Bab 0.4


Yanti berjalan cepat menuju kelas ketika mendengar panggilan dari seseorang. Namun, ketika ia berhadapan dengan wajah asing yang belum pernah dilihat atau dikenalnya, Yanti segera menyadari siapa mereka. "Iya aku Yanti," katanya. "Sebelum kalian mau konfirmasi, ngancam atau apapun itu ... ada yang mau aku tanyakan." Ia menegakkan kepala, tak ingin terlihat lemah ataupun takut di depan siapapun.

Dua orang perempuan yang terlihat memendam marah—meski tak dikenalnya—tak membuatnya mundur. "Siapa? Fauzan, Rizal atau Wahyu?" tanyanya dengan tenang. Yanti sudah terbiasa berhadapan dengan perempuan yang terbakar cemburu, dan ia tidak akan terintimidasi meski mereka mengancamnya.

Ketika tak ada satupun yang menjawab, ia mengerti siapa yang mereka maksud. "Aaa ... Mas Gigih." Yanti terdiam sesaat, karena sejujurnya ia tak tahu bentuk hubungannya dengan lelaki yang kini ada dalam hidupnya. "Kenapa? Ada yang mau kalian berdua tanyakan?"

"Kamu pacar Mas Gigih?" tanya perempuan berambut pendek yang melotot ke arahnya. "Jawab!" hardiknya sambil menggertakkan gigi terlihat menahan marah.

Yanti memandang sekitar gedung yang sepi karena semua sudah memasuki kelas masing-masing, kecuali dirinya. Ia menghela napas panjang sebelum melangkah mendekati dua orang yang tak melepas pandangan darinya. "Pertama, aku enggak punya kewajiban untuk ngejawab pertanyaan kalian berdua." Yanti mengamati wajah perempuan kedua yang terlihat sedih bukan marah, dan itu membuatnya tergelitik. "Yang kedua adalah, apapun hubungan yang aku punya sama Mas Gigih bukan urusan kalian berdua!"

"Kam—"

"Tam, sudah!" sela perempuan kedua yang menarik lengan temannya. "Sudah. Enggak akan ada bedanya juga, kan!" Nada sedih yang terdengar jelas, membuatnya bisa menebak siapa perempuan nomer dua. "Sorry, udah ganggu kamu."

Yanti masih terdiam di tengah lorong, memandang keduanya meski sudah tak terlihat. Perasaan jengkel yang beberapa saat lalu dirasakannya, kini menguap. Tergantikan dengan rasa penasaran yang tak bisa ia tahan. Setelah beberapa saat menimbang untuk meneruskan langkah ke kelas atau kantin, akhirnya ia memilih untuk pergi ke tempat yang selalu berhasil memberinya kenyamanan.

Salah satu yang membuat Yanti betah di kampus adalah banyaknya ruang hijau terbuka hampir di setiap sudut kampus. Pepohonan dan taman yang membuat udara menjadi sejuk dan nyaman menjadi daya tarik tersendiri. Salah satu tempat yang ia datangi di antara jam kuliah—atau ketika ketinggalan kelas—adalah bangku beton yang berada di bawah pohon Trembesi. Pohon yang terlihat berusia puluhan tahun tersebut seolah menaungi siapapun yang berada di bawahnya. Termasuk dirinya.

Yanti menikmati masa tenangnya duduk berselonjor kaki, tak mempedulikan rumput yang menjadi alasnya. Memasang musik oldies yang mengalun lembut di telinga, membaca novel yang membuatnya penasaran, dan menutup diri dari dunia luar. Tanpa mempedulikan lirikan beberapa orang padanya. Ia menikmati keheningan suasana yang membuatnya bisa berpikir atau terkadang melupakan kejadian beberapa saat lalu.

Entah berapa lama ia duduk menikmati lembar demi lembar yang memaku konsentrasinya. Ia bahkan tak menyadari sepasang mata yang tak melepas pandangan darinya sejak beberapa saat lalu. Seseorang yang berdiri tak jauh darinya, dengan senyum tersungging di bibir, dan tangan terlipat di dada, memandang Yanti.

Aryanti
Dikau mawar asuhan rembulan
Aryanti
Dikau gemilang seni pujaan
Dosakah hamba mimpi berkasih dengan puan?
Ujung jarimu kucium mesra tadi malam
Dosakah hamba memuja dikau dalam mimpi?
Hanya dalam mimpi

Seketika ia mengangkat pandangan ketika mendengar suara yang sudah melekat di kepalanya. Matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gigih menyandar di kap mesin mobil, terlihat gagah dengan kemeja panjang yang lengannya ditekuk hingga siku. Kacamata hitam bertengger di hidung menggantikan kacamata minus yang selalu dipakainya. Namun, di atas semua itu, ia terdiam karena mendengar suara merdu Gigih menyanyikan lagu lawas ciptaan Ismail Marzuki.

Meski ia merasa malu ketika beberapa pasang mata meliriknya, tapi Yanti tak peduli. Ia bertepuk tangan ketika Gigih menyelesaikan lagu bertepatan dengan langkah kaki berhenti tepat di hadapannya. "Meski kamu ngisin-ngisinin, Mas! Tapi aku tetap kagum dengar suara kamu."

"Kok ngisin-ngisini?" tanya Gigih terlihat tidak terima.

Ada senyum bangga dan binar penuh cinta di mata Gigih yang sulit untuk diabaikan. Lelaki yang juga memandangnya saat ini membuat jantungnya kembali berulah. "Pertama kali mendengar nama Aryanti, lagu Aryati terlintas di pikiranku. Tapi aku butuh keberanian untuk nyanyi di depan kamu."

"Emang kenapa, Mas?" tanyanya dengan tanda tanya. "Suara kamu enak di dengar, kok."

"Aku kan takut," jawab Gigih. "Takut kalau kamu jatuh cinta sama aku."

Matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang Gigih ucapkan. Kerling jahil di mata lelaki yang tersenyum kepadanya membuatnya sulit untuk membuka mulut. Bahkan kekonyolan Gigih yang menaik turunkan alis, tak membuatnya menemukan suaranya.

"Nah, kaaan!" kata Gigih. "Kamu sampai enggak bisa ngomong apa-apa." Saat itulah ia tersadar dengan kebodohannya. Yanti memukul keras lengan Gigih, mencoba mengenyahkan gugup yang berkumpul di dasar perutnya. "Aduh!"

Untuk beberapa saat, Yanti menatap ke kejauhan sambil mengatur detak jantungnya. Kehadiran Gigih dan semua sikap manisnya, mengancam ketenangan hatinya. "Pagi tadi aku batal masuk kelas karena aku dihadang dua orang cewek yang naksir atau mungkin patah hati gara-gara kamu!" ceritanya dengan bersungut-sungut ketika teringat kejadian yang membuatnya batal memasuki kelas. "Aku udah biasa dihadang fans, Fauzan, Wahyu dan Rizal. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, aku dihadang GFC, Mas."

Gigih tetawa ketika ia menyelesaikan ceritanya. Lelaki yang tak melepas pandangan setiap kali ia menceritakan sesuatu membuatnya harus memandang ke segala arah. Ia tak mau memperparah detak jantungnya dengan kontak mata yang membuat ia tak bisa menahan diri.

"GFC?"

"Gigih Fans club," katanya menatap mata Gigih yang segera ia sesali. "Aku curiga yang satunya itu mantan pacarmu." Yanti terdiam memandang kejauhan dengan kening berkerut. Terlebih lagi ketika kekehan Gigih berubah menjadi tawa yang membuatnya menyesal menceritakan tentang kejadian tadi pagi.

"Aku enggak punya fans club, Ci. Tapi aku lebih tertarik ama fans temen-temen kamu. Sesering apa kamu di serang cewek-cewek gitu?"

"Enggak diserang, Mas," kata Yanti. "Hanya dipojokkan, dan aku udah biasa. Resiko punya temen menarik aja kali ya."

"Kamu pernah pacaran sama salah satu dari mereka?"

"Big nooo!" jawab Yanti menggelengkan kepala berkali-kali. "Selama setahun temenan ama mereka, aku udah ngerti bobroknya setiap orang. Bukan berarti buruk, sih. Aku cuma enggak mau aja."

"Kenapa?"

Yanti memandang Gigih sambil mengingat kedekatannya bersama ketiga orang yang sejak tadi mengirim pesan padanya, menanyakan keberadaannya bahkan mengajaknya untuk datang melihat mereka bermain PS. "Aku enggak pernah punya teman cewek. Semuanya hanya sekedar kenal tapi enggak pernah sampai benar-benar dekat."

"Hubungannya sama mereka bertiga, apa?" tanya Gigih yang duduk berselonjor tepat di samping Yanti.

"Selama ini berteman ama cowok lebih aman. Enggak ada rasa iri, mereka cenderung melindungi dan membuatku merasa aman. Meski terkadang mereka bisa jadi overprotektif yang sebenarnya enggak diperlukan. No baper, lah, kalau sama cowok!" Yanti mengedikkan pundak. "Sejak hari pertama ospek, bisa langsung klik sama mereka. Kita berempat memiliki frekuensi yang sama, dan aku enggak pernah ngebayangin naksir salah satu dari mereka. Itu bakalan seperti naksir saudara sendiri."

Ia menyadari banyak perempuan yang cemburu dan juga iri dengan kedekatannya dengan mereka bertiga. Keakraban yang terbentuk dengan sendirinya membuat mereka berempat seolah tak terpisahkan. "Entah kenapa selama ini aku enggak baper setiap kali mereka perhatiin aku," katanya. "Itu kenapa kita jadi sedekat ini."

"Kalau aku?" tanya Gigih membuat Yanti mengerutkan kening. "Kalau sama aku, baper, enggak?" tanya Gigih kembali dan itu membuatnya merasa tidak nyaman untuk berlama-lama berdua di bawah pohon dengan hembusan angin membawa aroma parfum yang selalu membuatnya merasa rindu.

Tak ingin Gigih mengetahui apa yang dirasakannya saat ini, Yanti memilih untuk memasang tinggi tembok pertahanannya. "Emang kenapa? Emang niatnya pengen bikin aku baper?" tanyanya meski ia ingin mengalihkan pandangan, karena tak mau Gigih bisa melihat apapun yang tergambar jelas di wajahnya. "Aku ngerti kalau seorang Gigih Irawan itu orangnya ramah dan banyak penggemarnya. Jadi jangan kuatir, aku sudah menyiapkan hati. Aku udah mutusin untuk no baper sama kam—"

"Bukannya kuliah malah pacaran!" Suara yang muncul di antara mereka berdua membuyarkan apapun yang ada di ujung lidahnya. "Aku udah absenin kamu, sekarang ganti sama mie ayam ceker!" perintah Fauzan yang duduk di depannya diikuti dengan Wahyu dan Rizal. "Tapi aku juga pengen bakso." Kegemaran mereka untuk menghabiskan waktu untuk mencoba berbagai jenis makanan yang ada di Surabaya menjadi salah satu pengiakt mereka berempat. Terkadang mereka rela keluar rumah di tengah malam hanya untuk menikmati rawon dan pecel yang ada di tengah kota.

Yanti bersyukur melihat ketiga sahabatnya, dan sesekali melirik Gigih yang tak bisa ia mengerti. "Aku lagi pengen ngadem, bukannya panas-panas uyel-uyelan mangan mie ayam!" protesnya. "Es teller, es degan atau ice cream, lah." Ia menyadari panas yang dirasakannya bukan hanya karena cuaca, tapi karena sorot mata tajam yang Gigih berikan padanya. Bukan kebencian atau kemarahan, tapi sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang.



Malu-maluin
Berdesakan sambil makan mie ayam



Semua pasti sudah  hafal sama selera musikku yang kadang enggak jamannya banget.
Lagu-lagu yang diputar Bapak di mobil waktu aku masih kecil sepertinya terlalu melekat di ingatan.
Happy reading, guys

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top