Bab 0.10
Semenjak Yanti kembali ke kampus, Gigih semakin sering menemukan perempuan itu menyendiri di bawah pohon trembesi yang menjadi tempat favorit keduanya. Ia sering menghabiskan waktu berdua bersama Yanti ketika tidak ada pekerjaan yang harus diawasinya. Begitu juga dengan hari ini, Gigih kembali mendapati Yanti sibuk dengan novel di tangannya hingga tidak menyadari kehadirannya. Meskipun sudah lebih dari sepuluh menit Gigih berdiri tak jauh darinya. Hingga ia kembali menyanyikan lagu Aryati, perempuan itu menutup novel dengan keras sebelum mengangkat kepala dan menghunus pandangan tajam ke arahnya.
"Perasaan aku udah minta kamu untuk berhenti nyanyi lagu itu, Mas!" protes Yanti sesaat setelah ia menghentikan langkah tepat di depan perempuan yang harus mendongak menatapnya. "Mbencekno!"
"Itu, kan hanya perasaan kamu aja," kata Gigih menjatuhkan badan tepat di samping Yanti yang tak melepas pandangan darinya. "Ngapain semedi di sini?" Udara siang ini terasa lebih panas, tapi Yanti tak terlihat terganggu. Bahkan Gigih mendapati perempuan itu nyaman meski ia bisa melihat beberapa butir keringat di keningnya.
"Kamu ngapain, to, Mas?! Enggak ada kerjaan?"
Gigih mengedikkan pundak dan menjulurkan leher mencoba membaca novel di tangannya semakin membuatnya jengkel. "Kamu kok suka di sini, Ci? Enggak wedi dikancani ...."
Yanti menoleh mendengar pertanyaan anehnya, "Dikancani sopo? Setan?" Gigih mengangguk menjawabnya. "Lapo wedi! Buktine saiki aku mbok kancani."
"Jancuk! Aku mbok padakno setan, Ci!" umpatan Gigih membuat Yanti terkejut, tapi detik berikutnya perempuan itu tertawa terbahak-bahak mendapati wajah jengkelnya.
Angin sejuk yang berhembus membawa ketenangan tersendiri bagi Gigih. Ia merasa nyaman, meski Yanti terkadang jengkel karena ia menganggunya dengan pertanyaan atau kelakukan aneh yang menguji kesabaran. Seperti ketika ia mencabut ear buds di telinga kanan Yanti dan memakainya. "Dengerin apa, to?" tanya Gigih meski melihat alis Yanti menukik tajam. "Enggak usah mendelik, dari pada aku ngantuk." Yanti kembali meliriknya.
"Pulang, sana, Mas!" usir Yanti ketika ia mengubah posisi duduk dan mencari posisi paling nyaman. Rasa yang selalu muncul setiap kali ia bersama Yanti membuatnya harus menahan diri untuk tidak merokok didekatnya. Gigih bisa merasakan lirikan Yanti meski saat ini ia memejamkan mata dan mengangguk pelan menikmati alunan lagu lama di telinganya.
Yanti terpekik ketika tiba-tiba ia membuka mata dan membuatnya terkejut karena tatapan mata mereka beradu. Dengan jarak mereka yang hanya sejengkal membuat Gigih bisa memandang wajah Yanti lebih dekat. "Ngopi, yuk, Ci!" ajak Gigih yang tak ingin terlalu lama memandang wajah Yanti, karena saat ini dorongan untuk memajukan wajah dan mengecup bibir merah itu terlalu kuat dirasakannya.
"Hah!" kata Yanti terdengar gugup di telinganya. "Males!" ucap Yanti ketus setelah kembali menunduk membaca novel di pangkuannya.
Gigih kembali mendekatkan kepala, meski saat ini jantungnya berdegup kencang. "Ci," panggil Gigih.
"Hhmm," gumam Yanti lirih tanpa menoleh ke arahnya.
"Aryanti mawar di taman khayalku." Yanti menegakkan kepala menoleh marah ke arahnya dengan pandangan tajam. "Nah ... gitu dong."
"Mau apa, sih, Mas?!" Masih dengan marah yang terlihat jelas karena ia merusak waktu santainya, Yanti menatap Gigih tajam. "Apa, sih! Mau ngerokok? Ya udah, sana!" Yanti tahu ia tak pernah merokok di lingkungan kampus.
"Ada yang mau aku omongin." Rasa gugup tiba-tiba mengisi hatinya ketika mata sipit itu tertuju padanya. "Ngopi, yuk."
"Males! Katanya mau ngomong! Ndang ngomong!" kata Yanti ketus. "Kalau mau ngomong enggak harus sambil ngopi, kan?!"
Gigih tak tahu apa yang akan dikatakannya nanti, tapi dorongan di hati tak bisa ia pungkiri lebih lama lagi. "Ntar aku anterin sampai rumah. Kalau masih kurang, kamu bisa pilih lima novel apapun yang kamu mau."
Mendengar tawaran Gigih, mata Yanti bersinar terang dan segera berdiri. "Beneran?" tanya Yanti bersemangat. Terlebih lagi ketika melihat anggukan kepalanya. "Periplus?"
"Nyikso iku jenenge, Ci!" jawab Gigih ketus.
"Ya udah, ngopi sana!" kata Yanti kembali duduk. "Nunggu apa, lagi, sana!" usir Yanti ketika melihatnya tak bergeming.
Gigih tak keberatan meski harus menguras kantongnya untuk membuat Yanti bahagia. Namun, sejak dorongan untuk mencium bibir Yanti muncul beberapa saat lalu, ia merasa gugup yang tak bisa ia jeaskan. "Ya udah, Periplus. Tapi cuma tiga!"
Yanti menutup novel dan menatapnya dengan sorot mata tak bisa ia mengerti. "Kamu kenapa, sih, Mas? Bilang mau ngomong, tapi diem aja. Kalau butuh ngerokok, ya udah sana ngerokok." Gigih masih tak membuka bibir karena yang diinginkannya adalah membawa Yanti pergi dari kampus. "Duduk, dulu, deh!" perintah Yanti. "Ngomong dulu ada apa, baru aku mau ngopi sama kamu!"
"Pergi ngopi dulu, baru aku ngomong," tawar Gigih. "Ayolah! Enggak ada kuliah lagi, kan?"
Gigih tahu pada akhirnya ia berhasil merayu Yanti, meski saat ini perempuan yang terlihat enggan ketika dengan lembut ia memasangkan helm menolak untuk memandangnya. "Senyum dong, ke Periplus, kan?" godanya yang semakin membuat bibir merah itu cemberut.
Galaxy Mall terlihat ramai ketika keduanya memasuki pintu yang tak jauh dari toko buku kesayangan Yanti. Gigih yang sejak keluar dari area parkir tak melepas genggaman tangannya, kini mengayunkan langkah dengan pasti. "Lho, katanya mau ngopi?!" Yanti menarik tangannya, tapi Gigih tak mengindahkannya. Ia justru semakin mempercepat langkahnya meski saat ini perempuan yang berada di sampingnya sesekali menarik tangannya.
"Gimana kalau aku kasih waktu lima menit untuk memilih novel—"
"Apa!" teriak Yanti sebelum menyadari pekikannya mengundang perhatian beberapa orang. "Kamu kenapa, sih? Hari ini aneh gitu. Kemana Gigih yang enggak pernah capek bikin aku jengkel?"
Gigih menangkup pipi Yanti dan membuat mata sipit itu membulat. Ia tak mempedulikan lirikan beberapa pengunjung mall, karena matanya hanya tertuju pada perempuan yang membuat jantungnya berdetak kencang saat ini. "Aku akan bayar berapapun novel yang berhasil kamu ambil dalam waktu lima menit. Go!" Untuk beberapa saat Yanti terdiam tak bergerak. "Sekarang, Sayang!" perintahnya kembali dan seketika Yanti terkesiap dan berlari menuju jajaran novel.
"Beneran?" tanya Yanti kembali setelah menarik dua buku dari rak bertuliskan best seller. "Enggak guyon, kan?" Gigih menggeleng dan mengedikkan dagu memintanya kembali memilih novel.
Senyum di bibir Yanti, kebahagiaan yang terpancar jelas di wajahnya membuat Gigih menggeleng dan tertawa. Pertemuan mereka beberapa bulan lalu kembali melintas di pikirannya dan ia semakin memantapkan hati untuk mengatakan isi hatinya hari ini. Ia tak pernah tahu perasaan Yanti untuknya, tapi Gigih berani untuk mempertaruhkan hatinya hari ini.
Hampir lima menit dan perempuan yang terlihat tertawa itu sudah memeluk lima novel dan di detik terakhir jari lentiknya sempat meraih satu lagi novel bersampul merah. "Done!" teriaknya yang justru membuat senyum di bibir Yanti semakin lebar. "Ayo, kita bayar dulu. Keluarin tas kain kamu!" perintahnya pada Yanti. Yanti berhenti bergerak, tangan lentiknya masih di dalam genggamannya ketika ia menariknya untuk keluar dari toko buku.
"Sekarang, kita ngopi," ajak Gigih bersamaan dengan gertaran ponsel di sakunya. "Iya, Bu," katanya masih dengan sneyum di bibir.
"Mbakmu di rumah. Cepetan pulang, Mas!" Sebaris kata yang membuatnya terdiam, dan Gigih segera mengubah arah langkahnya.
"Mas," kata Yanti yang menarik tangannya. "Kenapa?"
"Aku anterin kamu balik dulu, ada sesuatu yang harus aku urus dulu." Tanpa memberi kesempatan pada Yanti, ia kembali menggengam tangannya dan berjalan menuju parkir. Pikirannya penuh dengan perintah ibunya, dan ia semakin mempercepat langkah kakinya. Hilang sudah semua rencana untuk mengatakan isi hatinya, karena kehadiran kakaknya jauh lebih penting untuk saat ini.
Perjalanan pulang tanpa kata membuat suasana di antara mereka berdua terasa canggung, dan Gigih mengetahui itu. Namun, ia tak menemukan kata untuk diucapkan ketika pikirannya hanya tertuju ke rumah. "Aku telepon kamu lagi nanti," katanya ketika membantu Yanti melepas helm. "Sekarang aku harus pergi. Aku sayang kamu, Ci. Aku benar-benar sayang kamu, tapi sekarang aku harus pergi." Gigih tak berlama-lama menikmati keterkejutan yang tercetak jelas di wajah Yanti, karena ia segera melarikan motor sekencang mungkin menuju rumah sebelum semuanya terlambat.
***
Hingga pagi menjelang Yanti tak mampu memejamkan mata. Setelah mendengar ungakapan sayang dan meninggalkannya dengan bibir menganga, pria yang membuatnya tak bisa tidur itu masih tak memberinya kabar meski beberapa kali ia menghubunginya. Bahkan pesan yang dikirimnya beberapa jam lalu pun masih tak berubah. Tak terjawab. "Kamu ke mana, Mas? Aku kuatir," bisik Yanti di kegelapan kamarnya.
Beberapa hari berselang, dan ia masih tak mendapat kabar apapun dari Gigih. Yanti bingung tapi menahan diri untuk tidak bertanya pada siapapun tentang keberadaan kakak kelasnya tersebut. Meski saat ini, hatinya tak tenang. Berbagai pikiran buruk berlarian memenuhi kepalanya, tapi Yanti menahan diri. Meski hingga ia mendapat kabar tentang acara wisuda yang digelar tepat tiga bulan setelah Gigih menghilang darinya.
"Mungkin dia kerja di luar pulau, Ti," kata Fauzan menghiburnya. Walaupun mereka berdua itu hanya kebohongan. "Aku enggak ngerti ada masalah apa sama kalian berdua, tapi ... mungkin ini waktunya kamu melupakannya." Yanti melotot mendengar saran Fizan. "Kamu ngerti kalau aku enggak bakalan bohong sama kamu. Aku juga enggak bakalan ngomong sesuatu hanya karena enggak mau kamu sakit hati."
"Aku cuma pengen tahu kabarnya, Zan!" katanya menahan air mata yang mengancam membasahi pipinya. "Aku ngerti kalau melupakan Mas Gigih adalah salah yang terbaik, tapi itu enggak semudah membalik telapak tangan, kan!" Ada sedih dan marah yang terdengar jelas di setiap kata yang diucapkannya dan ia tak peduli meski Fauzan, Wahyu dan Rizal akan memandangnya dengan belas kasihan.
"Hei ... kita bertiga enggak minta kamu untuk ngelupakan dia sekarang," pinta Wahyu dengan lembut. "Kita hanya pengen kamu kembali menjadi Yanti yang banyak tawa. Selalu bisa melihat sisi positif dari semua hal. Yanti yang enggak malu untuk ngomong isi kepalanya." Entah mulai kapan ia berubah, tapi ketika mendengar permintaan Wahyu, ia tak bisa menjawabnya.
Malam itu, di kamar kost yang gelap gulita sambil memandang langit kota Surabaya, ia mengucapkan apa yang ingin ia katakan pada Gigih. Ia tahu pria yang pernah mengatakan sayang padanya tak akan bisa mendengar itu semua, tapi Yanti tetap mengatakannya.
"Aku sayang kamu Gigih Irawan. Sejak kamu mengatakan tentang Mas Teto, ada sesuatu yang menarikku kepadamu. Sekeras apapun aku berusaha untuk melangkah menjauh darimu, tapi kakiku selalu kembali padamu. Aku sayang ... aku cinta kamu Mas. Sampai saat ini, enggak ada satu orangpun yang pernah menyayangiku seperti caramu menyayangiku. Perhatianmu. Kelembutanmu. Bahkan sikapmu yang terkadan menjengkelkan, membuatku tak bisa memalingkan wajah. Senyummu sudah menjadi bagian dari hari-hariku. Aku mencintaimu, Mas."
Sejak malam itu, Yanti menghapus nama Gigih Irawan dari kehidupannya. Ia menyimpan semua kenangan bersama Gigih ke dalam kotak yang tak akan pernah dibukanya kembali. Kehilangan Gigih membuatnya berubah menjadi sosok yang tak ia kenali, dan bertekad untuk berubah. Ia tak mau seorang Gigih mengubahnya. Sebesar apapun kemarahan yang ada di hatinya, Yanti bertekad untuk melupakan pria berkaca mata tersebut.
Mas Gigih is in the house ... Happy reading guys
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top