Chapter 8 - It Hurts Though

Author's POV

Hari-hari berikutnya berjalan dengan biasa. Pergi ke sekolah, pulang, mengerjakan pekerjaan rumah, membantu ibunya, lalu tidur. Begitu terus sirkulasi kehidupan (Y/n) selama tiga hari belakangan ini. Tidak ada lagi kencan yang biasa (Y/n) lakukan dengan Giyuu. Tidak ada lagi ucapan "selamat pagi" yang biasa gadis itu katakan pada Giyuu. Semuanya hanya berlalu sama seperti saat (Y/n) belum menjalin hubungan dengan lelaki itu.

"Kau tidak membawa bekal, (Y/n)?" tanya Kaa-san ketika (Y/n) membuka pintu rumahnya.

"Ah, tidak perlu, Kaa-san. Aku akan membeli di kantin saja," jawabnya sebelum pamit pada ibunya.

Seusai pamit pada ibunya, (Y/n) berjalan menuju sekolahnya. Jarak sekolahnya yang cukup dekat membuat gadis itu berpikir lebih baik ia berjalan saja daripada menaiki kendaraan. Sekaligus berolahraga, pikirnya.

Perjalanan yang memakan waktu sepuluh menit itu kini telah berakhir. (Y/n) melangkahkan kakinya masuk ke pelataran parkiran di area sekolahnya. Banyak siswa maupun siswi yang berlalu lalang dengan kesibukan mereka masing-masing. Sementara itu, (Y/n) hanya berjalan seorang diri saja.

Sambil memainkan ponselnya, (Y/n) berjalan menuju kelasnya. Sesekali ia memperhatikan jalan yang dilaluinya untuk menghindari kejadian yang tak diinginkannya. Masih dengan ponsel di tangannya, tangan (Y/n) bergerak membuka pintu kelasnya.

Suasana kelas yang ramai menyambutnya. Gadis itu sama sekali tak memusingkannya dan berjalan menuju kursinya. Ia duduk di sana setelah meletakkan tasnya pada sebuah kaitan di sisi kanan mejanya.

Fokusnya tertuju pada ponsel di tangannya. Kemudian, ia mengambil airpods dari saku tas sekolahnya. Menghubungkannya dengan ponselnya lalu memutar sebuah lagu. Lagu yang menenangkan mengalun di telinganya. Membuat perasaannya seketika membaik.

Saat ini, (Y/n) hanya ingin melupakan apa yang terjadi.

***

Tepat ketika bel istirahat berbunyi, (Y/n) langsung keluar dari kelasnya dan lekas menuju ke kantin. Suasana kantin yang dapat berubah menjadi ramai dalam sekejap membuat (Y/n) harus sampai lebih dulu dari siapapun. Itu artinya, ia bisa membeli makanan yang diinginkannya tanpa perlu berdesak-desakkan dengan murid yang lain.

Selesai membayar roti isi daging sesuai keinginannya, (Y/n) berlalu dari kantin. Tujuannya saat ini adalah atap sekolah. Sama seperti biasanya, gadis itu pasti akan menikmati makan siangnya di atap sekolah. Ditemani oleh semilir angin dan pemandangan berupa gunung serta kereta api yang sesekali lewat di sana.

Gadis itu pun duduk. Ia membuka bungkus plastik yang membungkus roti isi daging di tangannya. Lalu, ia pun menggigitnya, mengunyahnya sebelum menelannya.

Lagi-lagi (Y/n) memikirkan tentang Giyuu. Apa yang lelaki itu sedang lakukan. Apa yang dimakan olehnya hari ini. Juga apakah ia sudah memiliki seseorang pengganti dirinya.

Jujur saja, saat ini hubungan (Y/n) dan Giyuu masih abu-abu. Bukan hitam ataupun putih. Tidak jelas sama sekali. Salah satu di antara mereka memang belum ada yang mengatakan kata "putus" untuk mengakhiri hubungan mereka. Namun, meskipun status mereka masih sepasang kekasih, mereka sudah tidak lagi menghabiskan waktu bersama. Entah karena suatu hal, keadaan mereka menjadi seperti ini.

Sudah banyak air mata yang (Y/n) keluarkan untuk menangisi Giyuu. Namun, seketika ia pun sadar, tidak ada gunanya ia menangisi lelaki yang telah menyakiti perasaannya itu. Yang ada hanyalah rasa sakit yang selalu ia rasakan setiap kali cairan bening itu mengalir keluar dari pelupuk matanya.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumamnya sambil berpikir.

Setelah menghabiskan rotinya, (Y/n) menyalakan ponselnya. Mencari nama Giyuu dari daftar nama teman di LINE-nya. Seusai ia temukan, kedua ibu jarinya bergerak mengetik beberapa kata kepada lelaki itu.

Hanya pesan itulah harapan terakhirnya.

***

Giyuu tengah duduk di dalam kelasnya. Hanya ada beberapa teman sekelasnya di sana. Sejak tadi tatapan datarnya tertuju pada pemandangan di luar jendela kelasnya. Cakrawala yang berwarna biru, kumpulan awan putih yang menghiasi sang cakrawala, juga siswa-siswi yang berlalu lalang di lapangan.

Semenjak hubungannya dengan (Y/n) menjadi tidak jelas seperti ini, hidupnya kembali menjadi seperti biasa. Sama seperti saat gadis itu belum muncul di kehidupannya. Namun, sepertinya memang inilah kenyataan yang ia inginkan.

Ponsel di saku celana seragamnya bergetar sebanyak satu kali. Giyuu mengeluarkannya lalu menatap pada layarnya yang menyala selama beberapa detik sebelum kembali gelap. Ia pun membalasnya.

***

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

Di sinilah (Y/n) dan Giyuu berada. Di belakang sekolah mereka dengan suasana sekolah yang sudah cukup sepi. Wajar saja, saat ini jam sekolah sudah berakhir.

(Y/n) menarik napas lalu menghembuskannya. "Tolong jelaskan padaku, Giyuu-Senpai. Mengapa selama ini kau bersikap dingin seperti itu?"

"Tidak ada yang perlu kujelaskan," jawabnya datar.

"Tentu saja ada! Kau harus menjelaskan mengapa sikapmu menjadi dingin seperti itu padaku! Aku, aku tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk membuatmu kembali seperti dulu," ujar (Y/n) lirih di kalimat terakhirnya.

"Seperti dulu? Sikapku memang seperti ini sejak dulu. Bukankah kau sudah tahu hal itu?" Giyuu menatap (Y/n) dengan tatapan yang sulit diartikan.

"T-Tapi, kau tidak sedingin ini padaku di saat kita pertama kali pergi berkencan, Giyuu-Senpai..." ucap gadis itu lirih sambil meremas rok seragam yang dikenakannya.

"Lalu, apa yang kau mau? Sebuah penjelasan?" cecar Giyuu masih dengan nada datarnya.

(Y/n) hanya diam. Ia tidak tahu harus merespon apa. Ia memang ingin tahu mengapa sikap Giyuu berubah seratus delapan puluh derajat beberapa hari terakhir ini. Bahkan, waktu yang telah mereka habiskan selama ini terasa tidak berarti apa-apa.

"Kau selalu mengangguku, (Y/n). Apakah kau tidak merasa demikian?"

Jantung (Y/n) terasa mencelos. Setiap kata-kata yang keluar dari bibir lelaki itu menorehkan luka di hatinya. Tanpa membiarkan luka yang lama untuk sembuh lebih dulu.

"Lalu, mengapa kau menerimaku sebagai pacarmu saat itu?" Mata (Y/n) mulai berkaca-kaca saat ia menatap lelaki di hadapannya.

Giyuu membuang napasnya. Ia menyusupkan tangannya ke surai hitamnya. "Aku hanya merasa iba padamu, (Y/n)."

Reaksi yang (Y/n) berikan hanya menekap mulutnya dengan kedua tangannya. Ia menggeleng tak percaya.

"Mengapa kau tidak menolakku saat itu?! Jika akhirnya akan menjadi seperti ini, aku hanya berharap kau tidak menerima pernyataan cintaku di hari itu!" jerit (Y/n) frustasi.

Giyuu hanya diam mendengarkan kemarahan yang selama ini gadis itu tahan di dalam benaknya. Tatapannya berubah sendu ketika gadis itu menangis sambil berjongkok dengan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Gadis itu mendongak dengan wajah yang putus asa. Tatapannya terlihat kosong saat menatap ke arah Giyuu.

"Apakah kau mencintaiku, Senpai?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir milik lelaki itu. Hanya keheningan yang terasa mencekam sekaligus menyedihkan. Dari reaksi yang Giyuu berikan (Y/n) sudah tahu apa jawabannya.

Cukup. Sudah cukup rasa sakit yang (Y/n) rasakan. Sakit secara fisiknya maupun mentalnya. Kini, ia hanya ingin bangun dari mimpi buruknya ini dan menjalani hari-harinya seperti sebelum mengenal lelaki itu.

Ia pun bangkit berdiri. Menatap pada Giyuu untuk terakhir kalinya. Lalu, ia mengucapkan dua kata sebelum berbalik pergi. Kata-kata yang Giyuu tidak pernah pikirkan akan keluar dari bibir gadis itu.

"Aku membencimu."

***

Yo minna!

Asdfghjkl Wina lupa updateee😭🔫

Oke, oke. Tapi sekarang udah update dan semoga kalian gak makin kesel sama Giyuu setelah baca chapter ini🗿

Untuk kalian semua yang telah baca dan juga vomment, terima kasih bangett!!😭💖💞💗💕

I luv ya!
Wina🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top