Bab 9
-------------------------<<>>--------------------------
Topik pernikahan sudah diangkat. Gita berdehem lalu berujar, "Saya rasa saya yang beruntung. Saya nggak tahu apa alasan Mas Sakti mau menikah dengan saya yang seorang janda."
Sakti mengembuskan napas. Boom sudah dikeluarkan oleh Gita. Ia melihat beragam ekspresi ditunjukkan oleh semua orang yang hadir di sini. Hampir sebagian besar menatap Gita tak percaya. Apalagi perempuan itu tetap menampilkan senyumnya setelah berkata jujur tentang statusnya.
-------------------------<<>>---------------------------
"Neng!"
Gita menarik selimutnya sampai menutupi kepalanya.
"Neng!"
Gita mulai menurunkan kepalanya ke bawah bantal.
"Neng!"
Gita semakin memeluk erat gulingnya.
"Ayo, masuk aja. Maaf ya berantakan. Soalnya nggak tahu mau ada tamu kemari."
Seketika Gita abngun dari tidurnya. Ia melirik jam dindingnya yang bergambar Naruto Shippuden. Jarum panjang menunjuk angka 12 dan jarum pendek tepat ke angka sembilan. Selanjutnya kalender duduk di atas nakas dengan segera diraihnya. Tertera dengan jelas angka yang dilingkari dengan spidol hijau.
Dengan gerakan melebihi kecepatan bayangan ninja terpentar di Konoha, Gita gegas membuka pintu kamar dan langsung terpaku di tempatnya.
Sakti tampak duduk di atas sofa yang menghadap pintu kamarnya. Laki-laki itu hanya mengangkat sebelah alisnya melihat Gita dalam balutan piyama bergambar Naruto dan Sasuke. Tidak ada jejak air liur di wajah bantal Gita, hanya ekspresi terkejut dan malu tidak dapat disembunyikan perempuan itu.
"Udah bangun, Neng? Dari tadi Ibu udah bangunin loh," kata ibunya yang lewat sambil membawa cangkir teh panas dengan nampan.
"Maaf ya. Baru bisa disuguhi ini aja. Kalau tahu mau ada tamu, pasti udah disiapin. Minimal kue-kue mah."
Sakti hanya menganggukkan kepala maklum. Kedatangannya pagi ini memang tidak direncanakan. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikirannya untuk mampir saat ia baru selesai olahraga pagi di area CFD.
"Neng, kamu mau diam aja di depan pintu kamar? " tegur ibunya membuat Gita tersadar dari keterpakuannya. Ia terkejut setengah mati mendapati Sakti ternyata sedang berada di rumah orangtuanya.
"Eh. Iya. Gita ke kamar mandi dulu Bu." Gegas perempuan berambut panjang itu menuju kamar mandi yang terletak di bawah tangga.
"Aduh. Maafin Gita ya. Dia kalo hari libur emang suka begitu. Nggak pernah keluar kamar. " Santi meminta maaf atas tingkah Gita yang sangat memalukan itu.
Sekali lagi Sakti hanya mengangguk lalu berujar, "Saya baru tahu kalau Guru Besar Eddy Prawira ternyata pindah rumah ke sini."
Santi tertawa kecil." Loh, kenal juga sama suami saya? "
"Hanya kenal saja, Bu. Saya pernah ikut salah satu kelasnya ketika kuliah dulu."
"Oh, pantas. Ya, beginilah. Semenjak pensiun Bapak memilih pindah rumah ke daerah pinggiran. Lebih nyaman katanya. "
Gita yang baru saja cuci muka segera duduk di samping Santi.
"Ya Allah, Neng! Bukannya ganti baju dulu. Malah langsung duduk di sini."
Gita memberengut lalu berkata, "Malas ganti baju, Bu."
"Eh, pamali ketemu tamu pakai baju bau keringet. Itu baju tidur pasti udah bau asem." Santi terus mendorong Gita untuk segera berganti baju sambil sesekali melirik Sakti dan tersenyum malu.
"Biarin atuh, Bu. Mas Sakti juga palingan baru pulang CFD-an. Belum ganti baju. Dia juga pasti bau keringet tapi santai aja tuh namu ke rumah orang."
Sakti yang menangkap nada sindiran dalam kalimat Gita menahan senyumnya, membuat ia tampak seperti orang yang meringis karena sakit gigi.
"Eh, dibilangin teh malah ngeyel, "keluh perempuan berkerudung instan itu.
Sebuah salam membuat Santi menahan omelannya. "Assalamu alaikum."
"Wa alaikum salam." Serentak ketiga orang yang berada di ruang tamu itu menjawab bersamaan.
Seorang laki-laki bertumbuh buncit dengan rambut memutih keseluruhan masuk dan tersenyum kepada tiga orang yang masih duduk di sofa. "Lagi ada tamu ya, kata si Kembar?"
Sakti bangun dari duduknya dan menyalami laki-laki itu. "Selamat pagi, Pak. Saya Sakti. Temannya Gita. Mohon maaf menganggu waktu berkumpul keluarga Bapak."
Eddy tersenyum melihat Sakti yang begitu lugas dalam berbicara. "Sakti Bachtiar yang suka muncul di internet itu, ya?"
Sakti yang masih bersalaman dengan Eddy tampak canggung mendengar pertanyaan dari laki-laki tua di hadapannya. Ia mengiyakan sambil tersenyum.
"Ha ha ha. Pantas aja tadi si Kembar sumringah banget waktu bilang ada tamu. Bapak sampai dipaksa ninggalin joran di empang sana. Ayo duduk. Duduk."
Santi pun bangkit dan menarik tangan Gita. "Ayo ke belakang dulu. Bantuin Ibu."
Sakti menarik satu ujung bibirnya melihat tingkah Gita dan ibunya. Suatu kedekatan yang tidak bisa ia lakukan dengan Mami Dessy.
"Sudah lama kenal dengan Gita?" tanya Eddy santai.
Melihat aura kebapakan dari Eddy membuat Sakti segan untuk berbohong. "Belum lama, Pak."
"Hebat kamu!" Eddy tersenyum lebar." Dulu saya mana berani main ke rumah teman perempuan kalo belum kenal lama. Memang ya, generasi jaman sekarang semuanya berani."
Sakti diam. Dia yang selalu menanggapi segala sesautu dengan tak acuh mulai bingung bagaimana harus berhadapan dengan orang tua dari lawan jenis. Ini pertama kalinya bagi Sakti. Meskipun status hubungannya dengan Gita bukanlah hubungan yang serius.
"Asal kamu tahu ya. Anak saya semuanya perempuan. Di rumah ini Cuma saya satu-satunya laki-laki. Dan semua perempuan di rumah ini mengidolakan satu laki-laki yang pintar masak. " Eddy pun mulai menyalakan televisi. Dengan bantuan remote, ia mulai memindahkan pilihan alat bantu siar dari antena ke jalur LAN. Smart televisi itu pun langsung menampilkan pilihan Youtube.
Sakti menatap tak percaya pada layar televisi. Kanal youtubenya berada di urutan pertama penelusuran. Ia memandang Eddy takjub.
"Semua perempuan di keluarga ini mengidolakan kamu," kata Eddy sambil tetap melihat ke arah televisi. "Dan semua resep kamu sudah berhasil dimasak ulang oleh semua perempuan-perempuan kesayangan saya."
Sakti akhirnya paham dengan alasan histeria dua remaja yang tadi membuka pintu. Gadis-gadis yang wajahnya serupa itu menjerit tertahan saat Sakti menyampaikan salam dan bertanya tentang Gita. Keduanya segera berpencar tanpa menjawab apapun. Satu di antara mereka berlari menuju tangga dan terdengar memanggil 'Ibu ada tamu!'. Sementara yang lainnya justru melesat keluar rumah meninggalkan Sakti sendirian di depan rumah.
Tak lama barulah muncul seorang perempuan berkerudung instan yang awalnya menyipitkan mata saat menghampirinya sambil berkata, "Cari siapa ya?"
Saat Sakti menyebutkan nama Gita, perempuan itu langsung bergegas menuju pintu kamar yang terdekat. Beberapa kali Sakti mendengar perempuan menyebutkan 'Neng' yang ia asumsikan sebagai panggilan Gita di rumah ini.
Gita kembali muncul sambil membawa dua toples makanan. Sementara Santi di belakangnya membawa segelas kopi hitam yang masih mengepul panas.
"Jadi, Nak Sakti kemari karena ada perlu dengan Gita atau dengan saya?"
Baik Gita maupun Sakti saling pandang. Keduanya tak menyangka dengan pertanyaan yang dilontarkan Eddy.
Barulah Sakti merasakan penyesalan atas keteledoran dirinya yang asal menarik seorang perempuan dalam lingkaran kebohongan. Ia mulai memahami bagaimana kekalutan Gita tentang status palsu mereka. Dan perlahan ia merasakan kekhawatiran yang sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top