三 san
•
•
•
•
•
•
•
•
"Cideranya tidak terlalu parah. Akan sembuh dalam beberapa minggu. Tapi untuk sementara kaki kirimu tidak bisa digunakan untuk berjalan."
"Terimakasih, sensei" (name) membungkukkan badannya sebelum ia bangkit dengan kruk di tangan kanannya. Ia keluar dari ruangan serba putih itu lalu menemukan Bakugou tengah menunggunya di depan ruangan sembari menyenderkan punggungnya ke tembok. Iris mereka bertemu satu sama lain sebelum (name) memalingkan wajahnya.
"Oi bagaimana kakimu?"
"Bagaimana kakiku bukan urusanmu, kenapa kau masih disini"
Si lelaki tersenyum kecut, "Oh, jadi itu tanda terimakasih untuk tumpangan ke rumah sakit, hah!?". (Name) memutar bola mata malas, lantas berlalu meninggalkan putra sulung Bakugou itu. Jujur dia agak kesulitan karna belum pernah menggunakan kruk sebelumnya, ditambah lagi harus menuruni anak tangga dengan satu kaki. Oh tapi bukankah ini kesempatan bagus untuk mati? Iya, bisa saja nanti terpeleset lalu jatuh dan mati—
"Jangan gila dengan berpikir kau akan mati terpeleset di tangga"
"Hah? Dia bisa baca pikiran? Tapi aku yakin quirknya—"
"Aku tidak membaca pikiranmu bodoh. Dari raut wajahmu kelihatan, ck" Bakugou berjalan mendekati (name). Diambilnya tangan kanan gadis itu lantas dikalungkan ke lehernya, "Kubantu."
"Tidak butuh."
"Diam. Aku memaksa."
"Tidak ada yang minta dibantu!"
"Cerewet, obaa-san. Cepat turun"
"Aku bilang tidak mau! Lepaskan tanganku bom sialan!"
Oke, kesabaran Bakugou udah diambang batas. Ini pertama kalinya ia sesabar ini menghadapi orang. Entah ada apa dengannya, tapi hanya gadis itu yang bisa membuat Bakugo menahan emosi. Tidak mau ambil pusing, Bakugou mengambil pinggang (name) dan mengangkatnya ala menggendong karung beras, lagi. Sementara satu tangannya yang bebas menenteng kruk.
Satu hal yang (name) pelajari, lelaki rambut durian ini hobi angkat orang tanpa izin.
Bakugou membawanya sampai pintu keluar. Tentu kedua orang itu menjadi pusat perhatian seisi rumah sakit. Mau memberontak, tapi kaki (name) masi terlalu sakit untuk digerakkan.
"Oi baa-san, dimana rumahmu"
Dibandingkan bertanya orang ini lebih seperti memaksa untuk mengatakan dimana tempat tinggalku. Dasar menyebalkan!
"Aku bisa pulang sendiri jadi TOLONG LEPASKAN AKU" kata (name) dengan penekanan di akhir kalimat. Bakugo berdecak kesal, "Cepat katakan!"
Apa kubilang? Dia bukan niat bertanya tapi memaksa.
"Bawa aku ke—"
(Name) terdiam. Kalau tidak salah, pria ini seorang hero kan? Atau calon hero?
Akan menjadi suatu kebodohan besar jika (name) sampai membocorkan lokasi markas Liga Penjahat pada musuhnya sendiri. Ia harus lebih berhati-hati dalam berbicara. "Bawa aku ke stasiun, aku akan pulang sendiri"
"Akan susah jika naik kereta dengan kondisi seperti ini."
"Sudah kubilang aku bisa!"
"Tidak, kalau kau tetap keras kepala maka—"
"TURUNKAN AKU ATAU AKU BUNUH DIRI DENGAN QUIRK KU?!"
Netra Bakugou membola. Apaan perempuan ini? Apa sebegitu inginnya untuk mati? Ia lantas berjalan ke bangku terdekat—masih dengan (name) yang memberontak digendongannya. Lalu mendudukkan (name) dibangku tersebut, sementara ia sendiri jongkok tepat di depan (name).
"Hey, sebenarnya kenapa kau sangat ingin mati? Apa kau tidak memperdulikan orang-orang sayang padamu?" Tanya Bakugou to the point. (Name) sempat tertegun, tetapi tak lama kembali memalingkan wajah, terlihat cuek.
"Apa pedulimu?"
"Tidak ada, hanya bertanya"
"Jadi tidak masalah kan jika aku tidak mau menceritakannya pada orang asing?" Jelas sekali (name) menekan kan kata 'orang asing' dengan seringai dibibirnya. Cukup mengundang decak kesal dari Bakugou.
Cih, dia menganggapku orang asing setelah aku menyelamatkannya dari maut?!
"Apa karna sesuatu terjadi di masa lalu?" Tanya Bakugou asal.
Degh!
Hening. (Name) tidak terlihat membenarkan atau menyalahkan opini Bakugou. Kepalanya tertunduk, membuat Bakugou sedikit bingung dibuatnya.
(Name) sekarang ini tengah beradu dengan kenangan masa lalunya. Seperti kaset yang di putar ulang, kejadian suram masa lalunya terekam kembali dengan jelas di otaknya. Dimulai dari hari dimana ibunya terbunuh oleh pria yang dikenal dengan All for One. Lalu pertemuan pertamanya dengan sang 'Kakak' yang setelah itu mengajarinya mengendalikan quirk. Pembunuhan pertamanya, semuanya. Ia jadi mengingat lagi nasehat ibunya untuk selalu menjadi orang baik, apapun situasinya.
Tiba-tiba saja kepalanya terasa sakit, (Name) melenguh pelan sembari tangan kanannya bergerak untuk memijit pelipisnya.
"O-oi, kau kenapa?"
"Ibu...maafkan aku, maaf, maaf, maaf," lirih (name) yang masih bisa didengar Bakugou. Sepersekian detik berikutnya genangan air mulai tumpah membasahi pipi pucat (name), ia terisak, memanggil sosok yang selama ini ia rindukan. Sosok paling berharganya. Bibirnya tidak berhenti membisikkan kata maaf.
Bakugou bingung, dia mana pernah menenangkan perempuan saat menangis? Boro-boro menenangkan, yang ada dia bersikap tidak peduli. Apa ia harus memeluknya? Yang benar saja, itu memalukan!
Masih dengan posisi jongkok, tangannya bergerak mengelus punggung (name) yang naik turun, "H-hoi sudah lah, jangan menangis. Mukamu jelek sekali—"
Bukannya tenang, tangis (name) makin menjadi-jadi, sehingga mengundang perhatian orang-orang yang sedang lalu-lalang.
Bakugou tidak tahan lagi. Jari telunjuknya ia letakkan di dagu (name), lalu diangkatnya sampai wajah mereka sejajar. "Sudah kubilang kau jelek sekali jika menangis" katanya dengan senyum di akhir kalimat.
Senyum tulus yang jarang sekali Bakugo perlihatkan di depan umum.
"Aku yakin ibumu pasti tidak suka melihat putrinya menangis seperti ini..."
Menghela napas sebentar,
"Aku memang tidak tau apa apa tentangmu, apalagi masa lalumu. Dan aku tidak berhak tau. Tapi menyesali apa yang sudah terjadi, itu sia-sia kau tau? Masih ada kau yang besok. Hidup tidak tidak ditentukan dari seberapa kelam masa lalumu, tapi bagaimana kau di hari esok"
Masih dengan senyum yang sama, "Jangan tangisi masa lalumu. Kau lebih cantik saat tersenyum, tau"
Iris (e/c) (name) membesar. Hatinya mendadak hangat. Beban yang selama ini ia bawa sendirian luruh seketika dari pundaknya. Entah kapan terakhir kali ada orang yang 'peduli' padanya, selain ibunya tentu saja. (Name) ikut mengukir senyum, "Terimakasih,"
Blush!
"T-terimakasih untuk apa, aku tidak melakukan apapun"
"Padahal kau yang dari kemarin memaksaku untuk berterimakasih" (Name) terkekeh pelan, lalu mengusap bekas air mata di pipinya.
"Eh, sudah sore ya? Aku harus pulang" (name) menoleh ke arah langit yang menampakkan semburat jingga khas sore hari. Benar, sebentar lagi mulai gelap.
"Kau mau pulang sendiri? Baiklah"
(Name) mengerjap beberapa kali, ia tidak salah dengar kan? "H-hah tadi kau bilang—"
"Jika kau mau pulang sendiri, kali ini aku tidak memaksa"
Dia kesurupan? Tapi tidak baik juga jika kutolak tawarannya tadi. Yah walau agak memaksa.
Berpikir sejenak, lantas (name) mengangguk patah-patah, "B-Baik lah baik lahhh! Tolong antar aku sampai ke stasiun. Aku...tidak biasa menggunakan kruk, jadi..." ia membuang pandangan, tersipu tipis, lucu. Bakugou sempat tertegun melihatnya, lantas menyeringai, "Baiklah, jika itu maumu, obaa-san"
💥💥💥
"Hati-hati" ucap Bakugou sebelum (name) masuk kereta. Tersenyum samar, gadis itu mengangguk, "Hn, sampai jumpa lagi...emm—"
"Bakugou. Katsuki Bakugou"
"Baiklah, kalau begitu aku duluan" (name) melangkah masuk ke shinkansen dengan kruknya. Sebelum pintu tertutup, ia berbalik,
"(Full name), itupun jika kau ingin tau" (name) terkekeh di akhir kalimat. Ia melambai sebelum pintu tertutup.
"Aku tidak tanya, bodoh..."
(note.) KELIATAN MAKSA BANGET YA BUND ALURNYA😊✨
Apa kubilang pasti ooc😊💔
Yang punya pohon cabe sent sini dong sis, mau gantung diri aja guhe.
To be continued
Dipublikasikan 20/11/2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top