Bab 0.2


Bab 0.2


Setelah pertemuannya dengan Yanti tahun lalu, Gigih semakin disibukkan dengan skripsi dan pekerjaan. Memastikan semua berjalan sesuai rencananya membuatnya semakin jarang datang ke kampus kecuali untuk bertemu dengan dosen pembimbingnya. Bahkan kesibukan itu membuatnya tak bisa mengikuti acara Temu Akrab karena ia harus menginap di rumah sakit karena demam berdarah.

Penyesalan terbesarnya adalah gagal untuk bertemu dengan perempuan bermata sipit yang membuatnya penasaran. Wajah Yanti tak pernah hilang dari ingatannya. Meski beberapa kali ia ke kampus, tapi Gigih selalu gagal bertemu dengan perempuan yang membuatnya bertanya-tanya.

Pagi ini, Gigih kembali ke kampus untuk bertemu dengan Wisnu. Pria berusia beberapa tahun diatasnya tersebut berencana untuk bekerja sama untuk salah satu proyek yang dikerjakannya. Dengan langkah pasti, ia memasuki kantin dan jantungnya melonjak kegirangan.

Tak jauh dari pintu timur bangunan berangka baja tersebut, Gigih melihat gadis yang sesekali muncul di mimpinya dengan buku berwarna hijau di tangan. Senyum tak bisa ia tahan. Napasnya kembali terasa lega setelah memastikan perempuan itu bukan hanya ada di dalam khayalannya.

Berjalan pelan mendekati meja Yanti, Gigih tak bisa mengalihkan pandangannya. "Jangan bilang kalau kamu juga jatuh cinta sama si Mas Teto!" Gigih tak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu ketika melihat judul buku di tangan Yanti. Ditemani segelas es teh, gorengan dan juga buku bersambul warna hijau terang karya Y.B. Mangunwijaya. Perempuan yang terlihat serius itu tak menyadari sudah menjadi pusat perhatian Gigih sejak ia melangkah memasuki kantin.

"Hah," jawab Yanti terlihat terkejut. Enntah karena ganguan atau kemunculannya yang tiba-tiba, karena mata sipit Yanti terlihat membulat. Gigih bisa melihat tanda tanya di wajah menarik itu.

Tidak ada wajah yang terlihat pucat. Gigih tak lagi mendengar rintihan tertahan keluar dari bibir Yanti. Saat ini, mata membelalak terlihat tak percaya mendominasi wajah cantik perempuan di depannya. "Maksudnya?" tanya Yanti terlihat semakin bingung.

Gigih menunjuk buku di tangan Yanti. "Kamu baca mas Teto, kan?" Yanti masih terlihat bingung tapi itu justru membuat Gigih lebih berani untuk mendekatinya. "Masih inget aku, kan?" tanyanya setelah duduk tepat di depan Yanti tanpa meminta izin terlebih dahulu.

"Mas Gigih kenal mas Teto juga?" tanya Yanti setelah mengangguk menjawabnya. "Beneran baca dari awal sampai akhir?" Mata membelalak Yanti menunjukkan keheranan dan ketidakpercayaan, Gigih mengangguk dan memahami pertanyaan itu. Tidak semua orang percaya ketika mengetahui ia membaca salah satu karya terbaik anak negri, mereka seolah tak percaya. Seperti Yanti saat ini.

"Mas Teto pernah jadi bagian dari debat kusir antara kedua saudara perempuanku." Yanti terdiam mendengarkannya, Gigih semakin bersemangat ketika mata itu tak berpaling darinya. "Dan sebagai satu-satunya lelaki di antara keduanya, aku diharuskan untuk adil dalam menengahi perdebatan sengit tersebut."

"Lalu?" tanya Yanti ingin tahu pendapat Gigih. "Kamu pasti bilang dia adalah lelaki paling bodoh."

"Enggak!" jawab Gigih yang menggelengkan kepala mengingat hasil akhir perdebatan itu.

"Tunggu! Kamu beneran baca sampai selesai, kan?" Gigih bisa merasakan kekaguman Yanti ketika melihatnya anggukan. "Terus?"

"Aku enggak bakalan memberikan jawaban yang beresiko tinggi." Nada geli yang terdengar jelas membuat Yanti terlihat bingung.

"Resiko tinggi apa?" tanya Yanti meletakkan buku dan memajukan badan menanti jawaban Gigih.

"Apapun jawabanku, pasti membuatmu tidak setuju. Aku belajar dari pengalaman, karena saat menengahi mereka-setelah terpaksa membaca novel-keduanya balik menyerangku. Menurut mereka, aku tak bisa mengerti inti dari cerita itu. Jadi, aku enggak bakalan kasih pendapat apapun padamu!"

Yanti terdiam. Menopang dagu menatap Gigih dengan kening mengernyit, dan ia pun melakukan hal yang sama. Bertopang dagu dan menikmati wajah cantik di depannya. "Kamu emang seramah itu, menyapa semua orang yang Mas kenal atau ini pengecualian?" Pertanyaan tiba-tiba yang tidak berhubungan dengan novel tersebut tak membuat Gigih terkejut. Senyum puas yang terkembang di bibirnya memubat Yanti cemberut dan menegakkan punggungnya.

"Ini pengecualian," jawab Gigih tegas. "Selain karena aku tertarik sama bacaan kamu ... aku juga merasa harus menyapamu." Dalam hati Gigih bersyukur hari ini memiliki janji di kantin kampus yang masih menjadi tujuannya setiap kali hendak bertemu dengan beberapa teman kuliah. "Kenapa?" tanya Gigih ketika medapati perempuan di depannya masih terdiam.

Gelengan kepala Yanti terlihat ragu, tapi Gigih tak ingin terlihat terlalu ingin tahu. "Aku kaget kamu tahu novel ini, Mas. Tapi yang buat aku lebih kaget adalah kamu benar-benar membacanya." Tanda tanya di wajah Yanti terlihat jelas, seolah Gigih adalah misteri besar yang harus dipecahkan.

"Lho, emang kenapa?"

"Ya ... aneh aja, sih! Tapi aku kagum padamu, Mas. Jangan-jangan kamu baca Jane Austen juga," kata Yanti terlihat menahan senyum, membuatnya semakin terlihat menarik di mata Gigih.

"Oh no ... aku menarik garis keras setelah kejadian Mas Teto. Bahkan mereka berdua pernah memiliki ide untuk membuat books club yang beranggotakan kami bertiga."

Saat itulah tawa lolos dari bibir Yanti dan membuat Gigih tercengang. Perempuan itu memiliki lesung pipi yang muncul setiap kali ia menarik bibirnya ke atas. Wajahnya terlihat lebih cerah dan bebas. "Ojo ngguyu, Ci!" pinta Gigih yang tak ingin terlihat bodoh karena seringai di bibirnya semakin lebar. "Kamu enggak ada kuliah?"

"Ya ampun, Mas ... aku lupa!" jawab Yanti setengah berteriak dan dengan panik memasukkan semua barangnya ke dalam tas. "Aku kuliah dulu, Mas!" Sebelum Gigih sempat menjawabnya, Yanti berlari menuju gedung yang berseberangan dengan kantin. Tanpa Gigih sadari, kakinya pun berjalan mengikuti langkah cepat Yanti menuju lantai dua.

Ia menghentikan langkah ketika Yanti berhenti di depan kelas dan mengatur napas, dan Gigih diam beberapa langkah di belakangnya sebelum mengikuti langkah Yanti memasuki ruang kelas. Ia tersenyum ketika melihat mata membelalak Rendra-salah satu dosen yang ia kenal-saat Yanti meminta maaf. "Maaf, telat Mas," kata Yanti.

"Lho, Gih! Ngapain masuk kelasku?" Dari sudut mata, Gigih bisa melihat Yanti menghentikan langkah dan memutar badan. Gigih tersenyum tanpa mengindahkan Yanti yang membelalakkan mata dengan mulut terbuka lebar.

"Mas, kamu, kok di sin-"

"Ngapain? Mau ngulang kuliah lagi?" tanya Rendra dengan senyum dibibirnya menyela pertanyaan Yanti yang masih terdiam menatap Gigih.

Gigih memutuskan untuk tidak mengindahkan Yanti yang masih terkejut melihatnya berdiri tepat di belakangnya. "Ngancani dia aja, Mas. Enggak apa-apa, kan?" jawab Gigih membuat Yanti melongo. "Ayo!" ajaknya menuju deretan paling belakang sebelum mereka berdua semakin terlihat bodoh dan menjadi perhatian seisi kelas.

Gigih bisa merasakan ketegangan Yanti di sampingnya, tapi pandangannya tetap lurus ke arah Rendra di depan kelas. "Kalau kamu enggak berhenti merhatikan aku, Mas Ren bakalan manggil kamu, Ci!" kata Gigih tegas. "Aku tahu kalau wajah tampanku mengalihkan duniamu, tapi kamu pasti enggak mau jadi pusat perhatian di kelas Mas Ren. Percaya sama aku."

"Telat! Semua orang udah merhatikan aku waktu kamu ikut masuk ke sini!" jawab Yanti ketus membuatnya tersenyum, meski di dalam hati ia tak tahu kenapa mengikuti langkah Yanti memasuki kelas Rendra.

Setelah kemarahan itu, tak ada satu katapun keluar dari bibir keduanya hingga Rendra menyudahi kuliah hari itu. Namun, belum sempat ia menahan Yanti, perempuan yang masih setia dengan backpack besarnya tersebut melangkah dengan cepat meninggalkannya dan Gigih berencana untuk menyusulnya nanti, setelah ia bertemu Wisnu yang sudah berada di kantin sejak satu jam lalu.

Gigih berjalan menuju kantin dan duduk di depan Wisnu yang sibuk dengan laptop di depannya. "Pancet ae, mesti telat?" tanya Wisnu tanpa menegankkan punggungnya. "Kapan rajin?"

"Aku rajin, Nu!" jawab Gigih yang tak pernah memanggil Wisnu dengan sebutan Mas, meski pria didepannya beberpa tahun lebih tua darinya. "Sayangnya, ada sesuatu yang membuatku sibuk. Sorry," kata Gigih tak terdengar menyesal, karena bisa bertemu kembali dengan Yanti merupakan keberuntungan yang tak ingin ia ganti dengan apapun. "Kerjaan apa?" tanyanya tak ingin menghabiskan waktu dengan basa-basi, karena ia tak mau Wisnu memiliki pertanyaan apapun tentang keterlambatannya.

"Aku ngerti kamu enggak pengen aku tanya-tanya. Iya, kan?" Gigih mengedikkan pundak tak mengonfirmasi apapun kecurigaan Wisnu. "Ini proyek yang pengen aku tawarin ke kamu." Gigih melihat tablet yang Wisnu sodorkan ke arahnya. Restorasi selalu membuatnya lebih bersemangat dibanding membangun mulai dari 0. Ada perasaan tersendiri ketika melihat bangunan lama berubah lebih bagus dan berfungsi.

"Lah, ini bukan proyek kantor?" tanya Gigih penuh tanda tanya.

Wisnu menggulir tablet kembali dan memperlihatkan rencana anggaran untuk renovasi proyek yang memakan waktu enam bulan tersebut. "Aku udah resign dari bulan lalu, Gih." Gigih tak menyembunyikan keterkejutannya, karena sejak ia mengenal Wisnu, pria berbadan tinggi besar tersebut sudah bergabung di kantor tersebut sejak lulus STM.

"Yang punya rumah itu salah satu klien di kantor lama, dan dia pengen aku yang kerjakan. Kamu, kan tahu kalau aku lebih cocok ngerjain desain. Itu kenapa aku pengen narik kamu untuk gabung."

Gigih masih menatap layout yang Wisnu kerjakan ketika terdengar tawa dari seberang tempatnya duduk. Matanya membulat ketika dari jarak beberapa meja, ia melihat Yanti dengan tiga orang laki-laki yang terlihat seumuran dengan perempuan itu. Untuk sesaat, ia tak mampu memalingkan wajah. Matanya terpaku pada wajah yang memaku pandangannya. Alis mata yang tak berhenti bergerak ketika Yanti mengatakan sesuatu. Mata yang semakin menyipit ketika tawa menghiasi bibir merah itu. Suara tawa yang sejak beberapa saat lalu menjadi candu baginya, seolah menarik dan memenjarakannya.

"Cantik. Pacar, gebetan atau mantan?" pertanyaan Wisnu membuatnya memalingkan wajah dan bertemu dengan pria yang memandangnya sambil menopang dagu. "Jadi itu yang buat kamu telat hampir sejam?"

Nah ... perdana kemunculan Mas Wisnu yang ceritanya lagi ongoing di KK.
Yang pengen baca Gigih dan Yanti, bisa ke KK juga.

love, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top