Bab 29

------------------------<<>>--------------------------

Dokter tersenyum mendengar penuturan Sakti yang tampak membesarkan hati Gita. Ia merasa takjub dengan pasangan ini karena tak jarang beberapa pasiennya malah tak didukung oleh suami mereka.

"Betul yang dibilang sama suaminya, Mbak. Nggak perlu merasa malu. Dengan Mbak terbuka tentang diri sendir kepada suami, pasti akan ada jalan keluar. Lagipula vaginismus itu penyakit yang terdaftar di WHO. Faktanya jelas, kekakuan otot yang tidak bisa dikendalikan."

-------------------------<<>>---------------------------

"Sebenarnya Mas Sakti mau ngajak aku ketemu sama siapa, sih?" Gita bertanya heran. Pasalnya minggu ini ia sudah menolak dua acara karena Sakti memintanya untuk mengosongkan jadwal.

Yang ditanya hanya tersenyum tak menjawab. Ia malah asyik bersenandung mengikuti lagu yang diputar di radio mobil.

Gita akhirnya memilih untuk tak lagi bertanya. Ia hanya menikamati perjalanannya.

Mobil yang dikendarai Sakti memasuki pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan. Hal ini membuat Gita semakin bertanya-tanya dalam hati.

"Mas Sakti mau belanja? Kan, baru minggu kemarin belanja bulanan."

"Ssstt ... kamu nggak usah banyak tanya dulu." Lagi Sakti mengeluarkan kalimat yang sama untuk menahan pertanyaan dri istrinya.

Gita hanya mengendikkan bahu. Ia pun akhirnya memilih ikut kemana kaki suaminya melangkah.

Di dalam pusat perbelanjaan, Sakti mengajak Gita masuk ke salah satu arena bermain.

"Kita ke sini bentar, ya!" ajak Sakti.

Gita sempat berdiam di depan pintu. Ia memperhatikan arena bermain yang penuh dengan keluarga yang sedang mengajak anaknya bermain.

Sakti yang menyadari istrinya tak ikut  melangkah berhenti. Ia menengok kembali ke arah pintu dimana Gita terdiam di sana.

Laki-laki itu kembali lalu menarik tangan istrinya. "Ayo!"

Gita masih bergeming di tempatnya. Sementara Sakti akhirnya melepaskan tangan istrinya.

"Kamu nggak mau?"

Gita menggeleng. "Ini terlalu banyak orang. Lagipula ini kan tempat main keluarga, Mas."

Sakti terkekeh. "Ini juga tempat orang pacaran."

Gita tersipu. Ia memukul lengan Sakti pelan.

"Pak Sakti baru datang?"

Sakti dan Gita menoleh pada sumber suara. Seorang wanita menyapa mereka berdua.

"Eh, Bu Septi. Iya, nih. Saya baru datang." Sakti menyapa balik.

Gita tersenyum kepada wanita tersebut. Ia memperhatikan wanita yang dipanggil 'Bu Septi' oleh suaminya itu didampingi oleh suami dan anak-anaknya.

Kenalin, Bu." Sakti merengkuh pundak Gita. "Ini Gita, istri saya."

Septi tersenyum lebar kepada Gita. Ia segera menghambur dan mencium pipi kanan dan kiri.

"Kenalin saya Septi,  Mbak. Saya ini sama-sama dosen juga di kampus tempat Pak Sakti ngajar. Bedanya kalo saya ngajar Statistik. Akhirnya saya bisa kenalan juga sama istrinya Pak Sakti."

Gita sempat terkejut sesaat dengan pelukan akrab yang diberikan oleh rekan kerja suaminya tersebut. Namun, ia tidak menolak.

Berbanding terbalik dengan Septi yang ceriwis. Suaminya hanya tersenyum kalem

"Daripada ke arena bermain yang ini, kita ke trampolin aja, yuk. Anak-saya lagi pengen ke sana."

Gita tak menyangka ketika suaminya mengiyakan ajakan dari suaminya itu.

Di wahana trampolin Sakti, Gita, dan Septi duduk bersama di area restoran yang ada di lantai dua. Sementara suami Septi menemani anak-anak mereka bermain.

"Saya sengaja ngajak kamu ke sini buat kenalan sama Bu Septi." Sakti menjelaskan.

"Pak Sakti kok masih kaku aja, sih sama istrinya," sela Septi membuat Sakti terdiam sejenak.

"Mbak Gita, Pak Sakti ini memangnya kayak gitu kalo di rumah? Nggak ada kata-kata panggilang sayang, gitu?" tanya Septi yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Gita.

Septi membulatkan mata tak percaya.
"Astaga, Ternyata memang dia sekaku  itu! Saya pikir dia cuma jaga wibawa aja."

Gita terkekeh bersama Septi membuat Sakti memberengut.

"Rasanya saya kemari bukan untuk ditertawakan begini," keluh Sakti sambil mengaduk minumannya di meja.

"Maaf, Pak. Soalnya saya nggak habis pikir, ternyata karakter Bapak--"

Septi kembali terkekeh. Setelah beberapa saat barulah wanita itu bisa menguasai diri dan menatap Gita.

"Pak Sakti cerita tentang kondisi, Mbak."

Gita tertegun. Ia tak menyangka suaminya menceritakan apa yang ia anggap hal memalukan. Wajahnya memerah malu.

"Nggak usah merasa rendah diri, Mbak. Apa yang Mbak alami sekarang sudah saya lalui."

Semburat merah di wajah Gita perlahan menyurut.

Septi tersenyum kecil. "Saya juga termasuk pejuang vaginismus, Mbak."

Gita terkesiap tak percaya. Ia lalu menoleh ke arena trampolin. Perempuan itu menatap anak-anak Septi yang sedang bermain gembira.

"Tapi Bu Septi punya anak," lirih Gita.

Septi menangkup tangan Gita di atas meja. "Ya. Saya bersyukur akhirnya saya diberikan kepercayaan bisa memiliki keturunan. Darah daging saya sendiri."

Gita kembali menatap anak-anak Septi yang tertawa bahagia.

"Benarkah para pejuang vaginismus bisa memiliki anak?"

"Kata siapa tidak bisa? Itu cuma omong kosong. Saya buktinya."

Gita tersenyum mendengar kalimat bernada positif itu.

"Mbak Gita nggak sendirian. Kalau berkenan nanti ikutlah sama saya. Kita ada komunitas sesama penderita vaginismus." Septi berkata lembut. "Bergabung dengan sesama membuat kita semakin menerima tentang diri kita."

Sakti pergi meninggalkan meja. Ia membiarkan kedua wanita itu saling berbincang. 

"Komunitas?"

Septi mengangguk. "Ya. Komunitas pejuang vaginismus. Sebetulnya ini komunitas berbasis grup chat telegram dari berbagai domisili di Indonesia. Setiap satu bulan sekali selalu ada diadakan kopdar yang terkoordinir."

"Tapi--"

"Mbak Gita nggak usah khawatir. Komunitas ini dibentuk untuk menjadi support system, sehingga siapapun yang mengalami vaginismus dan butuh support dipersilakan join baik di telegram maupun di aplikasi orami. Dan  tidak ada suatu keharusan untuk aktif di dalam komunitas."

"Maksudnya aplikasi orami?"

"Jadi, selain di telegram, komunitas ini juga baru saja bekerjasama dengan orami. Sehingga bagi teman-teman vg yang tidak memiliki telegram bisa join komunitas melalui aplikasi orami parenting."

Gita menatap Septi. Ia merasa tertarik dengan tawaran dari wanita di hadapannya tapi masih ragu.

"Nggak perlu ragu karena kami pun paham, ketika seseorang divonis mengalami vaginismus, mereka pasti bingung mau cerita kemana. Ada rasa malu atau bahkan takut dihakimi orang lain. Dihakimi karena dibilang tidak mau melayani suami, dihakimi dianggap nggak rileks.

"Di situlah tujuan komunitas ini dibentuk. Agar seseorang yang mengalami hal serupa tidak merasa sendiri."

Author Note :
Finally,,
Kisah ini akan berakhir.
Ini masih semua masih tulisan kasar ya...

Jadi kalo ada yang merasa janggal, maafkan aku.

Oh, iya, aku menyebuykan nama komunitas. Dan ya, itu komunitas nyata. Bukan cuma sekedar asal ciptaanku. Atas izin mereka aku diperbolehkan untuk mencantumkan nama komunitas mereka.

Bagi yang penasaran, silakan berkunjung ke akun instagram mereka di @pejuangvaginismus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top