci? Tumben salah tingkah begitu?" tanyanya pada Yanti yang menggeleng dengan tanda tanya di kepalanya. "Jangan jangan mereka berdua ada apa-apa."

"Halah ... Dara sih biasa gitu, Mas. Emang udah berapa lama kenal Dara, kok enggak hafal sama tingkah lakunya yang kadang enggak jelas." Yanti meninggalkannya yang masih keheranan melihat sikap Dara, tapi Gigih tak ingin pikiran tentang itu mengusik keberadaan perempuan dari masa lalunya. Matanya masih saja belum bisa percaya dengan kejadian hari ini. Jantungnya masih berdetak kencang ketika mendengar Yanti dan Putra saling bertukar kabar.

Seperti remaja yang jatuh cinta, Gigih tak bisa menghapus senyum di bibirnya, dan ia tak sabar untuk segera memulai pekerjaan ini. Perasaan yang sepuluh tahun lalu, ia kubur dalam-dalam, kini mulai menyeruak dan muncul ke permukaan. Perasaan yang akan mengubah hidupnya kembali.


Jangan diam saja


Ramadhan Kareem ... selamat  menunaikan ibadah puasa guys dan keep Palestinian people in your pray.

love you all


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top