Bag 4. Bukan Lady Biasa

Kami sudah berjalan selama dua jam. Staminaku diperas habis seperti jeruk. Kakiku mulai terasa berat, setiap langkah terasa lebih lambat. Sebenarnya aku bisa saja terbang, tapi... rasanya tidak adil kalau Wise harus terus jalan kaki sementara aku melayang santai di atasnya. Aku juga kurang kuat membawanya terbang.

Sungguh, ini di mana sih? Rasanya kami berputar-putar di tempat yang sama. Padang perdu luas membentang di depan mata, semak-semak tak berujung seperti menggoda kami untuk terus berjalan tanpa arah. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain hewan-hewan normal yang sibuk mengunyah rumput.

Kabar baiknya, kami masih di wilayah Klan Penyihir mengingat hari malam. Kabar buruknya, tidak ada perkampungan atau petualang berlalu-lalang sejauh ini. Padahal kota penyihir biasanya ramai dengan para petualang yang silih berganti melintasi jalurnya, menerima misi.

Sebentar. Kok sepi banget?

Aku menoleh ke Wise, separuh cemas dia pingsan karena kelelahan. Ternyata tidak. Dia sedang berdoa ke langit, tepatnya ke bangunan besar yang mengambang jauh di atas sana.

Sabaism. Rumah Dewa. Katedral terbang yang tidak bisa dicapai siapa pun kecuali orang dari golongan penting. Dilihat dari sini, itu tampak seperti pulau mengambang, bersinar layaknya bulan kedua. Ibu pernah bilang Sabaism terbuat dari berlian. Itulah mengapa ia berkilauan.

Sudah menjadi tradisi penduduk Asfalis berdoa pada Sabaism karena benda itu perantara manusia dengan dewa yang disembahnya. Aku terkadang juga melakukannya, mendoakan keselamatan Ibu di manapun dia berada.

"Omong-omong aku belum tahu namamu."

"Oh. Namaku Kala."

"Pufft!!!" Tawa Wise meledak, memegang perut saking lebaynya. "Kala? Nama macam apa itu! Feminim banget. Jangan-jangan kau cewek? Kau bahkan mengecat rambutmu. Lagi tren ya?"

"E-enak saja! Aku cowok tulen! Bukankah penampilan menjelaskan semuanya? Dan ini bukan dicat! Ini alami dari aku lahir!"

Tapi tawa Wise tersumpal demi mendengar suara ringkik kuda dari kejauhan. Aku tersentak kaget. Siapa? Penculik lagi? Perasaan kami sudah melarikan diri cukup jauh deh.

Aku dan Wise mengendap-endap menuju sumber suara. Suara kuda itu berubah menjadi jeritan manusia. Ya ampun! Apa dia dimakan kudanya sendiri? Kami mengintip dari balik semak belukar. Di sana, ada sebuah kereta mewah terparkir di depan hutan dengan tiga orang berpakaian hitam-hitam berdiri mengelilinginya.

"Apa yang sedang mereka lakukan?"

"Sst! Diamlah! Atau kita akan ketahuan."

Orang-orang itu menarik keluar sang penumpang dari kereta—seorang lady dengan rambut biru sebahu yang berkilap lembut di bawah cahaya bulan. Dia mengenakan jubah sederhana, bukan gaun mewah seperti yang biasanya dipakai bangsawan namun tetap tampak anggun. Jubah itu panjang, berwarna abu-abu pudar, mungkin untuk menyembunyikan identitasnya.

Aku dan Wise tidak bisa melepaskan pandangan, terutama Wise yang terpesona. "Cantiknya..."

Aku mendengus, merasa terganggu. "Cantikan ibuku lah. Rambut beliau putih panjang nyaris menyentuh lantai dan sehalus sutra dengan sedikit campuran warna hijau pohon. Apalagi sorot matanya hangat, penuh kebijaksanaan, kasih sayang, dan ketentraman. Kalau kau melihatnya langsung, kau pasti bakal melongo."

Wise spontan menatapku ngeri. "Kala kau... menderita oedipus kompleks?"

"Sembarangan! Bukan begitu maksudku!"

Wise tertawa pelan membuatku jengkel. Tapi sebelum aku bisa protes lebih jauh, suara dari arah kereta menarik perhatian kami kembali. Lady misterius itu sedang dipalak. Jelas sekali bahwa ini adalah perampokan. Anehnya, alih-alih terlihat ketakutan atau terancam, dia malah menghela napas lelah. Wajahnya datar. Sesekali dia memutar matanya seolah bosan.

"Pakai kereta lusuh, macet. Baru bisa sampai berhari-hari. Pakai kereta kencana, disergap bandit. Tidak bisakah aku berkelana sendirian barang sejenak?" monolognya muak.

Para bandit tidak peduli sama sekali dengan keluhannya. Salah satu dari mereka menekan bahunya dengan kasar. "Sudah, jangan banyak omong! Keluarkan semua uangmu!"

Lady itu mendesah panjang. "Aku tidak bawa banyak uang kali ini. Apa kereta itu masih tidak cukup memuaskan nafsu fana kalian?"

"Apa katamu, sialan?!" teriak salah satu bandit, mendadak emosi karena sikapnya yang kelewat santai. "Beraninya kau merendahkan kami!"

"Siapa yang merendahkan siapa?"

Dengan ketegangan yang semakin meningkat, lady itu tetap berdiri tenang. Sebaliknya, Wise mulai gelisah, merasa situasi ini bisa berakhir buruk. "Kita harus membantunya!" bisiknya panik, tersadarkan dari kekagumannya lantas menarik-narik lenganku. "Dia dalam bahaya!"

Aku menggeleng, masih kesal dia menuduhku yang tidak-tidak. "Ogah ah. Aku pikir dia baik-baik saja. Kalau dia memang bangsawan, pasti ada pengawal yang datang sebentar lagi."

Sebelum aku sempat mencegahnya, Wise sudah melompat keluar dari tempat persembunyian. "Hei! Lepaskan dia!" katanya lantang, berseru menunjukkan keberanian. Aslinya sih gugup.

Para bandit menoleh tajam ke arah Wise. Wajah mereka berkerut, terkejut dengan kehadiran anak kecil di hadapannya. "Siapa bocah ini? Berani sekali kau ikut campur. Pulang ke pelukan mamamu, bocah ingusan, sebelum kau benar-benar terlibat dalam masalah besar."

"T-tinggalkan dia sendiri! Temanku penyihir yang hebat lho! Apa kalian mau diubah jadi kodok?!" Tangannya gemetar menunjukku.

Aku manyun. Dia yang cari masalah, sekarang seenaknya mengopernya padaku. Mau tak mau aku terpaksa keluar dari semak-semak dengan berat hati. Perhatian mereka tertuju padaku.

Mereka saling tatap sebelum tertawa. Suaranya menggema di antara pepohonan. "Penyihir hebat katamu? Hahaha! Tapi bagaimana ya? Kami juga penyihir tuh!" Keduanya menjentikkan jari, menciptakan percikan api kecil di udara.

Wise tersentak dan buru-buru melompat ke belakangku. Ironis sekali, orang-orang seperti mereka bisa mewarisi genetika magia.

"Sudah cukup. Aku tidak mau melakukan ini, tapi tidak ada pilihan." Si Lady menengahi sebelum duel betulan terjadi. Dia melepaskan jubahnya, memperlihatkan pakaian formal akademi.

Tidak ada yang istimewa dengan penampilannya, kecuali kalung pompom dengan bandul bulan sabit perak melingkari lehernya. Entah mengapa, kedua bandit itu membeku seolah melihat malaikat maut. Dalam hitungan detik, mereka menempelkan kepala ke tanah, memohon ampun.

"M-maafkan kami, Yang Mulia! Kami tidak tahu siapa anda! Mengeksekusi kami saja takkan cukup! Tolong ampuni dosa kami!"

Aku terdiam, bingung dengan perubahan sikap para bandit itu. Apa yang terjadi? Tadi mereka begitu kasar dan sombong, namun sekarang seperti tikus ketakutan. Kusikut lengan Wise, namun dia menggeleng. Juga tidak tahu.

Lady ini sepertinya bukan bangsawan biasa.

Lihatlah, dia bahkan malas menanggapi permintaan maaf mereka, hanya mengibaskan tangannya untuk mengusir para bandit yang ketakutan. Setelah mereka kabur, dia pun mendekati kami dengan kalem. "Terima kasih sudah mau repot-repot mencoba menolongku."

Aku menggeleng. "Kami tidak melakukan—"

"Sama-sama," potong Wise, cengengesan.

Aku hampir saja menepuk dahi melihat tingkah Wise yang kampungan, tapi kutahan karena si lady bertanya. "Apa yang kalian lakukan di perbatasan? Mau bertandang ke klan lain?"

Aku mengernyit. "Perbatasan?"

"Yeah," jawabnya melirik sekitar. "Perbatasan antara Klan Penyihir dan Klan Peri. Kalian tersesat atau memang ada urusan di sini?"

"Ah, itu..." Aku menggaruk kepala. "Kami ingin ke ibukota untuk mendaftar ke akademi sihir."

"Ibukota, ya? Kebetulan sekali, aku muak jalan-jalan sendirian. Sebagai balas budi karena sudah berusaha membantuku, biar aku antar kalian ke sana. Aku pemandu yang terampil lho."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top