Bab 6
--------------------------------------<<>>------------------------------------------
"Setelah malam ini, saya rasa kita akan kembali menjadi orang yang tidak saling kenal. Saya ucapkan terima kasih karena sudah membantu saya."
Semoga kita memang tidak akan pernah bertemu lagi, doa Gita dalam hati.
Tapi sepertinya Gita lupa, ia sedang bukan dalam mode orang teraniaya. Doanya mungkin tidak akan pernah terkabul. Apalagi saat ia malah bertemu Dessy di kemudian hari.
---------------------------------------<<>>------------------------------------------
"Gita?"
Jam makan siang baru saja tiba. Anggita tengah merapikan baju-baju di etalase ketika sapaan itu terdengar di telinganya. Saat ia membalikkan badan, perempuan itu sempat berharap ia hanya sedang bermimpi.
"Selamat siang, Tante." Gita menghampiri Dessy sambil memperlihatkan senyumnya. Dengan canggung ia mencium tangan Dessy. Membuat perempuan paruh baya itu nampak terharu.
"Kamu kerja di sini?" tanya Dessy sambil menatap sekelilingnya.
Gita mengangguk membenarkan. "Iya, Tante."
Dessy memukul lengan Gita pelan. "Kamu, nih. Kan udah dibilang, jangan panggil Tante. Panggil aja Mami."
Gita yang sempat kaget hanya tersenyum canggung. "Iya, Tan ..., eh. Iya Mami."
"Nah, gitu dong. Kan lebih enak."
"Mami ada yang mau dibeli? Biar Gita bantu cari," cepat Gita menawarkan bantuan saat ia melihat supervisor mendekatinya.
"Selamat siang, Bu Dessy." Supervisor yang bernama Dian itu menyapa Dessy. Gita menahan napas melihat Dian tersenyum ramah kepadanya.
"Eh, Mbak Dian. Siang. Siang." Dessy menjawab sapaan Dian secara singkat lalu berujar, "Begini, Mbak. Saya mau ajak Gita, anak buah Mbak Dian, keluar makan siang. Boleh ya?"
Dian menatap Gita sejenak kemudian tersenyum. "Boleh, Bu. Memang sudah waktunya istirahat makan siang juga. Tapi jam istirahat kami hanya sekitar satu jam setengah."
"Nggak masalah. Di sekitar sini juga banyak kok kafe dan restoran yang lumayan." Dessy segera menggamit tangan Gita dan menariknya keluar. "Kalau begitu, saya permisi dulu ya. Ayo, Gita. Kita makan siang sama-sama."
Dengan tangannya yang ditarik oleh Dessy, mau tak mau Gita terpaksa mengikuti langkah perempuan paruh baya itu. Sempat dilihatnya kerlingan jahil sekaligus penasaran dari Dian. Gita bergegas menyamakan langkah lalu menjejeri langkah Dessy yang ternyata seorang pejalan cepat meski mengenakan sepatu wedges.
~~~
Warung Makan Ayam Bakar Taliwang menjadi pilihan Dessy sebagai tempat ia makan siang bersama Gita. Lokasinya yang berseberangan dengan Geulis Boutiqe dan hanya dipisahkan jalan raya membuat kedua perempuan beda generasi itu tidak perlu berjalan terlalu jauh.
Dessy memilih Ayam Bakar Bumbu Rujak sebagai menu makan siangnya dan segelas Lemon Tea. Sementara Gita hanya memesan Ayam Bakar Sambal Hijau. Keduanya sedang menunggu pesanan tiba saat ponsel mereka berdua sama-sama berdering. Keduanya sama-sama tertawa menyadari kesamaan itu.
Spv Dian Cantik :
Lo kenal sama Bu Dessy?
Me :
Aduuh... panjang ceritanya.
Spv Dian Cantik :
Tapi dia nggak tahu kalo lo Senior Back Office di Geulis?
Me:
Sssstt... udah nggak usah diomongin.
Spv Dian Cantik :
Bu Dessy tuh termasuk pelanggan setia di Geulis. Mendingan lo bilang kalo lo bukan Cuma SPG. Daripada nanti dia tau dari Madam Shelina.
"Dari siapa, Git?" tanya Dessy pelan.
Segera Gita menutup halaman pesan sosial tanpa sempat membalas pesan dari Dian.
"Tadi tuh Mami baru terima pesan dari Sakti. Mami sekalian ajak Sakti ikut makan siang bareng kita." Gita yang sedang meminum air minum hampir tersedak mendengar kalimat Dessy.
Dan tidak butuh waktu lama. Tepat saat menu pesanan Gita dan Dessy tiba di meja makan, Sakti tampak masuk ke dalam restoran.
"Siang, Mi." Sakti segera menarik kursi di sebelah kanan Dessy berhadapan dengan Gita. "Ada apa, Git? Kenapa harus ngeliatin kayak gitu."
Gita segera menunduk ketika menyadari ia menatap Sakti dengan cukup lama.
"Dia kaget. Soalnya Mami nggak bilang kalo mau ngajak kamu makan siang bareng." Dessy melontarkan jawaban atas pertanyaan Sakti.
"Sakti juga nggak tahu, kalo Mami ngajak Sakti makan siang bareng sama Gita. Tapi, Sakti justru senang soalnya udah lama belum ketemu Gita lagi. Jadwal ngajar Sakti sekarang padat. Makasih loh, Mi."
Sementara Gita hanya memutar kedua bola matanya. Ia merasa jengah dengan sandiwara yang dilakukan Sakti di depan ibunya. Perempuan itu mulai berpikir untuk mengungkapkan semuanya selesai makan siang ini.
"Kamu kapan mau ngelamar Gita, Sak?" tanya Dessy di sela-sela suapan makan siangnya.
Sakti dan Gita terhenyak atas pertanyaan itu. Keduanya saling tatap lalu Gita menggeleng cepat.
"Kenapa harus cepat-cepat, Mi. Sakti sama Gita masih sama-sama menikmati hubungan ini," elak Sakti dengan cepat. Sekali lagi ia menatap Gita yang mulai tampak tak nyaman dalam duduknya.
"Kenapa ahrus cepat? Kamu tuh, ya. Usia kamu udah cukup tua, Sakti."
"Aku baru 33, Mi. Ini bukan tua. Ini matang."
"Kelewat matang," ejek Dessy. "Pokoknya Mami nggak mau tau. Kamu itu sebenarnya serius nggak sih pacaran sama Gita?"
Pertanyaan yang tepat, Gita berdeham menarik perhatian kedua orang di depannya.
"Saya rasa saya perlu menjelaskan semua kejadian. Supaya tidak perlu lagi ada salah paham. Sebetulnya saya ..." kalimat Gita terhenti karena Sakti tiba-tiba kembali mengenggam tangannya di atas meja.
"Mi, Sakti bukannya nggak mau serius. Tapi apa melamar itu perlu?"
"Kamu mau langsung nikah? Ya udah, nggak apa-apa. Mami justru lebih senang." Dessy kembali menyuap makan siangnya.
Sekilas Sakti dapat melihat kengerian terpancar dari wajah Gita. Poin yang dapat ditangkapnya adalah, perempuan ini juga menghindari pernikahan.
"Bukan gitu juga, Mi. Masa tiba-tiba langsung nikah sih."
"Makanya itu, kapan kamu mau lamar Gita. Pokoknya kalao kamu lama bertindak, biar Mami aja sama Ayah yang datang langsung ketemu sama orangtuanya Gita."
Gita seketika terbatuk mendengar kalimat Dessy. Potongan ayam yang ia suapkan tiba-tiba tertelan tanpa sempat dikunyah. Dengan panik, Dessy segera memberikan gelas minumya ke hadapan Gita.
"Tuh kan. Mami sih, Gita sampai keselek kan, gara-gara omongan Mami."
Sakti menatap Gita tanpa melakukan apapun. Sementara Gita yang baru saja menghabiskan segelas air putih dalam sekali tegukan menatap Sakti tajam.
"Kami nggak mungkin menikah." Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulut Gita.
Kali ini Dessy dan Sakti menatap Gita dengan ekspressi yang berbeda.
"Kenapa?" Dessy memandang gadis di hadapannya heran.
"Karena orangtua Gita belum merestui Sakti." Belum sempat Gita menjawab, lagi-lagi Sakti mendahului kalimat Gita."
Perempuan berparas ayu yang sedang menahan pedasnya ayam bakar sambal hijau itu menatap Sakti tak percaya. Kenapa sandiwara ini harus diteruskan?
Baik Sakti maupun Gita akhirnya hanya bisa saling pandang. Keduanya sama-sama saling menatap tajam. Gita mencoba melihat makna tatapan Sakti. Tapi hanya ada pantulan dirinya di sana. Sendirian. Membuat Gita bergidik. Haruskah ia sendirian lagi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top