Bag 7. Seru Sih, Tapi...
Aku dan Wise berpisah karena gedung asrama untuk penyihir dan ksatria berbeda. Tapi kami berjanji akan bertemu setiap senggang atau saat jam makan. Dia memang sengklek, namun dia tetap teman pertamaku.
Kata Spica, murid-murid akademi dapat memilih kelas sesuka hati. Peserta didik dibebaskan memilih pelajaran yang ingin mereka pelajari dan kuasai, seolah akademi ini memberi kebebasan penuh kepada kami.
Aku tiba di kamarku yang kosong melompong. Sial, sempit sekali. Rumah pohonku dan Ibu jauh lebih luas daripada ini. Tidak ada yang bisa kubandingkan dengan kenyamanan rumah kami di hutan karena ruangan ini benar-benar tidak ada perabotan apa-apa. Rasanya seperti ruangan yang belum selesai.
Sebentar, Spica bilang aku perlu menaruh kartu ID di bola yang ada di kamar...
Mataku menyapu sekitar, mencari bola yang dimaksud, dan tersentak saat melihat globe kristal berputar lembut di atas meja. Inikah? Aku mendekat, memeriksa globe itu dengan hati-hati. Terasa dingin begitu kusentuh membuatku curiga itu bukan sekadar hiasan.
Kutarik kartu ID dari sakuku, melihat sekilas namaku yang terukir di sana: Kala. Kugenggam kartu itu denganragu, lalu menempelkannya ke permukaan globe kristal. Sesaat tidak ada yang terjadi, tapi kemudian bola itu memancarkan cahaya terang.
Suara lembut muncul dari globe. "Selamat datang, Kala. Kamar ini sekarang milikmu."
Sekejap, ruangan kosong itu mulai berubah. Dinding-dinding yang tadinya hitam kini tertutup oleh pola-pola yang hidup. Perabotan muncul dari bayang-bayang: sebuah lemari, rak buku, meja belajar, sapu, seragam, dan kuali. Semua sesuai dengan ukuran tubuhku.
Aku berdiri terpana, menyaksikan keajaiban ini terwujud di depanku. Kutarik perkataanku barusan. Kamar ini sangat keren! Ia dapat menyesuaikan diri dengan penghuninya!
Aku menghamburkan diri ke kasur, melotot. Keras banget! Oh, benar juga. Aku ingat ini hanya kamar standar untuk rakyat jelata. Tidak heran kalau kualitasnya begini. Kalau aku naik level, kamarku akan meningkat. Aku bisa mendapatkan kamar yang lebih luas dan tentunya dengan kasur yang empuk.
Itu motivasi tambahan untukku.
🌙🌙🌙
Reputasi murid kalangan rendah sudah buruk, jadi aku tidak ingin memperburuknya dengan menyombong dan tidak menghadiri kelas sapu terbang. Aku harus berusaha keras untuk membuktikan diri, terutama di tempat dimana status adalah segalanya.
Setelah menyiapkan diri, aku melangkah ke kelas pertamaku dengan cemas. Begitu masuk ke ruangan, tatapan para murid otomatis terarah padaku. Mereka semua mengenakan seragam akademi yang rapi dan mahal dengan lambang kebangsawanan kerajaan asal mereka menghiasi rompinya.
"Dia Kala-La. Murid baru jalur undangan," kata Madam Flya sang guru sapu terbang, ogah-ogahan memperkenalkanku. Dia tampak tidak tertarik sedikitpun padaku, memeriksa daftar murid dengan acuh tak acuh.
Bisikan cemooh mulai menyebar di kelas.
"Jadi, dia murid yang diundang itu?"
"Kalian yakin dia bisa terbang? Aku tidak menyangka rakyat jelata bisa sampai di sini."
Suara-suara mereka penuh dengan nada meremehkan. Tatapan mereka tajam. Tidak ada yang menyembunyikan ejekannya, dan aku merasa semakin kecil di hadapan mereka. Madam Flya tidak mau repot-repot menegur seolah perlakuan ini pantas kuterima.
Pandangan mengejek itu tak berhenti bahkan setelah aku duduk sendirian di belakang. Sebenarnya tadi ada tiga anak di kursi ini, namun mereka langsung menyingkir pergi seakan tidak mau dekat-dekat denganku.
Aku menghela napas sabar. Tidak usah dipikirkan. Ayo fokus ke pelajaran saja.
Masalahnya, aku tercatat sebagai murid baru di sini. Rata-rata yang lain sudah tahu semua yang diajarkan Madam Flya dan wanita itu tampaknya juga tidak berniat mengulang pelajaran dari nol hanya untukku.
"Kalian boleh terbang berpatroli seperti biasa. Jika kalian menemukan sesuatu, jangan ditunda dan segera melapor. Sekian."
"Siap, Madam!" seru murid-murid, menyambar sapu mereka sebelum meluncur gagah ke udara, mengelilingi akademi yang sangat luas.
Aku masih bergeming di kursi, bingung harus apa. Ikuti mereka? Tapi terbang menggunakan sapu jelas berbeda tekniknya dengan terbang yang biasa yang kulakukan. Sial! Aku sama sekali tidak dipedulikan di sini.
"Ketua kelas," panggil Madam Flya dingin, tanpa melihat ke arahku. "Urus Kala."
Seketika, seorang perempuan yang duduk di banjar terdepan mengerutkan kening. Jelas dia tak suka tugas itu. "Kenapa harus aku mengajari murid baru jelata itu?" gumamnya jengkel, namun tetap melangkah mendekatiku.
Clara-Ra adalah nama ketua kelas.
Di setiap region, penduduknya memiliki tradisi penamaan yang berbeda. Misal di Klan Druid, selalu mengulang dua inisial pertama: Kalaka. Di Klan Penyihir ada sedikit jeda sebelum pengulangan: Kala-La. Di Klan Peri yang paling merdeka, penduduknya bebas memberi nama sebagaimana seorang peri terbang bebas di langit. Lalu di Klan Gaiara, selalu ada nomor di belakang sesuai dengan berapa huruf yang ada dalam nama kita dan penambahan kata RA menjadi: Kala 4-Ra. Sementara itu di Klan Skadies, semua penduduknya diwajibkan memiliki inisial S pada namanya: Sekala.
Nah, untuk Klan Iblis, aku tidak tahu karena Ibu tidak banyak cerita tentang bangsa itu.
Kembali ke alur cerita. Clara mengajakku ke lapangan sambil terus menjaga jarak. Dia sangat berlebihan. Padahal aku bukan bom waktu. Tapi aku terlalu lelah berkomentar, jadi aku hanya diam mengikutinya.
Dia berhenti melangkah, berbalik dan menatapku sinis. "Dengar, aku tidak punya banyak waktu untukmu. Kau sudah punya sapu terbangmu, kan? Oh, tentu saja sudah. Akademi terlalu baik pada ikan teri."
Jadi aku ikan teri di matanya?
"Anggap sapu itu teman atau familiarmu dimana untuk saling mendukung, kalian akan melakukan bonding. Jika kau tak tahu arti istilah itu, lebih baik kembali ke hutan saja."
Aku tersenyum jengkel. "Aku tahu," kataku menahan rasa kesal. Kutatap sapu lidi yang tergeletak di tanah. "Sapu, ke sini."
Jangankan terbang mengikuti perintahku, bergerak semili saja tidak. Clara diam-diam menyunggingkan seringai puas. Moodnya disuruh Madam Flya mengajariku menghilang dan menikmati momen canggung ini.
Berapa kali aku mengulangnya, sapu itu tidak mau bergerak. Kenapa tidak bisa sih?
Clara meloncat anggun ke sapunya yang jinak, pamer bisa berdiri di udara. "Jangan memaksakan diri. Kau bisa melakukannya dengan santai. Kalau begitu aku pergi."
Gadis itu melenting pergi sebelum aku sempat bertanya. Sebegitu tidak maunya Clara berinteraksi dengan orang rendahan.
Tanganku terkepal. Akademi ini seru, tapi yang salah adalah para penyihirnya! Apa bagusnya gelar bangsawan itu?! Toh, kita takkan membawa harta ke alam mati!
"Kau pun sama!" bentakku ke sapu. "Kenapa kau tidak mau mendengarkanku?! Kau pikir aku membutuhkanmu, heh? Asal kau tahu, aku bisa terbang tanpa menaikimu!"
Aku sudah gila memarahi benda mati.
Di sela-sela aku melampiaskan kegeramanku, angin membawa suara tangisan membuatku tertegun. Aku berhenti mendumal, menoleh ke langit, mencoba mencari sumber suara.
"Kapan kau akan kembali? Aku tidak bisa menahannya lagi. Ini tidak ada akhirnya..."
Aku menelengkan kepala. Huh?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top