Bab 7
--------------------------------<<>>---------------------------------
"Karena orangtua Gita belum merestui Sakti." Belum sempat Gita menjawab, lagi-lagi Sakti mendahului kalimat Gita.
Perempuan berparas ayu yang sedang menahan pedasnya ayam bakar sambal hijau itu menatap Sakti tak percaya. Kenapa sandiwara ini harus diteruskan?
Baik Sakti maupun Gita akhirnya hanya bisa saling pandang. Keduanya sama-sama saling menatap tajam. Gita mencoba melihat makna tatapan Sakti. Tapi hanya ada pantulan dirinya di sana. Sendirian. Membuat Gita bergidik. Haruskah ia sendirian lagi?
-------------------------------<<>>---------------------------------
Gita mengembuskan napas dengan kasar. Hal itu menarik perhatian si pengemudi yang sedari tadi terdiam. Dengan bosan Gita melihat interior mobil yang dikendarai Sakti.
Sakti tidak banyak mengubah interior mobil keluaran pabrik Jepang itu. Satu-satunya aksesoris yang bisa dibilang cukup menarik hanyalah tasbih yang digantung di spion tengah. Selebihnya tidak ada apapun, meski hanya sekedar pewangi mobil.
"Sudah melihat-lihatnya?" tanya Sakti.
Gita tidak menjawab. Ia hanya melemparkan pandangan keluar jendela. Tatapan matanya beralih ke Sakti saat kendaraan roda dua itu justru memasuki lahan parkir sebuah rumah makan.
"Banyak hal yang harus kita bicarakan. Terutama setelah apa yang Mami ucapkan tadi siang." Sakti menjawab pertanyaan tak terucap yang nampak dari wajah Gita. Sementara itu Gita hanya diam tak menjawab.
Tentu saja. Karena apa yang sudah kau ucapkan tadi siang sudah kelewat batas.
Gita segera membuka pintu dan turun begitu Sakti memutar kunci mobil. Laki-laki itu hanya terdiam tak menegur. Ia segera mengikuti langkah Gita yang sudah masuk ke dalam rumah makan.
Pilihan Gita jatuh di meja paling jauh dari pintu dan dekat dengan sebuah akuarium besar. Sakti tidak banyak protes atas pilihan meja Gita. Ia segera duduk di kursi yang berhadapan dengan perempuan yang belum lama dikenalnya ini.
"Kupikir kita tidak akan pernah bertemu lagi." Gita segera menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya begitu pelayan beranjak sesudah menulis pesanan mereka.
Sakti jelas dapat menangkap sindiran dalam kalimat Gita. Namun, ia tidak menanggapi hal itu.
"Seberapa inginnya kamu menghindari pernikahan?"
Pertanyaan yang tak pernah diduga itu membuat Gita menatap Sakti lama. Kali ini tanpa semu merah di pipi yang biasanya hadir. Iris perempuan itu menatap laki-laki di hadapannya dengan lurus dan tanpa ekspresi apapun.
"Maksud Mas Sakti apa, nanya seperti itu?"
Sakti menghela napas sebelum menjawab. "Profesi asli saya adalah pengajar. Saya terbiasa untuk memperhatikan para mahasiswa ketika saya mengajar. Saya tahu bagaimana ekpresi mereka ketika saya menyampaikan materi di depan kelas. Dan ekspresi kamu tadi siang ketika Mami bicara soal pernikahan adalah ekspresi ngeri.
"Kamu takut dengan pernikahan?"
Gita mendengarkan dengan serius. Alih-alih menjawab tanya dari Sakti, Gita malah berujar, "Pertanyaan yang sama buat Mas Sakti. Mas Sakti takut dengan pernikahan?"
Belum sempat Sakti menjawab, pelayan sudah mengantarkan pesanan mereka berdua. Begitu si pelayan pergi, Sakti berkata, "Saya yang bertanya duluan."
"Saya seorang janda."
Sakti mengangkat sebelah alisnya. "Lalu? Itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan saya."
"Setidaknya saya tahu, gagal berumah tangga itu tidak menyenangkan. Anggap saja itu jawaban saya." Gita meraih gelas jusnya dan langsung menegak minuman itu tanpa sedotan.
Sakti nampak menimbang kalimat Gita. Di satu sisi ia memahami Gita tidak mungkin menceritakan sesuatu yang dianggapnya masa lalu kepada seseorang yang baru saja dikenalnya.
"Mami bukan ibu kandung saya. Saya hanyalah anak Ayah dari perempuan lain yang terpaksa dirawat Mami."
Gita berhenti minum kala mendengar kalimat Sakti. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendengar sebuah rahasia keluarga dari mulut laki-laki ini.
"O ... ke. Lalu?" Gita mencoba menanggapi dengan bertanya santai.
"Saya bukannya takut pernikahan. Hanya saja saya belum menemukan makna pernikahan yang sesungguhnya. Apalagi dengan masalah dalam keluarga saya. Saya merasa perlu berhati-hati untuk mengambil sebuah keputusan. Terutama pernikahan. Ini bukan tentang saya saja."
Keduanya menyantap makanan dalam diam. Petang yang mulai berganti malam tidak mengurangi atmosfer ketegangan di antara kedua anak adam ini.
"Lalu kenapa Mas Sakti nggak bilang aja yang sesungguhnya sama Ma ... mi?" tanya Gita hati-hati.
Sakti malah memandang Gita tak percaya. "Kamu pikir saya setega itu bilang yang sesungguhnya sama Mami. Saya merasa dengan membesarkan saya itu sudah cukup berat buat Mami. Kenapa juga Mami masih harus memikirkan jodoh buat saya?"
"Karena kasih sayang orangtua itu emang sepanjang hayat, kan?" timpal Gita dengan nada sarkas.
Sakti tersenyum kecil mendengar hal itu. Membuat semu merah hadir lagi di pipi Gita.
"Kamu menganggap saya seharusnya berterimakasih karena kepedulian Mami. Begitu, kan?"
Gita mengangguk cepat.
"Saya tidak memaksa kamu untuk melihat keadaan saya dari kacamata saya. Tapi yang jelas, saya masih merasa bahwa saya adalah beban bagi Mami."
"Itu kan menurut Mas Sakti. Eh, ini kok jadi melebar kemana-mana, sih. Balik lagi ke urusan kita. Saya rasa kita nggak bisa nerusin omong kosong ini lagi. Saya nggak mau punya beban karena harus berbohong terus. Apalagi bohong sama orang tua. Kalo Mas Sakti nggak tega bilang kita ini nggak ada hubungan apa-apa, bilang aja kita udah putus. Beres kan?"
Sakti tertawa mendengar kaliamt panjang Gita. "Kamu nggak kenal Mami dengan baik, Git."
"Iyalah, Mami kan ibunya Mas Sakti. Bukan ibunya Gita," jawab Gita kesal.
"Kamu pikir Mami bakal percaya gitu aja. Asal kamu tahu, kedatangan Mami ke butik tempat kamu kerja itu bukan kebetulan. Saya rasa Mami bahkan sudah tahu latar belakang keluarga kamu. Status janda kamu malah bisa jadi Mami sudah tahu dan nggak keberatan." Sakti bersandar sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
Tinggal Gita yang melongo tak percaya. What the hell? Nyonya itu intel apa? Atau jangan-jangan secret agent?
"Mami bukan intel. Bukan mata-mata rahasia. Mami Cuma punya koneksi yang bagus dan baik."
Ish, kenapa dia seolah bisa baca pikiran gue sih? Gita menggigit bibir bawah dan memutar bola matanya.
"Karena wajah dan ekspresi kamu muah terbaca oleh saya." Lagi Sakti seolah menjawab apa yang terlintas dalam benak Gita.
"Hah?"
Sakti mendengkus kecil menahan senyum melihat ekpresi tak percaya dari wanita di hadapannya. "Bisa dibilang, kita tidak punya jalan keluar dari hubungan omong kosong ini. Saya akui, saya yang salah karena harus melibatkan kamu. Tapi saya yakin pasti akan ada jalan keluar. "
Gita mencebik. "Yakin? Misalnya apa?"
"Bagaimana kalau kita saling bertemu keluarga dan masing-masing dari kita menunjukkan sisi terburuk yang kita miliki? Kita berusaha agar keluarga tidak menerima kita."
Gita memijit pelipis kepalanya yang mulai terasa berat. Saat itu juga ia berharap ia bisa menghilang dari dunia ini. Usul dari Sakti sebenarnya tidak terlalu buruk. Ia sudah lama dicap sebagai menantu pembawa sial. Bukan hal yang sulit menunjukkan itu di hadapan keluarag Sakti. Tapi bagaimana mungkin keluarganya bisa membenci Sakti?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top