Bag 41. Senyum yang Kurindukan
Aku kembali ke Asfalis. Sendirian. Tidak ada lagi bulan merah menggantung di langit. Tidak ada monster di sekitarku. Aku kembali di tempat semula kami ditelan cacophony.
Pikiran berputar, dihantui pertanyaan yang menyesakkan. Apa yang dipikirkan Encore? Mengapa dia hanya menyelamatkanku saja? Bukankah dia bisa saja memasangkan sayap ke Rinascita, Wise, dan dirinya sendiri, lalu kami melompat bersama seperti rencana? Atau jaraknya terlalu jauh dan dia tidak punya cukup tenaga untuk semuanya? Jadi gadis itu memilih memastikan setidaknya ada satu dari kami yang keluar hidup-hidup.
Aku menggertakkan gigi, menoleh ke tanda cacophony yang berkedip-kedip di tanah hendaklah menghilang. Benda itu seperti mengejekku karena aku telah gagal.
Emosiku memuncak. Tinjuku menghantam tanda itu tanpa henti. "Kembalikan aku ke sana! Kalaupun aku harus mati, setidaknya aku mati bersama teman-temanku!"
Tidak peduli berapa kali aku memukul dan menginjak tanda itu, tidak ada yang terjadi. Aku tidak bisa diteleportasi lagi karena aku sudah pernah dipindahkan ke sana.
"Kenapa, Encore...? Kenapa kau melakukan itu? KENAPA KAU MENGELUARKANKU?!"
Aku berseru putus asa, terus menghantam tanda tersebut. Kepalan tanganku mulai memerah dan kembali terluka. Darahnya menetes ke permukaan tanda. Tapi aku tak peduli. Aku memukul lagi dan lagi, sampai akhirnya cahaya merambat dari cacophony.
Itu bukan kabar baik, kabar buruk malahan. Tanda tersebut bersinar dan perlahan pecah menjadi serpihan-serpihan cahaya yang melayang ke udara dan menghilang.
Kekosongan menyebar di dadaku. Air mata mengalir tanpa ekspresi apa pun di wajahku. Aku hanya terduduk lemah, menangis dengan pandangan kosong, tenggelam dalam keheningan. Sendirian di tengah tempat yang tidak lagi berarti tanpa mereka.
"Kala sayang, jika kau ingin melindungi sesuatu yang berharga bagimu, kau harus melakukannya secara totalitas. Kalau hanya setengah hati, kau bisa kehilangannya lho."
Aku mengepalkan tangan, merasakan perih dari luka-luka yang kutorehkan sendiri. "Kenapa, Bu? Aku sudah mempertaruhkan semuanya... bahkan sampai melanggar perintahmu," suaraku pecah, serak dan lelah. "Aku melakukannya tanpa ragu, tapi kenapa aku tidak bisa melindungi mereka?"
Melindungi itu sebenarnya apa?
Air mataku mengalir deras. Kehampaan dan penyesalan merundungku. Rasa sesak tersendat di tenggorokanku. Kupikir perginya Ibu sudah menjadi kenangan buruk bagiku, ternyata ada yang lebih menyakitkan.
Aku menyeka air mata di pipi. Pandanganku buram, nyaris gelap seluruhnya, namun di dalam diriku muncul tekad baru. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Hanya satu orang yang bisa menyelamatkan mereka—Diadia.
Aku mencoba bangkit, namun rasa sakit di tubuhku seperti petir yang menyengat hingga ke tulang. Lututku bergetar hebat. Nyeri di mata kananku bertambah parah, memperburuk pusing yang mendera kepalaku.
Padahal aku tidak boleh istirahat sekarang. Aku harus ke akademi, meminta bantuan Diadia dan Tuan Magistrate lalu melaporkan perbuatan para raja. Mereka harus tahu soal itu. Tapi tubuhku menolak kerja sama...
"Aku menemukanmu, Bocah Pencuri."
Meski tubuhku terasa lumpuh, insting bertahan hidupku seketika bereaksi. Aku berhenti terisak, jantungku berdegup kencang. Tanpa melihat ke arah pemilik suara, aku tahu aku harus kabur dari sini.
Aku tidak pernah melupakan suara beratnya sejak pertama kali mendengarnya di hari kami mencoba kartu sayap milik Encore. Suara dingin yang mampu membekukan tulang bahkan didengar dari kejauhan.
Aku menelan ludah, memberanikan diri untuk menoleh demi mengetahui rupa sosok itu.
Sebelum sempurna kepalaku tertoleh, tangan kekarnya terjulur dan mencengkeram leherku, mengangkat tubuhku ke udara. Aku meronta, berusaha meloloskan diri. Tapi orang itu justru memperkuat genggamannya membuat napasku tersengal. Marah sekali.
"Sepuluh tahun..." desisnya menahan gejolak amarah yang membuncah, memancarkan aura kebencian yang menusuk relung hati. "Aku berkelana ke sana-sini selama sepuluh tahun seperti orang gila sambil menanggung hinaan dan cemooh dari klanku. Dan semua itu karena ulahmu, bocah keparat."
"S-siapa kau...? Aku tidak mengenalmu... Tolong lepaskan aku," lirihku tak berdaya. Spirit gauge kritis. Tenaga habis. Aku tidak bisa melakukan perlawanan apa pun.
Dia tergelak, tawa yang dingin dan penuh dendam. "Tak kenal? Setelah semua yang kau lakukan padaku, kau bilang tak kenal?! Jadi kau ingin berpura-pura tidak tahu tubuh yang kau pakai itu tubuh curian?"
Aku tertegun. Huh? Apa maksudnya?
Matanya menatapku berapi-api. "Suku Artifis... Kami tengah melakukan penelitian besar. Sebuah proyek rahasia; penciptaan tubuh manusia sempurna. Tubuh imitasi yang tak bisa dibedakan dari manusia asli. Namun, salah satu prototipe terpenting nomor 006 menghilang dari tabung. Dan siapa yang harus bertanggung jawab atas kegagalan itu? AKU! Aku dipecat! Ditertawakan! Hidup dalam caci maki selama sepuluh tahun!"
Ucapannya membuat kepalaku berdengung. Semangatku yang rapuh karena baru saja terpisah dengan teman-temanku menjadi hancur setelah mendengar pernyataannya.
Jadi tubuh ini bukan hadiah dari Ibu. Bukan pula wujud kasih sayangnya, melainkan hasil pencurian? Apakah bagi Ibu aku hanya kelinci percobaan untuk memastikan bahwa teknologinya berfungsi dengan baik? Inikah alasan Ibu melarangku memakai mode Finality karena siasatnya bisa terbongkar?
Sekali lagi, aku menangis. Kalau aku tahu memiliki hati manusia sesakit ini, lebih baik aku memilih menjadi spirit angin selamanya.
Tangannya yang terbungkus sarung tangan misterius bergerak mendekat, jari-jarinya terkepal kuat dengan niat yang mengancam. "Setiap prototipe diberi nomor barcode yang tertanam dalam jantung," ujarnya penuh kepastian. "Nama baikku akan pulih jika aku melaporkan berhasil menemukan 006."
Begitu saja, tangannya menembus dadaku saat aku masih dilanda kesedihan. Itu bukan sarung tangan biasa. Jelas tidak ada sarung tangan yang dapat menembus tubuh tanpa menciptakan lubang. Jemarinya meraba-raba jantungku seperti mencari sesuatu.
Aku berbinar-binar merasakan tangannya meremas jantungku seolah menyentuh balon. Si bedebah brengsek ini... apa dia sedang bermain-main dengan jantung seseorang?
"LEPASKAN! ITU MENYAKITKAN!"
Dia menghiraukan teriakanku, sibuk mencari. "Di mana kau, barcode? Di mana..."
Pandanganku memburam karena basah oleh air mata. Ini sakit. Apalagi ditambah dengan luka yang kudapatkan di dunia flawed. Adrenalin yang mengambil alih untuk mempertahankan kesadaranku telah habis.
Pria itu tampak bingung tidak menemukan apa yang dia cari. "Tidak ada...? Bagaimana mungkin barcode-nya tidak ada?!"
"Itu karena aku lah yang membuatnya."
Sebuah tebasan berbentuk lengkungan bulan sabit berwarna hijau jatuh dari langit—serangan terindah yang pernah kulihat. Tebasan itu melesat tepat dan memotong lengan pria tersebut, membuat tubuhku terlepas dari cengkeramannya. Dia berteriak kesakitan, sedangkan aku terjatuh dan disambut oleh pelukan yang familiar.
Siapa? Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena mataku kabur. Tapi entah kenapa pelukannya terasa hangat.
Dia tersenyum. Senyum yang kurindukan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top