Bag 36. Seorang Penipu

Mereka ingin menggulingkan takhta Diadia? Apa mereka sudah tak waras? Yang mereka hadapi adalah Sang Shade, pecahan jiwa descender. Bukan sembarangan orang. Belum lagi ada seekor naga di sisinya.

Sebagai keturunan dewa, level kekuatannya jelas di puncak ilmu sihir. Mengingat Diadia adalah Shade of Flora, maka dia punya kendali penuh atas alam di klan ini. Diadia tidak perlu memanggil bantuan. Alam hidup bersamanya, siap menghancurkan musuh.

"Apa pun yang kau pikirkan sekarang, kau salah besar, Nak." Baratab berkata.

"Kalian gila! Beraliansi untuk membelot. Kau pikir Diadia akan diam saja melihat para raja brengsek mengacak-acak negerinya?"

"Wahai! Bukankah sudah kubilang, apa pun yang kau pikirkan saat ini adalah kekeliruan? Pernahkah kau melihat bocah itu menggunakan kekuatannya?"

"Bocah? Siapa yang kalian maksud?"

Seakan menangkap kebingunganku, Baratab melanjutkan dengan intonasi nada dingin. "Biar kubawa kau ke cerita masa lalu, Nak. Klan Penyihir adalah dunia bangsawan. Selama bertahun-tahun, kami hidup dengan hirarki yang ketat. Kekuatan di tangan kaum ningrat, sedangkan rakyat jelata... ya, mereka hanya bisa melihat dari bawah.

Aku menahan napas. Jangan bilang...

"Itu telah berlangsung selama lima tahun," lanjutnya, matanya berkaca-kaca dengan kebencian dan nostalgia. "Lalu Sang Descender datang dan dunia kami berubah. Dia merusak pemerintahan, menyetarakan derajat bangsawan dan rakyat jelata. Itu menghina garis keturunan darah biru."

"Kau..., kau ingin mengembalikan kekuasaan lama dimana bangsawan memerintah?"

Baratab tersenyum miring. "Sesuai dugaan, kau cepat tanggap. Begitulah. Tidak ada yang lebih hina daripada disamakan dengan serangga rendahan yang kotor."

"Kalian mau menantang keturunan dewa—"

"Diadia Von Tovenar bukanlah sosok shade sejati!" potong Uatura jijik. "Klan Penyihir seharusnya dipimpin oleh kaum kami yang mulia, bukan dibiarkan tunduk oleh perintah seorang penipu yang hanya bisa berlindung di bawah Tuan Magistrate."

"Hah? Penipu? Apa yang kalian bicarakan?"

Uatura menyipitkan mata, seolah mengejek kebodohanku. "Apa kau pernah melihatnya melakukan sihir? Atau pernahkah kau melihatnya terbang memakai sapu?"

"Tentu saja Diadia pernah—"

Kata-kataku menggantung di udara. Aku mengerutkan kening, berusaha mengingat. Seingatku, Diadia memang tidak pernah memamerkan kekuatannya. Untuk hal-hal sederhana seperti perjalanan pulang-pergi ke Court of Elders dan akademi, dia selalu menunggu Tuan Magistrate menjemputnya. Dia juga pernah bilang takut naik sapu terbang karena takut ketinggian.

Aku menenangkan pikiran. Bukankah merasa takut itu merupakan hal wajar? Bagaimanapun penyihir tetaplah manusia.

Tunggu, tunggu. Apa yang sebenarnya sedang kulakukan? Apakah aku hanya mencoba mencari-cari alasan untuk membenarkan sikap Diadia? Mungkin saja dia tidak suka pamer kekuatan, kan?

Silitisin tertawa lebar, menyadari keraguan yang muncul di wajahku. "Lihat, bahkan anak ini mulai ragu. Wahai, apa yang kami katakan bukan sekadar tuduhan kosong. Jika Nona Diadia benar-benar seorang Shade asli, mengapa dia tidak pernah menunjukkan kekuatan sejatinya?"

Aku mengepalkan tangan, menepis pikiran negatif. "Lalu bagaimana dengan Tuan Magistrate? Beliau pelayan descender dan telah melayaninya selama 900 tahun! Kalian pikir beliau akan membiarkan kalian?"

Timoruru bersedekap, senyum respek tersirat di wajahnya. "Tuan Magistrate de Ultimatia... tidak diragukan lagi adalah pelayan setia Sang Descender. Kekuatan dan pengabdiannya selama berabad-abad sudah kami saksikan sendiri. Tidak ada seorang pun di klan ini yang meragukan dedikasinya pada keturunan dewa. Termasuk para raja. Kami sekali pun tak berani menentangnya.

"Namun, Tuan Magistrate hanya menjalani tugas yang ditinggalkan oleh descender yaitu menjaga para shade. Bagaimana jadinya jika dia tahu, orang yang dia jaga selama ini hanyalah seorang penipu? Apa kau bisa membayangkan kemarahannya?"

Baratab menambahkan, "Jika kami mampu menunjukkan bukti bahwa Nona Diadia bukan shade asli, bahwa dia berpura-pura memainkan peran shade untuk berkuasa dan mendapatkan perlindungan naga, maka beliau takkan lagi terikat pada sumpahnya. Tuan Magistrate akan berpihak pada kami yang memberinya sebuah kebenaran."

Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir keraguan yang menyusup ke pikiranku.

Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Diadia bukan seorang pembohong. Untuk apa dia berpura-pura menjadi shade? Peran sepenting itu bukanlah sesuatu yang bisa dimainkan begitu saja. Diadia sudah hidup dengan gelad itu selama 900 tahun. Kenapa seseorang mempertaruhkan dirinya dalam kebohongan sebesar itu? Terlalu berbahaya!

Namun, entah bagaimana, kata-kata para raja tadi—tentang bagaimana Diadia tidak pernah menunjukkan kehebatannya, selalu menghindari tugas yang melibatkan kekuatan magis—semuanya terdengar masuk akal dalam sudut pandang mereka. Diadia selalu berada di balik bayang-bayang Tuan Magistrate, seolah kehadirannya cukup menjadi bukti tanpa perlu tindakan.

"Itulah sebabnya kami memerlukan Pedang Kejujuran." Baratab berkata lagi. "Sebuah relik langka yang sudah lama tidak terdengar di generasi sekarang. Begitu Nona Diadia dipaksa bersumpah di bawah pedang itu, kedoknya akan tersingkap."

Aku mendengus kesal. "Dengan menculik murid-murid? Anggaplah tujuan kalian mengungkapkan kebenaran, setelah Tuan Magistrate mengetahui penjara budak ini, beliau akan berbalik menghukum kalian."

Baratab menyunggingkan senyuman licik. "Kau kira kami tidak menyiapkan antisipasi? Bukankah kau sudah melihatnya sendiri saat kau kabur dengan pemuda berambut merah? Para tawanan telah didoktrin bahwa kami adalah penyelamat mereka dari bencana ramalan yang akan datang."

Rambut merah? Maksudnya Wise?

"BRENGSEK! APA YANG KAU LAKUKAN PADA TEMANKU? DI MANA DIA?! DI MANA?!!"

Aku memberontak sekali lagi, meronta lebih keras, berusaha menarik tubuhku yang terkunci dalam rantai. Tangan dan pergelangan tanganku terasa sangat sakit akibat usaha sia-sia itu. Tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan marahku.

"Jangan khawatir." Baratab membuka sarung yang membungkus pisau di tangannya, menyeringai. "Kau akan segera menyusulnya. Menjadi manusia biasa."

"T-tunggu, apa yang mau kau lakukan??"

Baratab tidak menjawab. Dengan gerakan cepat, dia menyingsingkan bajuku. Sebelum aku sempat berteriak, pisau itu sudah menyentuh kulitku. Rasa sakit menjalar saat dia menggoreskan luka panjang, membuat darahku mulai mengalir deras.

Darahku menetes ke meja altar, merah pekat menodai permukaannya, lalu Baratab sedikit membungkuk dengan santai dan menampungnya ke alat segitiga tersebut.

"Dengan begini," katanya sambil menatap darahku yang terperangkap di dalamnya. "Teknologi penyedot magia ini akan aktif. Maka semua kekuatanmu akan diserap, membuatmu menjadi manusia biasa."

Baratab memutarnya sebanyak tiga kali lantas meletakkannya ke atas dadaku. Benda itu mengeluarkan suara klik-klik keras seperti menghitung mundur. Mata di tengah-tengahnya terlihat hendak terbuka.

"Ucapkan selamat tinggal pada kekuatanmu, Nak," katanya menyeringai penuh kemenangan. Pergi tanpa menoleh karena merasa tugasnya sudah selesai.

Tiga raja lainnya mengikuti, meninggalkan aku sendirian dalam keadaan terikat.

"TUNGGU! JANGAN PERGI KALIAN!" teriakku dengan suara serak, kehilangan tenaga karena darah terus merembes keluar. Aku tidak lagi merasakan keberadaan mereka. Pintu ruangan itu sudah tertutup.

Tik tok, tik tok, tik tok...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top