Bab 1
Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini
"Sudah sampai, Mbak." Suara sopir taksi daring membuyarkan keseriusan Anggita yang asyik membaca catatannya..
Gadis itu mengangkat wajahnya. Ia tersenyum mengangguk. Kemudian mengangsurkan selembar ratusan ribu ke tangan sopir taksi sebelum turun dari mobil. "Ambil aja kembaliannya, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya."
Senyum sumringah menghiasi wajah supir taksi. "Makasih, Mbak. Jangan lupa bintangnya ya, Mbak."
Tepat saat gadis itu menutup pintu taksi, terdengar suara deringan dari dalam clutch yang ia genggam.
"Kamu jadi datang, kan? Dimana sekarang? Jangan bilang kalo kamu baru siap-siap berangkat." Cerocosan langsung terdengar begitu Anggita menggeser ikon telepon berwarna hijau dan menempelkan ponsel di telinganya.
"Kamu bisa tanya satu-satu, Sy?" jawab Anggita santai.
"Aku khawatir kamu nggak jadi datang."
"Mana mungkin aku nggak datang. Bukannya rekomendasi tempat acara itu dari aku, ya?"
"Iya, sih."
Anggita tersenyum kecil. Ia yakin temannya sekarang sedang memutar bola matanya.
"Tenang aja. Aku baru sampai di depan lobby sekarang ..."
"Perlu kujemput, nggak?" Belum selesai Anggita berbicara temannya sudah memotong.
Anggita mengembuskan napas pelan. Langkahnya berhenti sejenak. "Sisy cantik, Aku bisa ke sana sendiri. Kamu nggak perlu khawatir. Ini juga inisiatifku untuk ikut reuni tahun ini. Kamu lebih baik fokus aja sama tanggung jawabmu sebagai panitia. Ingat ya, nggak boleh ada yang tahu kalo kamu bisa dapat tempat di hotel ini lewat aku. Kita ketemu di ballroom nanti. Bye."
Anggita berhenti tepat di depan cermin yang memang dipasang sebagai interior lobby hotel. Ia memastikan riasan wajahnya sekali lagi. Rambut kecokalatan yang digerai ke sisi kiri membuat leher jenjangnya terlihat cantik. Sapuan rias natural semakin menonjolkan sisi keanggunannya. Wanita itu tampak tidak mnyesal dengan pilihannya untuk mengenakan midi dress berwarna peach. Bahan satinnya tampak jatuh sempurna di postur tubuh Anggita.
"Selamat malam, Mbak Gita."
Gita menoleh menatap seseorang yang menyapanya. Kemudian tersenyum ramah. "Selamat malam, Bu Weni," balasnya tak kalah sopan.
"Sedang ada pekerjaankah? Atau jangan-jangan acara malam ini dipandu sama Mbak Gita?"
Gita langsung menggeleng. "Bukan. Saya memang akan ke ballroom, tapi kali ini sebagai tamu. Ngomong-ngomong terima kasih ya, Bu Weni. Sudah membantu kawan saya bisa menyelenggarakan acara di hotel ini. Padahal kan, ballroom dihotel ini hanya bisa dipesan minimal lima bulan sebelumnya."
Weni Wijayanto terkekeh mendengar pujian terselubung Gita. "Kebetulan memang ballroom sedang kosong, Mbak. Lagipula apa yang nggak buat Mbak Gita? Kita sudah sering bekerjasama bareng-bareng, masak iya saya nggak bisa bantu."
Gita menanggapi pernyataan hotel manajer dengan senyuman manisnya. Bukan hal yang sulit bagi perempuan berusia akhir dua puluhan itu untuk bisa menemukan tempat penyelenggaraan sebuah acara. Pekerjaannya sebgai pewara profesional yang bekerja sama dengan banyak pelaku event organizer, membuat ia memiliki banyak relasi.
Saat Sisy menghubunginya untuk meminta tolong mencari tempat acara reuni yang terpaksa harus diubah karena kecerobohan panitia lainnya, Anggita segera menghubungi Ibu Weni. Hotel manajer dari Pride Menteng Hotel. Hotel berbintang lima yang ballroomnya selalu menjadi tempat acara bergengsi para pesohor di Indonesia.
Perempuan itu hanya meminta syarat, waktu acara pun harus diubah disesuaikan dengan keinginannya. Gita hanya beralasan itu adalah permintaan dari pihak hotel. Walaupun alasan sebenarnya ada terletak di restoran yang ada di lantai dua.
Dan kesanalah langkah kakinya kini menuju.
~~~
Cinammon Restauran hanyalah sebuah resto hotel. Namun, restoran ini justru sering dijadikan tempat pengambilan gambar oleh para celebrity chef. Salah satunya adalah Sakti Bachtiar. Seorang food vloger yang konten memasaknya jauh melebihi para chef terkenal.
"Saya heran, kenapa kamu masih nggak mau jadi chef aja. Kemampuan memasak kamu itu setara mereka-mereka yang memang belajar di dunia jasa boga loh, Ti."
Sakti menanggapi ucapan Sultan dengan senyuman tipis. "Terima kasih atas pujiannya, Chef. Untuk sekarang saya hanya memilih memasak sebagai hobi saja."
Chef Sultan terkekeh. "Hobi yang sangat menghasilkan banyak uang ya, Ti."
Sakti ikut terkekeh. "Kalau saya memilih memasak jadi profesi, saya nggak yakin bisa menciptakan menu sebanyak yang saya inginkan. Lebih baik seperti ini."
"Terserah kamulah. Yang jelas, saya suka kalau kamu pakai restoran saya sebagai lokasi pengambilan gambar kamu. Secara nggak langsung kamu bantu promoin restoran ini. Ha ha ha." Chef Sultan berlalu sambil tertawa bahagia. Meninggalkan Sakti yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah seniornya di masa SMA.
Bukan hal yang aneh jika Cinammon Restoran sedang mengadakan pengambilan gambar. Tak hanya food vlogger, beberapa stasiun televisi juga sering menggunakan restoran ini guna keperluan program memasak. Oleh sebab itu beberapa pengunjung restoran tetap menikmati santapan mereka meskipun beberapa staff dapur terlihat bolak-balik mempersiapkan meja dan peralatan dapur yang diperlukan sebagai penunjang.
Sakti memang selalu melakukan pengambilan gambar di malam hari ketika lokasinya berada di Cinammon Restoran. Kesibukan profesi membuatnya sulit untuk take a shoot di siang atau sore hari.
Ia baru saja selesai menata alat dan bahan ketika seorang wanita paruh baya menghampirinya.
"Sakti," panggil wanita itu lugas.
Tangan Sakti berhenti di udara seketika. Ia mengangkat wajah dan air mukanya berubah seketika. Senyum menghilang saat ia menyadari wanita yang memanggilnya. Kemudian ia kembali meneruskan pekerjaannya seraya berujar, "Selamat malam, Mami."
"Kita punya janji makan malam bersama, kan?" wanita yang dipanggil 'Mami' itu tak menjawab salam dari Sakti.
Sambil tak acuh, Sakti hanya mengangguk. Selesai menata meja, giliran tripod dan lighting yang kini menjadi sasaran kesibukannya sebelum ia memulai hobbynya.
"Permisi. Anda Sakti Bachtiar, kan?" tiba-tiba beberapa orang perempuan menyapa Sakti.
Sakti menoleh dan tersenyum sembari mengangguk membenarkan.
"Ini sedang mau live IG atau untuk keperluan konten?" tanya salah seorang di antara perempuan itu.
"Hanya untuk keperluan konten. Kalau kalian mau menyaksikan, silakan duduk dan nikmati hidangan dari restoran. Kalian boleh menonton sambil santap makan malam."
Binar-binar bahagia tampak terpancar dari mata para perempuan itu. Segera mereka menarik kursi di meja terdekat di sekitar tempat Sakti akan mulai pengambilan gambar dan mulai memesan makanan. Tidak lama beberapa pengunjung lainnya pun mengikuti jejak perempuan-perempuan itu. Hampir semuanya adalah berjenis kelamin perempuan. Sakti menyadari mereka adalah para penggemarnya yang memang sengaja datang untuk melihatnya langsung. Apalagi lokasi restoran ini memang salah satu tempat andalannya.
Dari ekor matanya Sakti melihat Chef Sultan yang berdiri di kejauhan mengacungkan dua jempol kepadanya. Pria itu hanya merespon dengan mengangkat bahunya. Saat semua persiapan sudah selesai, Sakti berdiri membelakangi meja memasaknya dan berujar, "Saya harap kalian semua menikmati makan malam dengan tenang. Dan saya mohon, tidak ada satupun dari kalian yang akan mengambil photo ataupun video selama saya memasak. Terima kasih."
~~~
Gita berdiri di depan restoran dengan tidak percaya diri. Ini bukanlah kali pertamanya ia menyambangi Cinammon Restoran. Namun, entah mengapa kali ini terasa lebih menegangkan baginya.
Kakinya tinggal melangkah masuk ketika perasaan ragu menyergapnya. Kembali Gita terdiam di tempatnya berdiri sekarang. Sampai seseorang menyapanya, "Mbak Gita, kan?"
Konsentrasi Gita yang sedang meneguhkan niat terpecah. Ia menatap orang yang menyapanya.
"Iya?" jawabnya ragu.
Raut wajah sumringah justru terpancar dari si penanya. "Wah, akhirnya saya bisa bertemu di sini. Kenalkan saya Citra. Ini kartu nama saya." Perempuan itu segera merogoh tas jinjingnya dan mengaduk-aduk isinya.
Gita memperhatikan dan menunggu dengan sabar. Ia hanya melirik restoran dengan ekor matanya.
Semoga masih belum selesai, harapnya dalam hati.
"Nah, ini. Ini kartu nama saya." Perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai Citra itu menyerahkan selembar kertas mungil ke tangan Gita.
Gita menerima dengan tersenyum ramah. Ia melihat kartu nama di tangannya.
Citra Rahmawati. Happy Project.
"Saya ini tukang dekor, Mbak Gita. Beberapa klien saya kadang kan suka pengen sekalian yang bisa bareng MC sekalian. Gimana kalo misalkan Mbak Gita ikut kerja sama saya aja. Jadi MC tetap saya, gitu?" tanpa menyembunyikan maksudnya, Citra terang-terangan mengajak Gita membuatnya permepuan itu jengah.
Ngajakin partner di tengah jalan begini? , keluh Gita dalam hati.
"Maaf, Mbak Citra. Saya lagi buru-buru sekarang. Nanti saya hubungi Mbak Citra ya untuk kedepannya." Dengan halus Gita meminta izin.
"Kalau begitu, saya minta no telepon Mbak Gita, ya. Takutnya nanti Mbak Gita malah lupa lagi sama saya. Biar nanti saya yang hubungi Mbak Gita," todong Citra tanpa malu.
Gita sedikit terperangah sesaat kemudian ia pun memberikan nomor ponselnya. Baginya ia harus segera menyingkir dari hadapan perempuan ini.
"Ini beneran nomornya Mbak Gita, kan? Bukan nomor orang lain yang diambil serampangan." Sekali lagi kalimat Citra membuat Gita kaget meskipun ia tetap menunjukkan senyum ramahnya.
"Mbak Citra boleh cek sendiri. Itu tersambung ke whatssap. Profil saya terbuka untuk umum."
"Oke, kalau begitu besok saya telepon Mbak Gita, ya?"
Selesai mengucapkan kalimat itu, Citra melenggang pergi meninggalkan Gita sendirian di depan restoran. Kali ini tanpa berusaha menyempunyikan apapun Gita hanya memandang kepergian perempuan itu dengan mata yang menatap tak percaya.
Sopan sekali! Tanpa ucapan terima kasih atau sampai jumpa?! Fix, aku harus cek dulu tukang dekor yang satu ini. Dari semua hal yang sudah dia ucapkan, sudah pasti ada sesuatu yang salah sama dirinya.
Gita lalu melihat jam tangannya, dan ia langsung mengutuk dirinya yang sudah membuang waktu hanya untuk berbincang dengan seorang perempuan tidak jelas. Tanpa ragu akhirnya ia melangkah masuk. Dengan pasti ia langsung menuju bagian outdoor restoran. Dan seketika senyumnya mengembang.
Lima puluh meter di hadapannya ia melihat laki-laki itu. Dengan perlahan Gita berjalan mendekat. Berusaha utnuk tidak menarik perhatian dari tamu lainnya, perempuan itu mengeluarkan ponsel dari clutch dengan tanpa suara.
Ia sudah memastikan rana suara kamera sudah ia matikan. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah sebuah poto. Lalu keluar dari restoran dan bergabung ke acara reuni SMU-nya.
Posisinya sekarang membuat Gita dapat menangkap gambar laki-laki itu dengan sempurna. Lalu ia menekan tombol kamera. Dan sesuatu di luar terjadi.
Kilat lampu flash kamera tampak berkedip dari ponsel, membuat Gita terpaku di tempatnya. Saat ini semua mata tamu restoran memandangnya termasuk laki-laki itu.
Sial, kenapa harus pake flash, sih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top