Bag 6. Akademi Sihir Sentral

"Kala, kau merasa ada yang aneh, kan?"

Aku mengangguk serius. Tiba-tiba diundang masuk ke akademi sihir? Itu tidak masuk akal. Kami baru saja tiba di ibukota, bahkan belum lama berkeliling. Dan kini tanpa peringatan, kami dijemput oleh ksatria yang mengatakan bahwa kami 'terpilih'. Terlebih kita membicarakan akademi sentral, bukan akademi cabang.

Ada empat kerajaan di Klan Penyihir.

Di barat, kerajaan Malam Keheningan, Baratab. Di timur, kerajaan Malam Purnama, Timoruru. Di selatan, kerajaan Malam Berbintang, Silitisin. Lalu di utara, kerajaan Malam Berkabut, Uatura.

Bersama-sama mereka menyokong ibukota yang sebenarnya bantuannya tidak begitu diperlukan karena ibukota independen. Mereka yang sibuk menjilat ke sana-sini.

Keempat kerajaan masing-masing memiliki sekolah sihir yang disebut akademi cabang, namun fasilitasnya tidak dapat dibandingkan dengan akademi sentral. Makanya banyak bangsawan cenderung mendaftar ke pusat daripada lokal. 

Wise sesekali mengintip ksatria yang diam seribu bahasa, fokus memegang tali pengikat. "Dia juga tak bicara apa pun dari tadi. Apa menurutmu ini jebakan?"

Aku menatapnya sebal. "Kau sadar ada yang ganjil, tapi kau pertama yang naik ke kereta. Maunya apa sih?"

"Y-ya, aku ingin coba naik kereta mewah. Naik kereta elegan begini mahal lho! Setara lima koin emas dimana kita bisa hidup dua tahun dengan uang segitu."

Sudahlah, capek ngomong sama Wise.

Aku melongok ke luar. Kesampingkan rasa curigaku pada kata 'terpilih' yang terdengar seperti tipu muslihat, kami sudah keluar dari wilayah pusat kota. Ksatria membawa kereta terus maju ke hamparan tanah lapang tak berujung.

Ini bukanlah arah yang kubayangkan menuju akademi bergengsi. Maksudku, lihatlah, tidak ada apa-apa di sini kecuali padang rumput. Aku mengharapkan jalan setapak yang indah, bukan sekadar hamparan rerumputan yang membosankan.

Kereta berhenti melaju. Saat kami bertanya-tanya dalam hati apa kami sudah sampai karena tidak ada gerbang atau bangunan di sekitar, si ksatria menatap ke depan seolah menanti sesuatu.

Tiba-tiba udara di sekitar kami bergetar bagaikan riak halus yang berdesir melalui angin. Perlahan-lahan sesuatu muncul di depan kami. Seperti tirai tak terlihat terangkat, dunia lain di balik selaput tebal mulai terungkap. Gerbang megah, tinggi menjulang, muncul dari kekosongan, dikelilingi oleh benteng yang sulit ditembus.

Aku dan Wise memandang takzim.

Sebuah istana besar dengan atap mengerucut berdiri di tengah-tengah lapangan super luas itu. Puluhan jendela tanpa kaca berbaris di sepanjang lorong. Ada banyak penyihir berseliweran di langit mengendarai sapu terbang.

Tidak hanya itu, terdapat empat menara mengelilingi akademi mengasosiasikan empat kerajaan. Menara-menara ini berbeda bentuk dan ukuran; ada yang ramping dengan kubah kristal di atasnya, ada juga berlapis-lapis seperti pagoda. Di puncaknya, terdapat bendera bergambar bunga. Menara satu bunga lavender, menara dua edelweiss, menara tiga bunga teratai, menara empat bunga gypsophila.

Ada danau kecil dengan permukaan air berkilau seperti perak cair. Kumpulan burung yang terbuat dari kertas bergerak selayaknya burung hidup, tengah mandi.

Pepohonan yang tumbuh di akademi amat berbeda dari pohon-pohon di hutan tempat tinggalku. Daun-daunnya bercahaya, batangnya berkelok seperti naga yang menjalar, dan beberapa di antaranya bahkan melayang tanpa menyentuh tanah.

Aku menelan ludah. Inikah akademi sentral? Selera mereka terlalu tinggi!

Setelah puas menikmati pemandangan menakjubkan dari akademi, momen itu terpotong saat ksatria yang kembali menggerakkan kereta. Suara gemerincing roda kereta mengingatkan kami bahwa perjalanan kami masih jauh.

Kereta melaju menuju gerbang. Di sana, di tepi jalan, berdiri seorang wanita lengkap dengan setelan jubah penyihir dan bordir perak. Rambutnya hitam meranggas, wajahnya terlihat meremehkan.

“Selamat datang di akademi sihir," sambutnya yang entah kenapa itu tidak terdengar tulus. Ada nada sarkasme dan dia tidak berniat menyembunyikannya.

Wanita itu mendekati kereta dengan langkah angkuh. "Aku Spica, pemandu kalian mulai dari sini. Sudah lama sekali akademi menerima murid jalur undangan," katanya, melirik kami sinis. "Betapa beruntungnya kalian. Meskipun sepertinya kalian tidak pantas berada di sini, aku akan mengantarmu untuk menjelajah."

Ya ampun, sambutan macam apa ini? Satu, kami juga tidak tahu bisa terpilih. Dua, memangnya kenapa kalau rakyat jelata diundang ke akademi berkelas? Mereka terlalu terdoktrin dengan status sangat berharga dibandingkan manusia.

Spica mengeluarkan sebuah prisma dari jubahnya. Bentuknya memanjang dengan permukaan yang memantulkan cahaya dalam spektrum warna-warni seolah ada pelangi terjebak di dalamnya.

"Sentuh ini," katanya, mengulurkan prisma tersebut ke arah kami dengan tatapan dingin. "Ini untuk mencatat biodata kalian ke sistem akademi. Kalian tidak perlu khawatir soal sihir atau apa pun. Kartu siswa kalian akan dibuat dari sini."

Aku mengangkat tangan. "Temanku tidak memiliki magia, apa dia bisa masuk?"

Spica memalingkan wajah. Ujung bibirnya terangkat seolah menahan tawa. "Tidak punya magia, ya? Sesuai yang diharapkan dari gelandangan," gumamnya mengejek.

Tanda jengkel berdenyut di keningku dan Wise. Dia sangat merendahkan kami! Spica juga tidak berusaha melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

"Oh, maafkan aku." Spica tersenyum palsu, pura-pura menyesal. "Akademi memiliki dua jurusan, sihir dan pedang. Temanmu bisa mengambil jurusan pedang."

Aku tidak mau berlama-lama dengan wanita ini. Jadi aku tanpa ragu menyentuh permukaan prisma itu. Begitu jari-jariku menyentuhnya, prisma menyala, sinarnya menembak ke udara. Cahaya itu bergerak cepat, membentuk kartu yang menuliskan namaku disertai lambang akademi. 

Setelah beberapa detik, prisma meredup, menjatuhkan kartu identitas yang selesai dibuat. Aku menerimanya, berbinar-binar melihat tanda pengenalku. Praktis sekali! Seperti memesan minuman dan sedetik kemudian pesananku sudah ada di tangan.

Wise menatapku yang kagum melihat kartu itu seakan aku baru saja mendapatkan mainan baru, tersenyum. "Sekarang giliranku," katanya sambil mengulurkan tangan untuk menyentuh prisma. "Meski aku sudah tidak punya magia, menjadi ksatria sepertinya bukan pilihan buruk."

Aku tidak terlalu memperhatikan Wise, masih fokus memelototi kartu siswa di tanganku. Kartu itu diukir dengan indah menggunakan bahan seperti kertas mewah, tapi ada satu hal yang membuatku mengernyit. "Permisi, Nona Spica, apa yang dimaksud dengan level di sini?"

Spica memutar matanya, terlihat jengkel karena aku mengajukan pertanyaan yang menurutnya sepele. "Level? Itu berarti seberapa berkualitas kalian di akademi ini. Semakin tinggi level kalian, semakin banyak fasilitas yang bisa kalian gunakan. Kelas yang lebih baik, akses ke mana saja termasuk perpustakaan rahasia, kamar yang nyaman, bahkan kalian juga dapat meminjam tongkat mahal. Tapi tentu saja itu tergantung pada kemampuan kalian."

Aku telah kebal dengan semua cemoohnya. "Bagaimana cara menaikkan level?"

"Dapatkan stempel dari guru mata sihir. Jangan bolos kelas atau membuat masalah. Itu saja. Sangat sederhana, bukan? Yah, mungkin sulit untuk kalian bertahan."

Arghh!! Kenapa dia sangat menyebalkan!

"Sudah, kan?" Spica mengambil prisma yang berhenti berkilau begitu kartu milik Wise selesai dengan kasar. "Kalau begitu simpan baik-baik. Di sini, kartu ID sangat berarti bagaikan nyawa kedua."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top