Chapter 10 - Hampa
Author's POV
Bunyi mesin elektrokardiogram mengisi kekosongan di ruangan itu. Bukan karena mesin itu mati tiba-tiba. Namun, karena bunyi panjang yang dikeluarkan olehnya membuat orang-orang di seisi ruangan itu menjadi panik. Jeritan dan tangis terdengar di sana.
Tatapan Giyuu hanya menatap kosong dari balik kaca transparan di depannya. Tangannya menyentuh kaca itu. Tepat di baliknya, seseorang yang paling ingin ia temui saat ini tampak terbaring di atas tempat tidur. Dikelilingi oleh seorang dokter dan beberapa perawat.
"Ini... bohong kan?" gumamnya tak percaya.
Air mata mulai mengalir menuruni pipinya tanpa ia sadari. Perasaannya saat ini tak dapat ia jelaskan. Semuanya terlalu sulit untuk ia percaya.
Ketika sang dokter menggeleng ke arah wanita yang sejak tadi berdiri di sana dengan berlinang air mata, seketika Giyuu paham.
Gadis itu sudah tiada.
***
Kosong. Hampa.
Giyuu menatap nanar ke arah tubuh (Y/n) yang ditutupi oleh kain berwarna putih. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mulai membiru. Namun, yang tak dapat ia pungkiri adalah terdapat sebuah senyum tipis di wajah gadis itu.
Lelaki itu ingin menggenggam tangannya. Memberikan kehangatan untuk gadis itu meskipun ia tidak bisa merasakannya. Mengapa ia tidak menggenggam tangan gadis itu lebih sering? Mengapa ia malah menyakiti perasaan gadis itu dengan egonya sendiri?
Kini, hanya tersisa rasa penyesalan dalam dirinya. Ia belum sempat mengatakan tentang perasaannya yang sesungguhnya. Namun, gadis itu sudah pergi lebih dulu. Meninggalkan dirinya seorang diri dengan rasa penyesalan yang luar biasa besarnya.
"Mengapa kau pergi secepat kau datang, (Y/n)?" gumamnya lirih.
***
Hujan turun dengan deras membasahi permukaan bumi. Seolah-olah saat ini dunia pun ikut menangis di saat kepergian gadis itu dari dunia ini.
Giyuu menatap pada batu nisan dengan nama (F/n) (Y/n) di atasnya. Payung di tangannya melindunginya dari hujan. Ia ingin menangis keras, meraung-raung menumpahkan isi hatinya selama ini. Tetapi, ia tidak bisa melakukannya. Perasaannya terasa kosong dan hampa setelah gadis itu tiada.
Suara tangis di sampingnya mengalihkan perhatian Giyuu dari batu nisan itu. Seingatnya saat ini ia hanya berada seorang diri di sana. Lalu, siapa pemilik suara tangis itu?
Tidak ingin berpikiran negatif, Giyuu langsung menoleh ke kanan. Di sana, seorang anak lelaki bersurai pirang tampak sedang berjongkok sambil menangis. Tidak ada payung maupun jas hujan yang melindunginya dari hujan yang kian menderas.
Giyuu mendekatinya. Ia memayungi anak itu dan dirinya sendiri dengan payung yang sejak tadi ia genggam.
Ketika hujan mulai tak menjatuhkan diri ke atas tubuhnya, anak itu menengadahkan kepalanya. Tatapannya langsung bersitatap dengan manik biru milik Giyuu. Air mata mulai merebak di pelupuk matanya. Detik selanjutnya, anak itu langsung menghambur memeluk Giyuu erat.
Manik birunya berkedip beberapa kali. Namun, setelahnya ia memeluk anak lelaki bersurai pirang itu. Membiarkan rasa sedih yang mereka rasakan setelah kepergian (Y/n) mengalir dalam diri mereka.
"Ternyata, ternyata selama ini Nee-chan berbohong padaku," ucap Hiro masih sambil menangis.
"Dia tidak baik-baik saja. Penyakit kanker pankreasnya telah menggerogoti tubuhnya. Tetapi, mengapa, mengapa dia masih terlihat baik-baik saja? Dia bahkan masih bisa tersenyum!" Tangis Hiro kian membesar. Kedua tangannya menutupi wajahnya.
"Itu karena (Y/n) adalah gadis yang tangguh. Bahkan ketika aku menyakiti perasaannya, dia tetap berusaha mendekatiku. Namun, karena kebodohanku, aku pun mengabaikannya," jelas Giyuu pada Hiro.
Hiro menatap pada Giyuu dengan tatapan kesal. "Mengapa Nii-san menyakitinya? Mengapa Nii-san menyakiti Nee-chan?" cecarnya.
Tidak ada jawaban yang dikeluarkan oleh Giyuu. Hanya suara hujan yang mengisi keheningan. Ah, semua ini karena egonya. Ya, egonya yang terlalu tinggi.
***
"(Y/n) sudah menderita kanker pankreas sejak dia berumur empat belas tahun. Saat itu, aku belum mengetahuinya. Namun, setiap kali dia mengeluh tentang nyeri di perutnya beberapa kali, aku pun langsung membawanya ke rumah sakit. Di situlah, penyakit mematikan itu terungkap."
Penjelasan yang dikatakan oleh ibu (Y/n) itu seketika mengguncangkan perasaan Giyuu. Lelaki bersurai hitam itu hanya bisa terdiam. Menyimak setiap perkataan yang dikatakan oleh wanita yang melahirkan gadis yang ia cintai.
"Aku tidak menyangka sama sekali jika kita akan bertemu di saat seperti ini," celetuk ibunya (Y/n) menyadarkan Giyuu dari lamunannya.
"Padahal aku sudah pernah meminta pada (Y/n) untuk mengajak pacar barunya ke rumah. Namun, ternyata dia belum sempat melakukannya dan sudah pergi lebih dulu," sambungnya sambil menutupi wajahnya. Detik selanjutnya, isak tangisnya pun terdengar.
Giyuu terdiam. Jika perasaannya saat ini digambarkan oleh seseorang, ia yakin bentuknya akan tidak jelas. Tidak bisa dideskripsikan bagaimana bentuk yang sebenarnya.
"Maaf, aku tiba-tiba menangis." Wanita itu mengusap pipinya dengan perlahan.
Ia merogoh isi tasnya. Mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru langit ke hadapan Giyuu.
"Ini adalah pemberian terakhir dari (Y/n). Untukmu."
Giyuu menerimanya dengan hati-hati. Ia mengucapkan terima kasih pada wanita itu sebelum beranjak dari sana. Membawa kesedihan bersamanya.
***
Setibanya di rumahnya, Giyuu langsung beranjak menuju kamarnya. Mengabaikan panggilan ibunya dari dapur. Ia menutup pintu kamarnya. Lalu, duduk di depan meja belajarnya. Tangannya bergerak membuka amplop itu dengan hati-hati.
Sebuah kertas dengan warna yang senada berada di hadapannya. Kertas itu dilipat beberapa kali hingga muat ke dalam amplop di tangannya. Perlahan, Giyuu membuka lipatan kertas itu satu per satu. Lalu, ia mulai membacanya dalam hati setelah menarik napas sebanyak satu kali.
Untuk Giyuu-Senpai yang berada di suatu tempat.
Hai, Senpai. Aku tidak tahu kapan kau membaca surat ini. Jadi, aku tidak bisa mengucapkan selamat pagi, selamat sore, ataupun selamat malam sebagai pembuka surat ini.
Giyuu tersenyum samar membaca paragraf pertama surat itu. Lalu, ia melanjutkannya lagi.
Jujur saja. Ini adalah pertama kalinya aku menulis surat untuk seseorang. Terlebih, orang itu adalah orang yang kucintai.
Kau pasti sudah tahu tentang penyakit yang kuderita. Mungkin ibuku sudah menjelaskannya padamu. Maafkan aku karena selama ini aku menyembunyikannya darimu. Namun, percayalah. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku dengan kebahagiaan. Bukanlah dengan berlarut-larut dalam kesedihan.
Semenjak aku mengetahui penyakitku ini, aku mulai menikmati hidupku. Melakukan hal-hal yang kusukai. Aku bahkan menyatakan perasaanku padamu. Padahal dulu aku sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menyatakannya padamu, Senpai.
Ah, mungkin aku harus berterima kasih pada penyakit bernama kanker pankreas ini. Hanya bercanda, hehe.
Jangan menyesal atas apa yang telah kau lakukan padaku, Giyuu-Senpai. Aku sama sekali tidak pernah menyesal pernah menjadi pacarmu meskipun hanya sebentar. Kau juga merasa demikian, bukan?
Giyuu mengangguk. Tepat di saat ia mengangguk, satu tetes air mata lolos dan menuruni pipinya sebelum menetes ke atas kertas di tangannya.
Ah, satu lagi. Maafkan aku yang telah mengatakan "aku membencimu" di hari itu. Jika aku tahu hari itu adalah hari terakhir kita akan bertemu, aku akan mengatakan bagaimana perasaanku padamu. Aku akan mengatakan cinta padamu sebanyak seratus kali. Tidak, bahkan seribu kali. Ya, aku akan melakukan itu.
Namun, sayang. Aku tidak bisa melakukannya. Aku hanya bisa terbaring di atas ranjang di tempat yang paling kubenci. Ya, rumah sakit.
Sepertinya aku sudah menulis terlalu banyak. Maka dari itu, surat ini akan kuakhiri dengan bahagia.
Aku mencintaimu, Giyuu-Senpai. Sangat. Tidak peduli kau berada di mana sekarang, rasa cintaku padamu tidak akan pernah berubah.
Terima kasih karena telah memenuhi permintaan terakhirku meskipun hanya sesaat.
Dari orang yang mencintaimu,
(F/n) (Y/n)♡
Giyuu meremas kertas yang ada di tangannya. Tubuhnya bergetar sesaat setelah membaca isi hati (Y/n) yang tersimpan selama ini. Perasaannya tidak dapat ia jelaskan. Rasa sedih, kesal, kecewa, menyesal. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Ia bahkan tidak tahu yang manakah yang lebih dominan.
"Mengapa? Mengapa kau harus pergi sekarang, (Y/n)?" raungnya sambil menangis dalam diam.
"Aku bahkan belum sempat mengatakan perasaanku yang sebenarnya padamu. Tetapi, mengapa kau pergi tanpa mengucapkan "selamat tinggal" padaku? Jika aku tahu kau akan pergi secepat ini, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu yang kita miliki."
Rasa sesak mulai muncul di dalam dadanya. Kertas di tangannya sudah mulai lecek. Giyuu kini hanya bisa berlarut dalam kesedihan yang mendalam dengan perasaannya yang sulit ia artikan.
Namun, ia memang sudah tahu. Gadis yang ia cintai telah tiada. Bahkan ketika ia ingin mengucapkan perasaannya pada gadis itu.
— Tamat —
Yo minna!
Pada akhirnya, Giyuu yang sad boy tetaplah sad boy🗿
Maap maz, gak sengaja, tapi emang niat☺🙏🏻
Oke, abaikan saja.
Dan yup, akhirnya cerita ini pun tamat. Sebenernya Wina udah ketik cerita ini sampai tamat sebelum dipublish🤸♀️
Terima kasih teruntuk kalian semua yang sudah baca, vote dan comment hingga cerita ini tamat🥺❤✨
Kalau kalian ada waktu, cek juga book Wina yang lain(*˘︶˘*)
Masih ada Epilog yaa💃✨
I luv ya!
Wina🌻
Masih ada Epilog ya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top