Bab 0.5


Semenjak ia mengantar Yanti pulang malam itu, Gigih memutuskan untuk selalu datang di setiap rapat. Seolah sesekali bertemu Yanti tak pernah cukup baginya. Ia masih banyak hal yang bisa ia cari tahu dari perempuan yang semakin lama membuatnya semakin tertarik. Seperti malam ini, meski terlambat, Gigih tetap menuju gedung himpunan dan mendapati Yanti berdiri di tempat yang sama seperti minggu lalu.

"Enggak harus jemput tiap kali aku ada rapat, Mas," protes Yanti ketika langkahnya terhenti di depan perempuan yang menatapnya dengan ekspresi tak bisa ia baca. "Kamu repot ntar."

"Aku enggak merasa kerepotan, Ci. Pulang, yuk," ajaknya berjalan menuju area parkir menuju motornya terparkir rapi. Gigih memasangkan helm seperti kebiasaannya selama ini. "Lagian semua kerjaanku udah beres."

Yanti memundurkan kepala, "Berarti sibuk kerja, kan? Aku enggak enak, Mas. Waktumu kebuang percuma, jemput aku!" Gigih menarik pundak Yanti, menyelesaikan apa yang sejak tadi dia kerjakan dengan tenang. Berbeda dengan Yanti yang tampak gugup, bahkan mata sipit itu tak berani menatap matanya.

"Pulang, yuk. Tapi sebelumnya aku pengen ajak kamu ke suatu tempat. Aku jamin bakalan bikin kamu ketagihan. Yuk!" Gigih memutuskan untuk tidak mengindahkan apapun jawaban yang akan Yanti berikan. Meskipun Yanti masih terlihat terdiam dengan helm fullface di kepalanya. "Ci, ayo!" ajak Gigih yang kali ini mengulurkan tangan ke arah Yanti yang masih terdiam.

"Aku dapet lirikan dari member GFC lagi!" kata Yanti tiba-tiba tanpa ada kalimat pembuka. "Ada apa sih sama cewek-cewek itu. Ngapain marah sama aku. Salah sasaran, kan!" Tawa Gigih membuat Yanti melotot. "Mas!" bentak Yanti ketika Gigih tak berhenti tertawa.

"Aku harus jawab apa, Ci? Mana aku tahu kenapa mereka marah sama kamu." Jawaban Gigih semakin membuat Yanti jengkel. "Sekarang naik dulu." Kali ini Yanti menerima uluran tangan Gigih dan duduk di belakang lelaki yang tak melepas tangannya hingga ia duduk. "Pegangan!"

Semenjak pertama kali mengantarnya pulang, Gigih selalu meminta Yanti untuk melingkarkan tangan dengan alasan untuk keamanan, dan ia tak akan melajukan motor hingga Yanti menurutinya. Seperti malam ini, ia menunggu hingga lengan Yanti melingkar sempurna. "Udah!" kata Yanti mengeratkan lingkaran tangannya, tanpa mengetahui senyum bahagia Gigih di balik helm fullfacenya.

Yanti tidak bertanya kemana tujuan mereka, bahkan perempuan yang tak melepas lilitan lengannya itu tetap menutup mulutnya. "Mas. Kira-kira besok aku dapet ancaman dari GFC?" tanya Yanti ketika turun dari motor Gigih yang selalu membuatnya kesulitan. "Setiap kali kamu jemput ... ada aja cewek yang pepet aku terus tanya, kamu pacar mas Gigih?" Yanti menceritakan tentang perempuan-perempuan yang memojokkannya ketika melihat wajah bingung Gigih.

"Yuk! Ntar ngobrol sambil makan." Gigih membantu Yanti melepas helm seperti yang biasa ia lakukan untuknya. Meski Gigih bisa merasakan terkadang sikapnya membuat Yanti jengkel, tapi ia tak peduli. "Kamu pasti suka," katanya tanpa melepas genggaman tangannya.

Mie ayam yang terletak tak jauh dari rumah sakit menjadi tujuan mereka malam itu terlihat penuh. Sesekali ia melirik Yanti dan mencari kesan yang muncul di wajah cantik perempuan itu. Namun, hingga kedua duduk berhadapan di bangku kayu, Gigih masih tak bisa membaca apa yang ada di wajah Yanti. "Kamu sering ke sini, Mas?" tanya Yanti ketika keduanya menanti pesanan mereka.

Gigih menunjuk lelaki yang mengedikkan dagu ke arahnya meski terlihat sibuk menyiapkan pesanan setiap orang. "Aku ke sini sejak SMA kelas satu, dan rasanya enggak berubah sama sekali. Udah kenal banget sama pejualnya. Makasih," ucap Gigih memandang perempuan yang mengantar pesanan mereka.

"Makasih, Mbak." Yanti meraih alat makan, membersihkan dan menyerahkan pada Gigih yang tak terkejut dengan kebiasaannya setiap kali makan di luar rumah. "Lanjut, Mas," pinta Yanti sambil mengambil daun sawi dan meletakkan di atas mangkuknya setelah ia menganggukkan kepala. Namun, ketika tangannya meraih tempat sambal, ada Gigih yang menahannya.

"Enggak!" larang Gigih. "Aku enggak mau perutmu sakit lagi."

"Dikit!" jawab Yanti. "Mana enak makan mie ayam enggak ada pedas-pedasnya!" Wajah tegas dan keras Gigih membungkam protes di bibir Yanti. Perempuan yang kembali meletakkan tempat sambal tersebut terlihat cemberut.

"Ya udah, boleh ambil, tapi dikit!" kata Gigih sambil memberikan beberapa tetes sambal yang membuat Yanti terlihat meradang. Mata sipit itu menatapnya tajam dan sesekali bibir merah itu terbuka dan tertutup kembali. "Enggak boleh lagi!" hardik Gigih ketika jari lentik Yanti kembali meraih sambal.

"Enggak seru!" jawab Yanti sebelum memasukkan sesuap mie dengan topping ayam kare yang menggoda. "Enak banget, Mas." Gigih tersenyum puas mendapati seringai lebar di bibir Yanti. Perempuan yang beberapa saat lalu melayangkan protes karena larangannya, kini terlihat menikmati semangkuk mie di hadapannya.

"Semua gara-gara bujuk rayuan salah satu teman dan sejak hari itu aku selalu ke sini meski jarak dari rumah lumayan jauh. Enggak ada mie yang rasanya seenak ini." Gigih menceritakan pengalaman pertama kali mencoba mie ayam kare. Senyum sesekali terlihat di bibir Yanti yang mengangguk setuju ketika Gigih menggambarkan nikmatnya ayam kare di mangkuk mereka. "TA sabtu besok, kan?" tanya Gigih setelah menandaskan es teh di depannya.

"Iya," jawab Yanti. "Aku udah pernah bilang kalau enggak suka ikut panitia gitu, kan, Mas." Yanti menyudahi makannya. "Aku cuma berdoa semoga cewek yang bikin mereka bertiga bela-belain ikut panitia acara gini bukan orang yang sama."

"Emang pernah?" Yanti memutar bola matanya. "Beneran pernah?"

"Iyalah! Dan mereka semua ditolak, jadinya mereka patah hati barengan, dan aku tertawa bahagia. Setelah berkali-kali aku jadi sasaran cemburu cewek-cewek yang enggak aku kenal, rasanya bahagia banget liat mereka patah hati." Tawa bahagia Yanti menular, saat ini bibirnya pun tertarik membayangkan ketiga pria yang mengalami patah hati di waktu yang bersamaan. "Kamu pernah seperti mereka, enggak?"

"Naksir cewek yang sama?" tanya Gigih. Anggukan Yanti tak segera mendapat jawaban, karena ia terdiam mengingat kejadian saat masih duduk di bangku SMA. "Pernah, waktu SMA." Yanti membuka bibir dan Gigih segera menyelanya. "Jangan minta cerita lengkapnya, itu untuk lain waktu!" ucap Gigih seketika membuat Yanti terkejut.

"Aku belum ngomong apa-apa, kan!" kata Yanti di sela-sela tawanya. "Selama ini kamu selalu tanya tentang aku tapi jarang cerita dirimu sendiri, lho! Enggak adil, kan."

"Ceritaku enggak terlalu menarik, Ci." Gigih masih saja mengelak setiap kali Yanti ingin mencari tahu tentang dirinya. Bukan karena ia tak ingin menceritakan tentang dirinya, tapi karena Gigih tak ingin menghabiskan waktu dengan kisah hidupnya. Ia lebih tertarik mendengar suara Yanti saat ini.

"Aku hanya tahu salah satu GFC itu mantan pacar kamu—"

"Siapa yang bilang?" sela Gigih.

Yanti menumpu siku, memajukan badan dan menatapnya dengan sorot tajam. "Dua orang yang pernah cegat aku waktu itu dan juga sikapmu udah jelasin semuanya." Tawa kemenangan di bibir Yanti membuatnya menggelengkan kepala. "Aku tebak mantan pacarmu bukan hanya dia, kan?"

Gigih membelalakkan mata padanya. "Siapa yang bilang? Aku enggak pernah jadian sama siapapun. Mereka aja yang ke-GR-an."

Yanti tercengang mendengar jawabannya, dan seketika dalam hati ia bertanya, apakah jawabannya akan membuat Yanti berpikir dua kali tentang dirinya? Gigih menyadari perhatian yang ia berikan selama ini, terasa berbeda. Ia tak pernah bersikap seperti pada siapapun, Yanti memiliki sesuatu yang membuat hatinya terasa tertarik.

"Aku?" tanya Yanti.

"Kamu kenapa?"

Yanti masih menopang dagu menatapnya curiga. "Aku masuk jajaran perempuan yang bakalan ke-GR-an, enggak?"

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Gigih menumpu dagu, memandang Yanti dengan penuh perasaan. Ia menahan diri untuk tidak meraih wajah cantik perempuan yang tak melepas pandangan darinya dan berkata, "Aku enggak pernah bikin kamu GR, Ci."


Happy reading guys
Love you all

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top