Bab 21


------------------------<<>>--------------------------

"Kalau perempuan nggak bisa kasih anak, apa gunanya menikahi perempuan yang seperti itu?" Raja tetap kukuh menghina mantan istrinya.

Sakti menggertakan giginya. Ia sudah menahan emosinya sedari tadi. Genggaman erat dari Gita sudah membuatnya menahan diri untuk tidak melayangkan tinju pada wajah sombong di hadapannya.

"Maaf, saya menikahi Gita karena saya ingin menjadi teman hidupnya sampai akhir hayat. Bukan menjadikannya pabrik anak."

-------------------------<<>>---------------------------

"Kita pulang aja," putus Sakti saat keduanya sudah duduk di kursi mobil.

"Kenapa? Kita kan udah janji mau ke rumah Bapak." Gita bertanya.

Sakti menatap istrinya. Lalu berujar, "Kamu pasti lelah. Lebih baik pulang. Istirahat."

Gita tidak banyak berkomentar. Ia membenarkan apa yang disebutkan oleh suaminya. Perempuan itu merasa sangat lelah. Secara fisik dan emosional. Bertemu dengan Raja bukanlah sesuatu yang ia harapkan.

Selama perjalanan hanya keheningan yang menyertai kedua orang itu. Baik Gita maupun Sakti sama-sama tidak menyangka mereka akan berhadapan langsung dengan orang yang terkait dengan masa lalu Gita.

"Kamu nggak pernah cerita bagaimana mantanmu sebelumnya." Sakti memecah keheningan.

Gita menoleh sekilas. Kemudian kembali menatap ke jalanan.

"Memangnya apa yang harus diceritakan? Buatku itu Cuma masa lalu, Mas."

Sakti melirik istrinya yang masih bersedekap sambil terus menatap ke depan.

"Tapi tampaknya masa lalu itu bikin kamu terganggu. Nggak biasanya kamu diam begini."

Gita memaksakan senyum untuk suaminya. Ia hanya menarik sedikit ujung bibirnya.

"Kita makan di luar yuk, Mas," usul Gita.

"Kenapa harus di luar. Kita kan sekarang lagi menuju apartemen. Kita bisa pesen delivery food aja. " Sakti menolak usul istrinya sambil fokus melihat memegang kemudi. Ia sudah menebak apa yang hendak dilakukan oleh istrinya.

Gita terdiam. Ia tak menanggapi apapun lagi. Penolakan Sakti membuat suasana hatinya kian memburuk. Akhirnya, ia memilih untuk memejamkan mata.

Sakti yang melihat istrinya terlelap hanya mendesah pelan. Sepertinya ia harus bersiap menerima kenyataan lainnya. Meskipun Gita tidak pernah bercerita tentang mantan suaminya, ia sudah mendapatkan gambaran bagaimana sosok Raja di mata Gita berdasarkan cerita kedua adik iparnya.

Karena itulah saat ia melihat sosok Raja pertama kalinya, Sakti sempat merasa rendah diri dengan fisiknya. Raja adalah sosok idaman bagi pria maupun wanita. Namun, mendengar bagaimana laki-laki itu menghina Gita dengan tanpa malu membuat Sakti merasa yakin alasan di balik perceraian Gita dahulu adalah karena sikap Raja yang menindas istrinya.

Di parkiran apartement, Sakti membangunkan istrinya. Ia hanya menyentuh pundak Gita dengan pelan. Namun, Gita justru terbangun dengan menepis tangan suaminya kuat-kuat.

"Tidaaak !!" jerit Gita membuat Sakti mengangkat kedua tangannya.

Perempuan itu segera melihat sekelilingnya. Ia tampaknya baru menyadari tidur di mobil suaminya. Matanya menatap Sakti dengan perasaan bersalah.

"Maaf," lirih Gita.

Sakti tersenyum tipis. "Tak apa. Ayo cepat turun. Kita sudah sampai. Delivery sepertinya akan sampai tidak lama lagi. Jadi, kita bisa segera makan. "

"Mas," panggil Gita.

Sakti menoleh karena panggilan itu. Tangannya sudah membuka pintu. Ia mengurungkan niatnya yang hendak turun saat melihat istrinya masih duduk di kursi penumpang.

Akhirnya Sakti kembali menutup pintu mobil. Ia membuka jendela mobil baik di sisi pengemudi maupun di sisi penumpang.

"Apa yang dibilang oleh Raja, itu benar semuanya." Gita menghela napas panjang. "Aku perempuan yang nggak guna."

Sakti diam. Ia menunggu kelanjutan kalimat dari istrinya.

"Itulah yang bikin aku menghindari pernikahan. Aku nggak akan pernah bisa membahagiakan pasangan aku nantinya." Setetes air mata lolos dari ujung mata perempuan itu.

Sakti mengembuskan napas pelan.

"Kamu mandul?" tanya Sakti pelan

Gita mengangguk. Menggeleng. Lalu mengangguk lagi.

"Sudah pernah periksa?"

Kembali Gita mengulangi gerakan sebelumnya. Mengangguk. Menggeleng. Lalu mengangguk lagi.

"Kamu tahu kan, apa yang membuat saya meminta kamu untuk menikah dengan saya? Jadi apapun yang sudah dibilang oleh mantan suami kamu, jelas tidak akan mempengaruhi saya." Sakti mengingatkan kembali tujuan pernikahan mereka.

"Tapi, kamu jangan lupa, Mas. Mereka yang nggak pernah tahu dengan alasan pernikahan kita, pasti akan tetap mempertanyakan tentang keturunan. Itu adalah sesuatu yang nggak bisa aku kasih. Aku bahkan nggak bisa memberikan hak kamu atas diri ini."

"Saya nggak pernah peduli soal keturunan. Itu Cuma –"

"Tapi aku peduli. Aku peduli, Mas. Sebagai satu-satunya anak lelaki dari Yang terhormat Fajar Bachtiar, mereka semua pasti mengharapkan keturunan dari kamu. Aku salah karena aku udah egois dengan menyertujui lamaran kamu."

Sakti diam dengan ledakan emosi Gita. Ia biarkan istrinya mengeluarkan semua hal yang membebaninya. Air mata kini sudah membasahi wajah Gita.

"Sekali lagi aku tanya, apa benar kamu mandul?"

"Aku nggak tahu," tukas Gita.

"Tapi kamu udah periksa?"

Gita diam sesaat. Ia menghela napas lalu mengusap matanya dengan ujung jari. "Udah. Tapi aku juga nggak tahu gimana ngejelasinnya sama Mas Sakti." Suara Gita terdengar sengau.

Sakti diam. Ia hanya menatap Gita. Sang istri yang menyadari hal itu pun mengembuskan napas, menyadari bahwa laki-lakai yang sedang duduk di sebelahnya menanti penjelasan.

"Aku ... aku divonis sebagai pengidap vaginismus."

Sakti mengernyit. "vaginismus?"

Gita mengangguk. "Aku didiagnosis tidak akan pernah bisa berhubungan badan dengan siapa pun. Itulah kenapa sampai saat ini aku sama sekali nggak bisa menunaikan kewajibanku sebagai istri."

"Hei," sergah Sakti, "siapa yang bilang begitu?"

Gita tak bersuara sama sekali.

"Raja yang bilang begitu, kan? Pasti dia juga yang mencecoki kamu dengan stigma mandul."

"Tapi itu kenyataan, Mas. Aku nggak akan pernah bisa berhubungan badan. Itu faktanya."

"Bukan," kata Sakti tegas." Faktanya adalah kamu penderita vaginismus. Sementara tidak akan bisa berhubungan badan, itu Cuma spekulasi semata yang terus menerus ditekankan ke kamu oleh Raja."

"Apa bedanya?" tanya Gita frustasi. "Intinya tetap sama. Aku nggak akan bisa memberikan keturunan untuk siapa pun."

"Perbedaannya ada di bagaimana kamu menghadapi fakta. Yang saya lihat kamu masih terbelenggu dengan kenyataan. Kalau kamu penderita vaginismus, terus kenapa?"

"Lebih baik kita bercerai aja. Mumpung pernikahan ini masih baru."

Sakti terperangah dengan kalimat yang dilontarkan istrinya. Ia bertanya sinis, "Apa alasan kamu meminta cerai?"

"Aku nggak akan pernah bisa memberikan keturunan untuk kamu, Mas."

"Dan saya tidak peduli dengan hal itu." Sakti menatap Gita tajam."Saya tahu pernikahan kita bukan berlandaskan cinta. Namun, bukan berarti saya tidak menginginkan pernikahan yang langgeng. Bagi saya pernikahan cukup satu kali."

Sakti turun dari mobil. Ia meletakkan kunci mobil di kursi pengemudi.

"Saya kembali ke apartemen duluan. Kalau kamu mau menenangkan diri, saya tinggalkan kunci mobil di sini."

Gita kembali menangis. Air matanya terus turun tak terhenti. Dengan bantuan spion, ia melihat suaminya terus berjalan meninggalkannya di mobil. Suami yang mempertahankannya. Suami yang membelanya. Haruskah ia melepaskan suami seperti yang seperti itu?

Author Note:

Part ini kalian akan menemukan sebuah istilah medis. Bukan istilah sih. Itu penyakit nyata kok. Real dan bukan rekaan. Nama penyakitnya adalah vaginismus.

Kok nama penyakitnya mirip-mirip sama salah satu organ perempuan sih.

Tentu saja mirip. Karena letak penyakitnya memang di area tersebut.

Sekarang kita belajar yuk, tentang penyakit ini. Belajarnya pelan-pelan tapi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top