HARI PERTAMA

Sebagian remaja bahagia menyambut hari pertama masuk sekolah. Ketika sekolah dasar temannya sedikit setelah masuk sekolah menengah pertama bertambah banyak dan pergaulan pun lebih luas.

Gadis manis bertubuh sintal, kulit sawo matang, rambut hitam panjang, berdiri di depan cermin lemari sambil mematut diri. Seragam yang dulu putih merah kini berganti putih biru. Dia senang karena ini hari pertama memakai seragam baru. Setelah kemarin satu minggu mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa).

"Nok, ayo sarapan!" ajak Jumaeroh---mamaknya--- sambil mengetuk pintu kamar.

Denok yang disingkat 'nok' adalah panggilan sayang keluarga kepadanya. Denok juga panggilan sayang orang Jawa terhadap anak perempuan.

"Nggeh, Mak," sahut gadis itu lalu keluar kamar.

Besar di tengah keluarga yang sederhana, Ariani Nesya Maharani menjadi pribadi yang mandiri. Jumeri---bapak Nesya---seorang pedagang burung beserta perlengkapannya di pasar. Memiliki kios sederhana yang selama ini menjadi sumber kehidupan keluarga. Adik Nesya perempuan dan masih bayi, jarak usia mereka terpaut 12 tahun.

Nesya duduk di kursi ruang makan bersama Jumeri menunggu Jumaeroh yang masih sibuk membuatkan mereka minum. Di meja makan sudah tersaji menu sarapan yang sederhana, tapi menggugah selera. Hanya ada telur dadar dan tumis kangkung.

"Gimana sekolah barunya, Nok?" tanya Jumeri berlogat Jawa Tengah yang kental.

"Alhamdulillah, Nesya seneng, Pak. Sekolahannya bersih, terus pas kemarin ikut MOS seru." Nesya tersenyum sumringah.

Sikapnya yang lugu dan polos terkadang membuat Jumeri was-was. Saat Nesya masih sekolah SD, dia hanya bergaul dengan teman-teman di sekolah dan tetangga yang seusianya. Dia belum mengenal dunia luar, apalagi gadis ini ramah dan baik. Jumeri hanya takut kebaikan Nesya dimanfaatkan orang jahat.

"Nok, kamu sudah besar, harus bisa mawas diri. Boleh berteman dengan siapa saja, tapi kamu enggak boleh asal percaya sama mereka. Kawan itu bisa jadi lawan, kamu jangan mau dibohongi apalagi dibodohi, ya?" nasihat Jumeri mengelus kepala Nesya.

Sebagai seorang ayah, Jumeri tidak ingin melihat anaknya sedih dan kesulitan. Nesya termasuk anak rumahan, pergi ke mana-mana kalau tidak diantar Jumeri atau Jumaeroh, tidak berani.

"Nggeh, Pak," jawab Nesya patuh.

Jumaeroh datang membawa dua gelas, satu berisi teh panas, satu lagi berisi susu cokelat.

"Loh, kok enggak langsung ambil sarapan? Keburu siang loh, nanti telat berangkat ke sekolahnya," ujar Jumaeroh melihat piring mereka masih bersih.

"Iya, Mamak. Ini Nesya mau ambil nasi." Nesya membuka rice cooker. "Loh, kok masih banyak airnya?"

Jumaeroh langsung menjengukan kepalanya ke rice cooker, ternyata masih berupa besar yang tergenang air.

"Ealah, Mamak lupa nurunin tombolnya," ucap Jumaeroh menggeleng lalu menutup rice cooker-nya lagi dan menurunkan tombol memasak.

"Ya sudah, beli bubur saja, Mak. Ini bisa dimakan entar siang," titah Jumeri.

Saat Jumaeroh ingin pergi membeli bubur, Ninda---adik Nesya---bangun dan menangis. Jumaeroh langsung lari ke kamar.

"Nesyaaa!" panggil beberapa orang bersamaan di pelataran rumah.

Nesya lalu menjengukkan kepalanya ke jendela yang ada di samping meja makan.

"Iya, tunggu sebentar! Aku pakai sepatu dulu," sahut Nesya bergegas.

Teman-temannya sudah menghampiri. Setiap pagi sejak sekolah SD, mereka selalu jalan kaki berangkat bersama ke sekolah. Jarak sekolah dan rumah hanya butuh waktu 20-30 menit, tidak ada kendaraan umum semacam angkutan kota di daerah Nesya, karena rumah dia kampung dan masuk di Kabupaten Semarang.

Sebelum memakai sepatu, Nesya ke kamar orang tuanya berpamitan dengan Jumaeroh.

"Mak, Nesya berangkat sekolah, ya?" Nesya menjabat tangan Jumaeroh yang sedang menyusui Ninda.

"Enggak sarapan dulu kamu?"

"Nanti saja jajan di kantin."

"Ya sudah, hati-hati."

Sebelum pergi, Nesya mencium gemas pipi Ninda.

"Assalamu'alaikum," ucap Nesya sembari ke luar kamar.

"Wa'alaikumsalam," balas Jumaeroh pelan tapi masih terdengar Nesya.

Nesya mengambil tasnya dan membuka pintu depan. Dia duduk di kursi sambil memakai sepatu. Selesai, Nesya mendekati Jumeri yang sedang menggantung sangkar burung di dahan pohon mangga depan rumah. Dia menjabat tangan Jumeri dan menciumnya.

"Nesya berangkat, ya, Pak."

"Iya, hati-hati," pesan Jumeri menyentuh kepala Nesya. "Ini, nanti buat beli sarapan di kantin." Jumeri menambah uang saku Nesya.

"Iya, Pak. Matur nuwun," ucap Nesya lalu berlari menghampiri teman-temannya.

Jumeri meperhatikan Nesya yang berjalan bersama teman-temannya. Senyum tersungging dari bibirnya saat Nesya terlihat ceria.

***

Sampai di sekolah, Nesya langsung masuk ke kelas. Dia menghampiri tempat duduknya dan menyapa ramah teman yang duduk satu meja dengannya, "Pagi, Eni."

"Pagi, Sya," balas Eni tersenyum lebar.

Nesya melihat jam tangannya, masih ada waktu 15 menit untuk sarapan sebelum bel masuk kelas.

"En, ke kantin yuk! Aku belum sarapan," ajak Nesya yang sudah biasa ke mana-mana bersama Eni jika di sekolahan.

"Yuk!" Dengan semangat Eni mengantar Nesya ke kantin.

Nesya dan Eni berhenti di ambang pintu kantin, banyak siswa yang jajan dan sarapan di sana. Kebanyakan kakak kelas, nyali Nesya ciut, dia takut saat ingin masuk ke kantin.

"Sya, jadi enggak?" tanya Eni.

"Aku takut," bisik Nesya sembunyi di balik tubuh Eni yang juga sedikit berisi seperti dia.

Eni mengedarkan pandangannya, dia mengerutkan dahi bingung.

"Kamu takut sama siapa, Sya?" tanya Eni menarik tangan Nesya agar tidak bersembunyi di belakang badannya.

"Banyak kakak kelas, En."

"Ya Allah, Sya. Kenapa takut sama mereka? Ini kan, tempat umum, jadi siapa aja boleh makan di sini. Ayo!" Eni menarik Nesya mendekati kios yang berjejer menjual berbagai makanan dan minuman.

Nesya selalu menundukkan kepala, melirik kanan dan kiri. Beberapa pasang mata menatapnya, dia merasa aneh dan malu.

"Kamu mau sarapan apa, Sya?" tawar Eni.

"Apa aja," jawab Nesya masih menunduk.

Eni menghela napas panjang membiarkan Nesya berdiri di sampingnya sambil menunduk. Khusus pagi hari salah satu kios ada yang menjual bubur ayam, lalu Eni memesan dua mangkuk bubur ayam dan dua teh hangat.

"Punya kamu bawa sendiri, ya?" ujar Eni setelah pesanan mereka jadi.

Dia membayar punyanya sendiri, lalu duduk di kursi yang kosong. Nesya buru-buru membayar dan mengambil miliknya lantas cepat-cepat menyusul Eni.

Tidak aneh bagi Eni jika sikap Nesya seperti itu, sejak awal berkenalan dengannya, Nesya sudah pemalu dan kurang percaya diri. Padahal Nesya tidak pernah punya masalah dan urusan dengan kakak kelas, tetapi entah mengapa Nesya takut pada kakak kelas.

Saat menikmati sarapan, mata Eni menangkap sosok pria seangkatan dengan mereka berjalan stay cool mendekati segerombolan cewek yang duduk di pojokan. Mereka adalah kakak kelas tingkat XI, salah satu dari keempat cewek itu anggota OSIS. Setahu Eni, mereka terkenal di sekolah itu dan mereka membentuk semacam geng.

"Eh, Sya, kamu tahu enggak gosip terbaru di sekolah ini?" tanya Eni sedikit berbisik.

Dengan wajah polos, Nesya menggelengkan kepala. "Emang ada apa?" tanya Nesya lugu.

"Lihat cowok yang lagi duduk sama empat cewek di meja dekat pintu itu." Eni berucap tanpa memandang ke arah yang dia maksud.

Nesya pelan-pelan menoleh, lalu kembali menatap Eni.

"Iya. Siapa dia?" tanya Nesya yang masih asing dengan wajah pria itu.

"Dia teman satu angkatan kita. Namanya Yoga, waktu MOS aku sekelas sama dia. Kami yang satu kelas sama Yoga merasa iri, salah satu kakak kelas yang membimbing kita seperti menyepesialkan dia. Yoga juga terkenal sombong," ujar Eni memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Yoga.

"Terus hubungannya sama gosip apa? Enggak paham deh aku, En." Nesya mengerutkan dahinya bingung.

Eni menyengir memamerkan barisan giginya yang gingsul dan sedikit gemas pada Nesya. "Kamu polos banget sih, Sya. Ya Allah, semoga kamu cepet pinter, ya? Biar enggak gampang diakali orang."

Bukannya paham, Nesya malah semakin bingung dengan yang Eni katakan.

"Apaan sih? Enggak jelas kamu, En!"

Eni menepuk jidatnya, dia pikir Nesya bakalan tanggap dengan kode yang dia beri.

"Udahlah, Sya. Pokonya kamu harus hati-hati sama temen kita yang namanya Yoga, ya?" wanti-wanti Eni.

"Kenapa?" tanya Nesya dengan wajah polos sambil memiringkan kepalanya.

"Enggak apa-apa. Udah, jangan dipikirin. Habiskan buburmu."

Daripada pusing menjelaskan pada Nesya, Eni menyuruhnya lekas menghabiskan bubur karena lima menit lagi bel masuk kelas. 

#########

😅😅😅😅😅😅
Maklum kalau masih polos, kan baru masuk SMP, belum kenal banyak orang yang bermacam-macam modelnya. Entar juga bakalan tahu. Sabar ya, Eni???

Part pertama semoga bisa mengingatkan kita di zaman SMP ya? Terima kasih atas vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top