Bag 44. Penghukuman

Lagi-lagi, aku gagal melindungi.

Kedua kalinya, aku kehilangan temanku di depan mataku. Kenangan bersama Diadia berputar di benakku, senyum dan tawanya, kata-katanya yang tegar meski tersembunyi di balik topeng kebohongan. Aku mengulurkan tangan, memungut kalung itu dengan mata berair. Aku terlalu lelah untuk menangis.

Kalung yang dulu selalu dikenakannya kini terasa begitu berat di genggamanku, seolah menyimpan semua perasaannya yang tak sempat dia ungkapkan padaku.

Kenapa kau memilih jalan ini? Kalau kau mau beristirahat, bukan begini caranya. Kau sama saja dengan Encore. Egois, tidak memikirkan perasaan orang lain setelah ditinggal.

Baratab mendekati tepi platform dengan aura kemenangan, menghadap penduduk yang masih tercengang menyaksikan momen penghakiman itu. Dengan suara lantang, dia pun bertekad.

"Kita telah dibohongi selama sembilan abad oleh seorang manusia biasa, bahkan gadis penipu itu berhasil mengelabui Tuan Ultimatia yang agung. Meski demikian, kita tidak boleh terpuruk dalam kekecewaan ini. Kita harus bangkit. Karena kalau tidak, kita akan jadi target ramalan yang masih berlangsung.

"Ini saatnya kita bangkit sebagai negeri yang diperintah oleh tangan-tangan yang tidak takut untuk bertindak yaitu para raja! Kami akan mengambil alih kekuasaan dan menata kembali negeri ini seperti sedia kala. Kami akan membangun pemerintahan yang kokoh agar Tovenar tidak jatuh dalam kebohongan lagi.

"Sudah cukup kita dipermainkan! Yang negeri ini butuhkan bukanlah sosok shade yang tidak bisa diandalkan! Yang kita butuhkan adalah kekuatan nyata, kekuatan yang dipegang oleh mereka yang pantas dan berani mengambil risiko untuk melindungi tanah kita!"

Baratab mengangkat tangan ke kerumunan yang terpaku mendengarkan pidatonya. Tatapannya menyapu barisan penduduk, menanamkan rasa percaya diri dan keteguhan.

"Para raja dan bangsawan sejati, takkan pernah lari dari tanggung jawab. Kami akan membuktikan bahwa tanpa shade sekalipun, kita mampu berdiri gagap menghadapi segala ancaman. Bersama-sama, mari kita ubah Klan Penyihir menjadi harmonis dan makmur!"

Setelah Baratab menyelesaikan pidatonya, gemuruh sorak-sorai terdengar dari warga yang berkumpul. Beberapa bertepuk tangan dengan penuh semangat, seolah-olah mereka baru saja disadarkan oleh janji-janji manis untuk masa depan yang lebih baik. "Hidup para raja dan bangsawan!" seru mereka.

Aku mual melihat pemandangan ini. Betapa mudahnya mereka terbuai oleh janji-janji kosong yang manis di bibir. Semua ini hanya permainan, dengan kata-kata muluk yang mereka gunakan untuk merenggut kendali.

Seseorang baru saja mati dengan tidak adil, tapi mereka justru bersorak memuja para bangsawan layaknya dewa baru telah lahir seolah kematian Diadia tidak ada artinya.

Hatiku mencelus disesaki rasa dingin yang mengerikan. Dendam, marah, kebencian, semua perasaan itu bercampur aduk. Tanganku yang menggenggam kalung Diadia terkepal kuat. Aku menggigit bibir sampai berdarah supaya tak kelepasan naik ke platform dan mengamuk.

Namun tiba-tiba, kalung itu berkilau untuk sekilas membuat kemarahanku terjeda. Huh, apa itu barusan? Perasaanku saja?

Tunggu dulu. Kalau dipikir-pikir, dari mana Diadia mendapatkan artefak ini? Lalu kenapa dia begitu ngotot bilang dirinya adalah shade? Aku menelan ludah. Bagaimana jika... dia benar-benar ada hubungan dengan dewa?

Di saat aku meresapi pikiran itu, bandul bulan sabit pada kalungnya mendadak melenting ke atas seakan hidup. Dalam sekejap, cahaya putih menyilaukan seluruh lapangan, berubah menjadi bulan sabit terang raksasa yang menggantung dan bersinar secerah siang hari.

"Apa itu?! Terang sekali!"

Dari benda tersebut, sesosok wanita perlahan turun ke atas panggung, di depan Baratab yang membeku di tempat. Wanita itu anggun dan berwibawa, memiliki kesan dewata yang kental. Rambutnya hitam pekat terurai hingga punggung, telinganya meruncing seperti elf, simbol bulan sabit terukir di keningnya.

Tuan Magistrate seketika berbinar kaget saat mengenali aura familiar yang sudah lama tidak dia rasakan. Spontan berlutut padanya. "Beri hormat pada Yang Mulia Paijo!"

Baratab melongo. Shade yang asli muncul?

Aku hampir saja tertawa kencang melihat Baratab langsung bersikap manis, mengubah raut wajahnya penuh penyesalan dan berkata dengan nada sanjungan, "Sudah kuduga, Yang Mulia! Saya selalu tahu gadis itu jahat! Dia bahkan berani menyandera shade sejati!"

Paijo hanya menatap dingin Baratab. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya, mengalihkan pandangan ke Cocoon of Tacet yang merekah besar di langit, memblokir sinar rembulan yang menyinari Klan Penyihir.

Dalam keheningan yang menegangkan, Paijo mengarahkan tangan ke tacet, melakukan gerakan sederhana yaitu menggeser.

Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, tapi kekuatan yang dilepaskan luar biasa dahsyat. Dengan satu kibasan tangan, retakan itu mulai menyatu kembali dan menghilang dalam sekejap. Sampai bekasnya pun tidak ada.

Para hadirin terdiam menyaksikan kekuatan yang terpancar dari Sang Shade. Para raja dan bangsawan yang tadinya bersorak kini terbungkam, menyadari betapa kecilnya mereka di hadapan kekuasaan tertinggi.

Tapi Baratab masih belum selesai menjilat. Dia mendadak berseru, "Ya! Memang beginilah seharusnya kekuatan seorang shade perkasa. Untunglah kita mengeksekusi penipu itu. Kami berhasil membebaskan anda dari belenggu—"

"Diam dan bertekuk lutut."

Semua orang di sana termasuk para raja, bangsawan, rakyat, bahkan Tuan Magistrate, dipaksa bersujud tanpa bisa membuka mulut apalagi melawan. Hanya aku seorang yang tetap berdiri, tidak tersentuh oleh mantra itu.

"Seribu tahun lalu…" Paijo mulai bercerita membuatku berhenti tolah-toleh kebingungan. "Seorang Dewa Tanpa Nama telah mencuri cahaya matahari Klan Penyihir, menciptakan kegelapan abadi yang kita alami sekarang."

Aku gemetar. Dewa tak dikenal?

"Dewa itu jugalah yang memberi kutukan dan ramalan bulan akan jatuh. Saat satu-satunya penerang klan ini berhenti bersinar, Flawed akan naik ke permukaan. Membantai semua kehidupan di Tovenar. Sebagai shade, aku tentu tidak bisa membiarkan itu terjadi.

"Tidak peduli mantra apa pun yang kupakai, tidak ada satu pun yang berhasil mematahkan kutukan itu. Aku juga mengusulkan keempat shade menggabungkan kekuatan, tapi sia-sia. Kutukan itu justru menyebar bagai penyakit.

"Maka tak ada pilihan selain meminta bantuan pada Dewa Asfalis. Ini adalah batas kekuatan ilahi yang hanya bisa diselesaikan oleh seorang dewa juga. Namun sayangnya, ketika aku tiba di Sabaism, aku mendapati bahwa dewa kita telah meninggalkan dunia ini."

Semua orang terkesiap. Aku refleks menoleh ke Sabaism yang jauh di ujung langit. Sang Dewa menghilang dari istananya? Kenapa bisa?! Jadi selama ini Sabaism kosong melompong?

"Aku harus menemukannya untuk mengangkat kutukan ini, tapi aku tidak bisa meninggalkan negeriku begitu saja. Lihatlah, bahkan hanya lima tahun aku melakukan perjalanan, sistem pemerintahan tirani menguasai Tovenar.

"Aku membutuhkan seseorang yang polos, jujur, dan tidak mengincar kekuasaan. Seorang pengganti yang dapat mengatasi tugas berat ini. Dan bertemulah aku dengan Dadia Von Trinity, seorang manusia yang memenuhi semua kriteriaku. Aku meninggalkannya salah satu barang berharga milikku untuk berjaga-jaga jika sesuatu yang buruk terjadi padanya."

Aku menunduk, tersenyum pahit. Dadia Von Trinity... jadi itu nama aslimu, huh?

Paijo yang tenang kini emosinya membara. Rambutnya berkibar, matanya memancarkan kilatan amarah. "900 tahun lamanya anak itu memendam semua sakit hatinya. Dia menjaga dan tidak pernah menggunakan kalung itu agar tidak menghambat perjalananku. Dia begitu berdedikasi untuk menyelamatkan Klan Penyihir, dan kalian justru membunuhnya?!"

"Lalu kau," Paijo berbalik menatap tajam ke arah Tuan Magistrate. "Kau yang seharusnya menjaga para shade, malah ikut andil dalam pengeksekusian ini. Kalau saja bukan karena penghormatanku pada descender, kau sudah kubunuh detik ini juga. Aku tak membutuhkan naga tak berguna yang gampang terhasut."

Bulan sabit di dahi Paijo berpendar-pendar. Sayup-sayup terdengar suara getaran dari empat arah sekaligus. Aku menoleh dan melihat cahaya-cahaya berwarna ungu, putih, kuning, dan merah muda menembak ke langit, masing-masing mewakili kerajaan yang ada.

Empat simbol kerajaan: lavender, edelweis, teratai, dan gypsophila, berputar-putar di telapak tangan Paijo. Apa yang mau dia lakukan terhadap simbol-simbol bunga itu?

"Dulu aku sempat ragu, haruskah negeriku menggunakan sistem bangsawan untuk mengatur pemerintahan. Tapi sekarang tidak lagi. Mulai hari ini, tidak ada lagi bangsawan yang mengikat nasib Klan Penyihir pada status dan garis keturunan. Empat kerajaan akan kuhancurkan. Semua derajat setara."

Paijo mengepalkan tangan dengan tenang, namun dari jarak jauh terdengar gemuruh yang kian memekakkan telinga, seolah tanah turut beresonansi dengan perintahnya.

Baratab yang masih di bawah pengaruh mantra, meronta-ronta di tempat. Wajahnya memerah, frustasi, dan matanya menyiratkan rasa putus asa yang begitu dalam.

"Sebagai hukuman karena telah membunuh seseorang yang sangat penting bagiku, seluruh bangsawan sampai ke keturunannya akan kukutuk menjadi manusia biasa. Dan untuk Monsieur Magistrate de Ultimatia..."

Paijo menarik mantranya sesaat, menatap dingin Tuan Magistrate yang kelu.

"Aku mengusirmu dari Klan Penyihir."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top