Bag 8. Keributan di Kantin
Jam makan siang tiba—eh, maksudnya siang dalam artian berbeda, tetap malam. Aku menatap lelah baki kayu yang diserahkan oleh penjaga kantin dengan wajah enek.
Di atas baki, hanya ada secangkir susu dingin pucat, roti keras yang sudah mulai mengering di ujung-ujungnya, dan semangkuk sup yang tidak mengepulkan uap sedikitpun. Warnanya kusam, dengan potongan sayuran layu yang mengapung di permukaannya.
Terus terang, aku tidak yakin apa ini benar-benar makanan atau sisa-sisa ampas yang terabaikan. Sementara itu, aku bisa melihat murid penyihir lainnya menikmati makanan hangat yang tampak lezat—roti lembut dengan lapisan mentega, potongan daging, dan sup yang mengepul segar.
Bahkan mereka juga diskriminasi perihal makanan? Entah bagaimana aku harus berkomentar. Tapi akan kuabaikan karena desakan dalam perutku berkata bahwa aku butuh makan meski makanan di depanku sama sekali tak menggugah selera.
Aku berjalan menuju meja panjang di sudut ruangan dan duduk di sebelah Wise—rambut merahnya amat mudah dikenali. Dia menatap makanannya dengan ekspresi lelah, sama sepertiku. Piringnya berisi hal yang kurang lebih sama: roti keras, sup dingin, dan susu yang tampak sudah lama dibiarkan terbuka.
"Ini bukan makanan untuk manusia..." kata Wise menusuk roti menggunakan garpu berkarat. Roti itu begitu keras sampai garpu hanya menempel di permukaannya. "Pelayan istana pun pasti makanannya lebih enak."
Aku menatapnya sebentar, lalu mencoba menyeruput sup di mangkukku. Rasanya... hambar. Seperti air yang hanya diberi sedikit garam dan potongan sayuran layu.
"Kala, apa kau tak punya mantra yang bisa mengubah ini?" rengek Wise, ekspresinya semakin merosot melihat makanannya.
"Ada satu, tapi itu hanya bisa mengubah bentuknya. Tidak dengan rasanya."
Wise mengangkat cangkir susunya, menatap ragu sebelum menyeruput sedikit. Wajahnya langsung berubah meringis. "Aku tidak yakin ini susu atau air dengan butiran kapur."
"Aku bisa memanaskannya jika kau mau."
"Benarkah?? Mau dong!"
Wise tanpa berpikir dua kali menyerahkan cangkirnya padaku. Aku menyentuhnya. Udara di sekeliling cangkir mulai terasa hangat begitu aku melafalkan mantra dasar: Fervor Minima. Dalam hitungan detik, susu yang tadinya dingin mengepulkan uap tipis.
"Tidak sempurna, tapi setidaknya tidak lagi seperti minum air es," kekehku.
Wise berbinar-binar. "Rasanya menjadi lebih baik saat dipanaskan. Aku serius, Kala, tanpa dirimu, aku mungkin sudah kabur dari tempat ini. Tidak ada yang menyenangkan termasuk kelasnya. Kau tahu? Aku diejek lalat!"
"Aku malah dikatain ikan teri."
"Mereka sangat payah dalam mengejek."
Di tengah obrolan kami, suasana kantin yang awalnya bising karena keramaian tiba-tiba berubah menjadi riuh. Suara piring jatuh terdengar nyaring, disusul oleh teriakan yang membuat semua orang di kantin menoleh.
Termasuk aku dan Wise.
Di sana, seorang gadis berambut pink dengan poni panjang menutupi matanya dan jubah lusuh seperti kami berdua, tampaknya tak sengaja menyenggol murid yang mengenakan lencana kerajaan mengilap di dada.
"BERANI-BERANINYA ANAK PETANI HINA SEPERTIMU MENYENTUH AKU YANG MULIA!”
"M-maaf... Aku, aku tidak sengaja..." Gadis berambut pink gemetar. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar di antara sorakan tertahan dari murid yang menikmati drama tersebut.
Si bangsawan tidak peduli. Dia melirik gadis itu jijik, menendang baki makanan yang tergeletak di lantai menyebabkan sup dingin dan remah roti tersebar ke mana-mana.
"Aku benar-benar tidak mengerti mengapa mereka mengizinkan kasta terendah di Klan Penyihir memasuki tempat terhormat seperti ini," ucapnya mendengus dingin. "Aturan yang memalukan bagi kita yang berdarah biru."
Teman di sebelahnya menimpali sambil tersenyum miring. "Mau bagaimana lagi? Klan Penyihir berubah sejak Nona Descender mengambil alih pemerintahan."
Lagi-lagi...! Aku merasakan desir amarah menggelegak di nadiku. Wise di sampingku mengepalkan tangan, hampir membengkokkan garpu. Baru satu hari di sini, kami sudah terbiasa dengan perlakuan bangsawan yang sewenang-wenang. Tapi melihatnya secara langsung begini, tetap saja menyakitkan.
Bangsawan dari mananya sialan? Aku tidak bisa melihat sisi bangsawan elite di buku dongeng dari mereka. Sebaliknya, kelakuan mereka lebih mirip preman pasar. Jika mereka bangsawan betulan, harusnya bermartabat dan bukannya menindas orang-orang.
Si bangsawan melirik gadis berambut pink sekali lagi, senyum sinis menghiasi wajahnya. Tanpa peringatan, dia menumpahkan sisa makanan di bakinya ke arah gadis itu. Alhasil rambut dan seragamnya kotor oleh kuah.
"Sepertinya makananmu kurang. Tuh, aku berbaik hati membagikan milikku."
"Anda sungguh dermawan, Tuan Putri!"
Cukup! Aku tidak bisa hanya diam menonton.
Wise pertama yang bertindak, bergegas melindungi gadis berambut pink. Aku segera menepis tangan si bangsawan hingga baki di pegangannya jatuh berdentang ke lantai, jaga-jaga kalau dia nekat melemparnya.
"Kau sudah keterlaluan." Aku mendesis.
Dia hanya menatapku datar. Matanya dingin tiada emosi. Sebelum aku sempat bereaksi lebih jauh, pengawalnya yang juga seorang murid, bergerak cepat melindungi majikan. Tangannya terayun memukul wajahku.
Wise melotot, berseru, "Kala...!"
"Beraninya tangan kotormu menyentuh tubuh Tuan Putri?" katanya tajam.
Aku menyentuh pipi yang lebam. Si brengsek ini, apa dia barusan meninjuku? Ibu bahkan tidak pernah memukulku. Dia pikir dia siapa? Gelombang emosi semakin sulit ditahan.
Rambutku bersinar redup. Angin yang tadinya sepoi-sepoi, kini bertiup kencang, menarik perhatian murid-murid yang malas ikut campur. Mereka menoleh ke jendela, penasaran dengan perubahan drastis cuaca.
Sebelum badai benar-benar mengamuk, seseorang menceletuk, "Sudah cukup."
Aku tersentak, batal marah. Semua orang menoleh. Ini dia, ini dia wibawa seorang bangsawan sejati. Dapat menormalkan suasana tegang hanya lewat satu kata tegas serta kehadirannya sangat kuat.
"Kau lagi, Kahina-Na," decaknya sebal. "Apa? Ingin bermain pahlawan kesiangan lagi?"
"Kamu membuat malu Kerajaan Uatura, kamu tahu itu?" katanya kalem, menatap ke sekitar. "Kalian juga. Bangsawan macam apa yang tidak inisiatif melerai dan malah menganggap ini pemandangan seru? Semuanya, bubar!"
"Ck." Si bangsawan kasar itu melangkah pergi dan berbisik sinis begitu melewati Kahina. "Kedekatanmu dengan rakyat biasa dapat menurunkan derajatmu sebagai putri duke."
Kahina hanya mengangkat alis, tidak terpengaruh oleh kata-katanya. "Setidaknya aku menghargai manusia daripada dirimu."
Suasana kantin perlahan kembali normal
meski masih ada ketegangan tersisa di udara. Beberapa murid mulai beranjak, tidak ingin terlibat dalam drama tersebut.
Aku dan Wise membantu si gadis berambut pink untuk membersihkan seragamnya. Diam-diam aku menghela napas lega.
Ternyata masih ada manusia normal di sini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top