Bag 38. Tak Terhentikan Lagi

"Menurut kalian, kira-kira siapa yang memberi ramalan pada Klan Penyihir?"

Di tengah perjalanan kembali ke Ibu Kota, Encore menceletuk memecah keheningan. Terbang di atas hamparan hutan yang gelap diiringi angin dingin malam, percikan obrolan mungkin bisa menghidupkan suasana.

Itu juga telah menjadi pertanyaanku selama belajar di akademi. Kata Sinyi, ramalan tersebut sudah turun 993 tahun lalu. Kalau menilai dari gelagat para raja, mereka sekalipun tidak tahu makna dari ramalan.

Bukankah karena ingin tahu artinya mereka mendesak Diadia saat pesta di Court of Elders tempo lalu? Tapi sayangnya, Diadia adalah shade palsu (menurut mereka) yang tidak memiliki informasi apa pun.

Katakanlah jika Diadia benar-benar seorang penipu, aku yakin dia memiliki alasan kuat karena berani mempertaruhkan dirinya dalam sebuah sandiwara besar. Tidak sehari, seminggu, setahun, melainkan 900 tahun!

Tunggu, ada apa denganku? Apa aku sungguh terpengaruh karena perkataan mereka? Tidak mungkin Diadia pembohong...

Tiba-tiba aku teringat tentang bisikan putus asa seseorang yang pernah dibawa oleh angin. Benar juga. Siapa yang menangis dan mengadu kepada angin? Suaranya mirip dengan suara Diadia. Apa mungkin itu dia?

Pikiranku berputar-putar dalam keraguan dan kebingungan yang tak kunjung reda. Hingga tanpa kusadari Encore berseru dari belakang sana. "Eh, ada apa ini??"

Aku, Wise (nebeng denganku), dan Rinascita spontan menoleh. Sapu Encore bergetar dan bergerak tak stabil di bawah genggamannya seperti terhuyung-huyung. Jatuh-bangun.

"Kenapa dengan sapumu?" tanya Wise.

"Mana kutahu! Sapuku jarang sekali rewel."

Aku mengamati sekitar, mencari tanda-tanda yang mungkin menjadi penyebab gangguan ini. Hutan di bawah kami tampak tenang, hanya dihiasi cahaya rembulan samar yang menyusup di antara pepohonan. Jadi di mana masalahnya? Sinyi baik-baik saja tuh.

Belum sempat kami menyimpulkan apa pun, dengungan aneh datang dari sebelah kanan, tempat Rinascita terbang. Aku menoleh dan melihat sapu Rinascita juga mulai bergetar hebat membuatnya sedikit terguncang. Dia memegang erat batangnya agar tidak jatuh.

"Astaga! Sapuku juga bertindak aneh!" serunya panik, berusaha mempertahankan keseimbangan. "Apa yang terjadi di sini?"

Tanpa pikir panjang, aku menyuruh yang lain segera memperlambat laju terbang untuk menghindari risiko. Siapa tahu berikutnya adalah Sinyi. Terbang dengan sapu yang tak terkendali seperti ini bisa berbahaya.

Saat kami melayang di udara, menenangkan sapu masing-masing, embusan angin menerpa kami dan hutan di bawah. Daun-daun rontok, ranting-ranting bergetar. Angin ini bukan hanya dingin tapi juga terasa berat dan menusuk, seolah ada tekanan tak terlihat menyertai tiap embusannya. Angin kencang menerjang, memaksa kami mencengkeram sapu lebih erat agar tidak terhempas.

Ada yang salah dengan angin ini! Entah kenapa, rasanya seperti aku sedang tercekik. Dan yang paling aneh, aku tidak bisa mendengar 'suara' mereka sama sekali.

Biasanya, angin selalu membisikkan sesuatu kepadaku. Entah kabar dari jauh atau sekadar embusan lembut yang tenang. Tapi kali ini, hanya ada kehampaan. Sunyi. Bisu. Angin ini bukanlah angin yang kutahu.

Selagi aku masih memikirkan apa yang harus kami lakukan—tetap maju menembus angin aneh ini atau turun dan menunggu badai reda. Sebelum sempat memutuskan, sapu Encore kehilangan kendali dan akhirnya terjatuh bersama pengendaranya. Disusul oleh Wise yang melompat dari sapuku secara impulsif untuk menyelamatkannya.

“Dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?!” seruku, tak percaya dengan keberaniannya. Dia pikir kami sedang di ketinggian berapa.

Aku merogoh jubah, mengeluarkan tongkat. Tetapi... kosong? Ah, benar juga! Tongkatku disita oleh Esok. Tapi aku tidak punya waktu memikirkan hal itu sebab sapu Rinascita dan sapuku kehilangan tenaga secara serentak.

Kami ditarik gravitasi lantas menukik turun dengan cepat. Sensasi jatuh yang ngeri yang membuat kami berteriak gamang.

"UWAAA!!! KALA, LAKUKAN SESUATU!!!"

Teriakan Wise menggema dalam kepalaku, membawaku kembali ke momen serupa. Aku mengalami deja vu kedua kalinya, saat aku dan Wise melompat kabur dari pabrik budak tanpa tahu tempat itu ternyata menara seratus lantai. Sensasi jatuhnya mirip!

Mantra... aku butuh mantra melayang.

Aku berusaha keras mengingat mantra itu, sesuatu yang seharusnya otomatis kupakai dalam situasi darurat seperti sekarang. Tapi kepalaku kosong. Semua pengetahuan itu terhapus seperkian detik. Dalam kepanikan, puluhan mantra menghilang dari benak.

"Ahhh!! Aku tak bisa memikirkan apa pun!"

"Kau penyihir atau bukan?! Aku benci kau!!"

Encore mendesah pendek—dia yang paling tenang walaupun sedang jatuh. Dia menutup mata, berkonsentrasi sejenak. Lalu di detik berikutnya, Encore membuka matanya kembali. Tanda kupu-kupu itu berdetak.

Sayap-sayap transparan muncul di punggung kami berempat, berkepak kencang dan melawan tarikan gravitasi. Menahan kami dari benturan maut. Begitu kami menginjak tanah dengan aman, sayap-sayap itu lenyap.

Ah, aku selalu lupa Encore itu peri.

"Terima kasih, En," kataku menggaruk pipi, berdeham mengusir kecanggungan.

Encore berkacak pinggang. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu padaku, namun raut wajahnya berubah malas. Enggan berbicara lebih jauh. Apa dia terlalu lelah denganku yang jadi dongo tiap kali panik?

“H-hei...” Suara Rinascita terdengar tercekat, mata bulatnya terfokus ke atas, tangannya terangkat sedikit, seolah ingin memastikan apa yang dilihatnya itu benar. “Apa ada yang salah dengan mataku atau memang ada benda aneh di bulan?”

Wise menggeleng. "Tidak, kurasa matamu baik-baik saja karena aku juga melihatnya."

Aku dan Encore ikut mendongak.

Di langit yang semula terang oleh cahaya bulan, muncul sesuatu yang ganjil. Langit seakan terkoyak. Cocoon of Tacet, retakan seperti tanda tambah panjang, dalam skala besar terbentuk di sana. Bagaikan cermin pecah, retakan itu bertambah lebar.

"Apakah... apakah ini pertanda kedua dari ramalan?" Encore mendesis cemas.

Wise mengusap kasar wajahnya. "Ini tidak terhentikan lagi. Ramalannya benar-benar akan segera terjadi dalam waktu dekat."

Tubuh Rinascita membeku. "Kalau begitu, tacet raksasa itu akan menumpahkan ribuan monster Flawed ke Klan Penyihir?"

Di saat mereka bertiga terperdaya oleh tacet yang menggantung di langit, aku berhenti mendongak, menatap sekeliling. Apa? Angin dingin yang menerpa kami tadi, berhenti berembus. Menghilang tiba-tiba.

Anehnya, udara di sekitar kami terasa tidak enak. Tidak menyegarkan. Semacam ada kekosongan dan ketegangan yang terjeda. Firasatku jelek. Di sini terlalu hening!

"Lari... Lari... Cepat lari..."

Huh? Aku celingak-celinguk. Karena aku bisa mendengar suara mereka, berarti ini angin normal. Tapi kenapa mereka menyuruhku lari? Apa ada sesuatu yang mendekat ke arah kami, sesuatu yang berbahaya? Apa pun itu, aku tidak boleh mengabaikannya.

"Err, teman-teman... sebaiknya kita pergi deh. Ada yang tidak beres di sini—"

Kalimatku terpotong. Mataku membulat melihat sesuatu yang mengerikan di bawah kami. Cocoon of Cacophony muncul tanpa peringatan, muncul dengan instan.

Kami berempat saling tatap sebelum akhirnya tersedot ke dalamnya, ditarik oleh kekuatan yang cepat dan tak kasatmata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top