Bab 0.1


Bab 0.1



Kampus selalu menjadi tujuannya ketika semua tugas sudah ia kerjakan. Sejak mengambil alih pekerjaan mendiang ayahnya dua tahun silam, Gigih tak punya banyak waktu luang. Namun, ketika semua sudah di selesaikan-seperti hari ini-ia memilih untuk ke kampus, bertemu dengan teman, bercanda dan terkadang membicarakan tentang pekerjaan. Ia bukan mahasiswa abadi, bahkan saat ini, Gigih sedang menyelesaikan tugas akhirnya sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik yang ia idam-idamkan. Namun, berada di kamus-lebih tepatnya, kantin-selalu membuatnya nyaman.

Gigih memasuki area parkir motor yang berada di sekitar masjid kampus tiga puluh menit dari janji yang Gigih buat tak membuat kakinya segera berlari. Terlambat seolah menjadi hal yang wajar baginya, meski itu membuat orang disekitarnya marah. Bahkan ia menggunakan waktu untuk menyusuri selasar penuh kenangan dengan langkah pelan sambil mengingat waktu yang pernah dihabiskannya di sana. Meski di dalam hati ia mengakui, sebagian besar waktu, dipakai untuk bermain. Menebar pesona pada semua perempuan yang jumlahnya tidak terlalu banyak atau bercanda dengan sesama pencari ilmu yang berharap akan segera bekerja sesaat setelah wisuda. Senyum pun tak bisa Gigih tahan ketika mengingat salah satu perempuan yang pernah menyatakan perasaannya di depan kelas.

Kampus terlihat sepi, hanya beberapa orang yang ada di dalam kelas bercanda sambil menghabiskan makan siang mereka. Gigih mempercepat langkah ketika menyadari waktu yang dihabiskannya di selasar ini, hingga ia mendengar erangan tertahan dari salah satu kelas.

"Kamu kenapa?" tanya Gigih ketika melihat seseorang membenamkan wajah di atas lipatan tangannya. "Hey, kamu kenapa?" tanyanya lagi ketika tak mendengar jawaban. Gigih menyentuh pundak dan terkejut ketika orang berambut pendek itu mengangkat kepalanya. "Kamu ... cewek!" katanya tak sadar menyuarakan keterkejutannya. Matanya membelalak tak percaya melihat mata sipit sayu yang menatapnya saat ini. Gigih bisa melihat butiran keringat di kening lebar perempuan itu. Perempuan yang terlihat menggigit bibir bawah terlihat menahan sakit tersebut membuatnya menekuk lutut. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Gigih untuk ketiga kalinya.

"Emang kenapa kalau aku cewek!" jawaban ketus itu membuat Gigih mengakkan pungggung dan mengangkat kedua tangan tanda menyerah.

Gigih mengindahkan tatapan curiga yang tertuju padanya saat ini dan kembali membungkukkan pungung hingga sejajar dengan pemilik mata sipit itu. "Kamu kenapa? Sakit?"

"Ak-" Perempuan itu berlari keluar kelas, meninggalkan Gigih yang kebingungan melihatnya. Ia tak tahu apa yang terjadi tapi ia memutuskan untuk membawa tas yang ditinggal pemiliknya.

Gigih memilih untuk menunggu, dan menyandar di dinding depan pintu kamar mandi sambil membalas pesan adik kelas yang menantinya hingga terdengar langkah kaki. "Muntah?" Perempuan itu mengangguk. "Asam lambung?" Anggukan itu kembali terlihat lemah. Namun, ketika Gigih bersiap untuk kembali bertanya, ia kembali terkejut ketika kaki bersepatu doc martens itu berlari masuk ke dalam kamar mandi.

Sorry telat, ada Maba yang sakit.
Enggak tega mau ninggal, mulai aja dulu.

Sebagai mahasiswa di tahun terakhir, Gigih jarang ke kampus, tapi hari ini ia sengaja datang untuk membantu panitia temu akrab-acara tahunan-untuk mahasiswa baru. Meski tugasnya hanya sebagai pendamping panitia pelaksanaan selama proses persiapan, tapi ia selalu menikmatinya. Bahkan Gigih selalu datang di acara yang berlangsung tiga hari dua malam di luar kota terse.but.

"Muntah lagi?" tanya Gigih ketika melihat perempuan yang terlihat pucat. "Aku bantu ke posko, yuk!" Uluran tangan Gigih tak segera perempuan itu sambut. "Bisa jalan sendiri? Atau mau aku gendong?" Mata sipit itu semakin membelalak mendengar pertanyaan Gigih yang harus menahan diri untuk tidak tersenyum. "Aku cuma pengen bantu, kalau enggak mau juga enggak apa-apa. Aku temeni jalan ke posko yuk."

Tangan Gigih masih terulur meski saat ini keraguan tercetak jelas di wajah perempuan yang tampak semakin pucat. Sebelum menarik tangan kembali, tiba-tiba Gigih merasa cengkeraman di lengannya. "Barangku masih di dalam kelas, aku mau ambil tapi ...." Bibir perempuan itu terkatup seketika ketika melihat Gigih mengangkat backpack besar berwarna hitam yang terasa berat di tangannya.

"Kamu bawa apa aja, nih? Gede banget tasnya, berat lagi?" Mata itu kembali melotot menjawab pertanyaan Gigih. "Bercanda. Nama kamu siapa?" tanyanya setelah beberapa langkah menuju posko kesehatan yang terletak di seberang gedung tempat kami berdua berada saat ini.

"Aryanti Citra Ramdhani, tapi semua panggil aku Yanti." Jawaban di sela-sela rintihan itu membuat Gigih kuatir. Tanpa peduli akan mendapatkan protes atau bahkan amukan, Gigih meraih tangan Yanti dan memapahnya. "Aku bisa jalan sendiri!" protes perempuan yang segera menghentikan langkahnya.

"Aku ngerti. Tapi kalau gini, kan, aman kalau kamu pingsan. Bukan aku berdoa kamu pingsan." Tambahnya ketika melihat mata itu membulat dengan tatapan tajam. "Wajahmu pucat, Kelihatan mau pingsan. Ntar kalau sudah sehat, boleh marah. Tapi, sekarang nurut dulu!" perintah yang mungkin terdengar keras untuk pertemuan pertama dua orang asing, tapi Gigih tak ingin perempuan yang saat ini masih menatapnya tajam terjatuh karena keras kepala menolak bantuannya.

Setelah beberapa saat keduanya saling beradu pandangan, Yanti menghela napas dan kembali berjalan dengan bertumpu padanya. "Udah berapa lama di kelas sendiri tadi? Kok enggak ada temannya?" tanya Gigih yang keheranan tak mendapati seseorang di sekitar Yanti.

"Kan belum terlalu kenal semuanya, Mas. Lagian cewek-cewek yang satu kelas udah pada keluar." Tidak ada kesan marah, sedih atau kecewa di kalimat yang Gigih dengar. Perempuan yang sesekali mencengkeram lengannya tersebut tak terlihat keberatan dengan kesendiriannya. "Aku enggak terlalu dekat sama mereka."

"Enggak kenalan atau enggak bisa terlalu dekat sama mereka?" tanya Gigih yang bisa menebak dari cara Yanti menggambarkan teman-teman satu angkatannya. "Aku kira karena jumlah cewek sedikit banget, kalian bisa langsung akrab." Langkah Yanti kembali terhenti. "Kenapa? Aku salah ngomong, ya?"

"Emang ada aturannya kalau sekelas ceweknya cuma segelintir, terus kami jadi akrab. Ngemall sama-sama. Sering nongkrong rame-rame. Nonton bareng-bareng, gitu?!" Gigih menutup bibir tak menyangka perempuan yang beberapa detik lalu merintih tanpa melepas lilitan tangan di lengannya, kini terlihat murka dengan wajah menahan marah. "Sorry, efek sakit jadi nyolot. Kamu, juga, sih, Mas! Gara-gara kamu aku jadi ngomel padahal belum tahu namanya."

"Gigih."

"Siapa yang Gigih?" tanya Yanti tanpa menyadari senyum yang terkembang di bibir Gigih.

"Aku," jawab Gigih sesekali melirik Yanti yang berjalan tertatih di sebelahnya.

"Kamu kenapa?" Langkah Yanti terhenti dan mendongakkan kepala kembali menatapnya tajam.

Gigih tak pernah mengalami situasi yang menjengkelkan dan menyenangkan seperti saat ini. Meski kali ini bukan pertama kali orang bingung mendengar namanya, tapi raut kesal yang tercetak jelas di wajah Yanti membuat suasana hatinya semakin baik. "Namaku Gigih Irawan. Senang berkenalan denganmu."

"Aku kira maksud Mas itu bilang kalau aku gigih, ternyata namanya. Kamu segigih namamu, enggak?" Pertanyaan random yang tiba-tiba terdenagar membuat Gigih tak bisa mengalihkan pandangan dari bibir merah Yanti.

"Kata kedua orang tuaku, aku itu enggak gampang menyerah. Jadi, sepertinya aku cukup gigih."

Keduanya melanjutkan perjalanan tanpa ada kata menghiasi keheingan di antara mereka. Tawa yang terdengar di kejauhan pun tak membuat keduanya ingin membuka bibir, seolah larut dalam lamunan masing-masing. Hingga kaki mereka berhenti di depan ruangan dengan tanda silang di depannya.

"Makasih sudah bantuin sampai sini, Mas. Aku bisa sendiri," kata Yanti berusaha menarik tangannya.

"Nanggung, udah nyampe sini. Aku bantu sampai dalam!" kembali Gigih memberi perintah yang tidak Yanti bantah, karena perempuan yang masih merasa lemas itu kini sepenuhnya menyandar di lengan kokoh Gigih. "Yanti ... kamu enggak apa-apa?" tanya Gigih yang merasa tubuh Yanti semakin terasa berat. Perempuan yang masih sempat mengucapkan terima kasih tersebut kehilangan kesadaran sesaat setelah langkahnya melewati ambang pintu.

Hari itu tidak berjalan seperti yang ia rencanakan, tapi Gigih tidak menyesal menghabiskan waktu membantu Yanti hingga perempuan itu mendapat pertolongan. Namun, hatinya tak bisa tenang meninggalkan Yanti begitu saja. Setelah menemui beberapa panitia yang menunggunya, kini ia kembali menuju posko. "Lho, kemana yang tadi pingsan?" tanyanya pada salah satu panitia. Gigih melirik jam di pergelangan tangannya, dan tersadar sudah hampir tiga jam setelah ia meninggalkan Yanti di ruangan yang beraroma antiseptik tersebut.

"Yanti? Udah balik, Mas. Tadi ada temannya yang ke sini, tapi udah enggak apa-apa, kok.

"Oke, makasih, ya," jawabnya sebelum memutar langkah dan berjalan menuju area parkir. Sepanjang jalan pikirannya tertuju pada mata sipit yang hari ini mendominasi isi kepalanya. Senyum yang tersungging di bibir ketika perempuan itu mengucapkan terima kasih masih teringat jelas, dan perasaan menyesal seketika muncul di kepalanya.

Gigih kembali ke depan kelas Yanti, mencoba untuk mencari perempuan berambut pendek di antara mahasiswa baru yang memandangnya dengan curiga. Namun, sepertinya keberuntungannya tak kunjung datang, karena ia tak bisa menemukan perempuan dengan mata sipit, berambut pendek yang menarik perhatiannya.

"Lho, Mas Gigih masih di sini. Kirain udah balik dari tadi." Gigih mengalihkan pandangan dari gerombolan mahasiswa yang terlihat sibuk dengan tugas di tangannya. "Ntar jangan kaget kalau di mintain tanda tangan, ya. Aura ketua himpunan mahasiswanya masih terasa tuh."

Beberapa tahun lalu, Gigih resmi menyandang predikat sebagai ketua mahasiswa dari fakultasnya selama satu periode. Kesempatan yang sempat ia tolak, tapi tetap harus dijalananinya. Hingga saat ini, semua orang mengenalnnya sebagai ketua Hima, meski ia sudah tergantikan. "Kan udah pensiun," jawabnya tanpa menyebut nama perempuan yang tak menghapus senyum di bibirnya.

"Ya tapi tetap aja, Mas." Perempuan yang sesekali menyentuh dan menyelipkan rambut di balik telinganya tersebut terlihat ingin menahannya di tempat. Namun, sejak ia tak bisa menemukan Yanti, Gigih merasa tak ada gunanya memperpanjang urusannya di kampus.

"Sorry, masih ada pekerjaan. Aku mau balik dulu," katanya pada perempuan yang tak ia ingat namanya dan meneruskan langkahnya.

Ia bisa merasakan tatapan mata beberapa teman mahasiswi sepanjang jalan menuju area parkir. Gigih tak menampik bahwa selama ini, ia selalu mendapat perhatian dari kaum hawa. Namun, sejak pertemuannya beberapa jam lalu, yang diinginkannya hanya melihat mata sipit itu kembali.


Bagi teman-teman yang berminat, ada bukuku ikutan di parade Literasi Untuk Palestina. Banyak buku diskon yang hasilnya sepenuhnya disumbangkan untuk Palestina. cek fb Dee Soehartoko untuk informasi lebih lanjut.

Thank you
Love you all

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top