Prologue

“Ernest, ayo beri salam pada adikmu!” ucap seorang pria dengan nada lembut. Sosok yang berdiri tegap di depan pintu rumah itu memasang senyum yang tampak tulus. Meski kenyataannya, itu adalah senyum sejuta arti yang mampu menyembunyikan segala hal.

Anak laki-laki yang diajak bicara pun menatap sosok kecil di balik kaki sang ayah. Ia sangat kebingungan. “Adik? Sejak kapan aku punya adik?” tanyanya.

Pria itu menjawab, “Sulit menjelaskannya padamu sekarang. Yah, suatu saat kau akan mengerti. Dia adalah anakku dan kau juga anakku. Kalian bersaudara.”

Ernest menghampiri anak yang berada di belakang ayahnya lalu mengulurkan tangan sembari tersenyum. Ia tampak antusias menyambut wajah baru itu. Di sisi lain, sang ayah benar-benar bersyukur. Beberapa bulan lalu, ia telah kehilangan istri, yang membuat putranya itu juga ikut kehilangan senyuman. Namun, kehadiran sosok baru di kehidupan mereka sepertinya dapat memperbaikinya.

“Namaku Ernest. Salam kenal.”

Anak yang di belakang akhirnya kehilangan rasa takutnya dan mulai bersuara. “Aku ... Alfred.”

***

“Minggu depan sudah ujian kenaikan. Apa persiapanmu, Kak?” tanya Alfred. Ia berbaring di sofa sembari membaca buku-buku tentang sihir.

Kakaknya yang tadi mondar-mandir tidak jelas pun langsung berhenti setelah mendengar pertanyaan. “Persiapan untuk apa dulu? Ujiannya? Atau ... dia?”

“Astaga, sepertinya aku salah bertanya. Ujian hanyalah batu loncatan. Jadi, kurasa kau lebih peduli pada gadis itu,” sindir Alfred.

“Kau melupakan sesuatu, Al. Bukankah kita sudah membuat keputusan?”

Terdengar seperti semacam bualan, Alfred menanggapi dengan wajah ragu. “Apanya yang keputusan? Aku tidak ingat apa-apa.”

Ernest menghela napas, berjalan mendekat lalu merebut buku dari tangannya. Dengan ekspresi serius, ia menatap adiknya itu. “Kita pernah berjanji kalau kita akan bertarung sebelum hari kelulusan tiba.”

Alfred tersenyum, sedikit tidak menyangka kalau kakaknya telah berani menyatakan perang secara tidak langsung. “Oh, iyakah? Jadi, bagaimana kalau sekarang saja?”

“Benarkah? Siapa orangnya?” tanya Ernest. Respons yang tidak terduga.

Alfred tidak mengerti maksud kakaknya, tetapi yang jelas ada kesalahpahaman di sana. “Siapa? Tunggu dulu! Sebenarnya kita bertarung yang bagaimana?”

“Sudah kuduga, kau tidak menanggapi itu dengan serius.” Ernest mengembalikan bukunya. “Pertarungan kita adalah ... mencari pacar.”

“Hah? Tidak, aku tidak pernah bilang begitu. Jadi, lupakan saja!” ucap Alfred. Ia pun lanjut membaca.

Ernest tidak menyerah. Ia membuka ponsel kemudian menunjukkan sebuah rekaman suara. “Silakan!”

“Orang yang lebih dulu melepas status jomlonya, dia yang menang. Dan yang kalah, dia harus ....”

Alfred merebut ponsel kakaknya lalu mematikan rekaman suara itu. “Di zaman sekarang, suara bisa dipalsukan. Dasar sialan!”

Ernest tertawa sembari mengelus rambut pirangnya yang terlalu panjang. Ia memang memalsukan rekaman itu. Namun, tujuan sebenarnya baik, ia ingin Alfred tergerak untuk bersosialisasi. Sekalipun itu hanya untuk mendekati seorang gadis. “Tapi, tidak ada salahnya kan kalau kita benar-benar bersaing dalam hal ini?”

“Waktunya tidak cukup, ini adalah tahun terakhir. Minggu depan sudah ujian, setelah itu kita lulus. Terlebih lagi, aku belum tertarik pada siapa pun,” jelas Alfred.

“Yah, terserah kau lah. Kalau begitu, kita fokus saja pada ujian.”


***

Tanggal 27 April 2122, hari di mana ujian kenaikan dimulai. Namun, ada yang aneh dari ujian tersebut. Terdapat 144 peserta ujian, dan bukan hanya kelas tiga yang ikut, tetapi juga adik kelas, serta beberapa orang asing yang tak dikenal. Banyak murid yang meminta penjelasan, tetapi para guru tidak memberikan jawaban. Meski demikian, untuk orang yang bukan siswa, mereka sudah tahu bahwa ini memang bukan ujian.

Ernest Poin of View

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top