Bag 35. Rencana Mengudeta
Aku mengerjap pelan. Kepalaku berat, pusing. Pandanganku berkunang-kunang, kabur seakan dipenuhi oleh kabut tebal. Lusa sialan, mantra penidur jenis apa yang dia gunakan? Dormeo? Atau mungkin yang lebih kuat lagi, Somnolus Luxora? Dia tidak tahu apa, mantra itu tidak baik digunakan ke manusia karena efek sampingnya yang membuat target lemas beberapa hari.
Ketika pandanganku perlahan jelas dan kesadaranku pulih sedikit demi sedikit, aku mendapati suasana yang familiar. Menara batu, aroma pengap dan lembap yang tak asing, hawa dingin menembus kulit.
Tempat ini adalah penjara budak.
"Tidak..., kenapa aku kembali ke sini?" lirihku mencoba menenangkan diri, meskipun perasaan panik telah menyeruak.
Saat menggerakkan tangan yang kaku dan perih, bunyi gemerincing logam terdengar bergema nyaring. Akhirnya aku menyadari posisiku. Tangan dan kakiku dirantai. Aku terkunci di atas meja altar persembahan.
Kucoba memanggil Sinyi dan melafalkan mantra apa pun, namun tidak ada yang terjadi. Sepertinya borgol ini dilapisi rune segel yang memblokir sihirku.
Apa kubilang? Jadi penyihir tidak selalu menyenangkan. Sekali bertemu item yang bisa menyegel magia, mereka tak berguna.
Sial, deja vu ini begitu kental. Terkurung tanpa terlihatnya jalan keluar, seperti yang pernah kualami di episode dua. Bedanya sekarang aku dirantai, persamaannya aku dibohongi dan diculik. Semua seperti pengulangan mimpi buruk yang kubenci.
Nah, sekarang bagusnya bagaimana?
Masuk ke mode spirit dan meninggalkan tubuh manusiaku untuk mencari petunjuk? Ogah ah, itu ide buruk. Bagaimana kalau mereka melakukan sesuatu pada badanku? Ibu sudah susah payah membuatnya.
"Oh, kau sudah bangun."
Suara Esok menyusup. Aku menoleh sedikit, melihat gadis itu bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Kalau saja aku punya stamina, kalau saja aku tidak dirantai, aku sudah membentak atau melemparinya dengan sesuatu. Tapi karena efek mantra adiknya, aku hanya bisa diam. Mengumpat sepuasnya dalam hati.
"Kenapa diam? Kau marah?"
Astaga, apa dia serius? Teman yang kau kira bisa dipercaya ternyata penculik yang diam-diam menangkap murid-murid untuk diserahkan ke pihak lain dan dia bertanya: kau marah? Tidak, aku penuh rasa syukur dan ingin mengucapkan terima kasih, sialan!
Esok mendekat, menatapku dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Maaf ya. Kurasa Lusa sedikit berlebihan. Tapi itu harus dilakukan untuk penyihir sekelas dirimu."
Aku mendengus lemah. "Oh, jadi kau mengakuiku sebagai penyihir berkelas."
Esok mengangkat bahu. "Tentu saja. Hanya orang bodoh yang tidak menyadarinya. Kau mungkin bukan bangsawan, tapi magia yang mengalir dalam dirimu sangat jernih... berbeda dari penyihir pada umumnya."
Ucapannya sejenak membuatku terdiam. Bukan karena pujian itu, tapi karena kesadaran bahwa mereka sudah lama mengamatiku, menganalisis kekuatanku. Semua ini bukan kebetulan. Aku bukan target acak, melainkan sasaran yang sudah mereka perhitungkan matang-matang.
Tapi kabar baiknya, kelihatannya mereka tidak tahu aku spirit angin. Mereka hanya mengira aku punya magia yang istimewa.
"Itulah kenapa Lusa tidak mau mengambil risiko dan menggunakan mantra terkuat. Kita tidak ingin kau melakukan sesuatu yang merepotkan," lanjutnya datar.
Kata-katanya menegaskan jika mereka sangat siap menghadapi apa pun, termasuk kemungkinan aku melawan. Semakin jelas bagiku bahwa mereka sudah memikirkan setiap langkah dengan hati-hati, seolah aku memang ancaman yang harus dikendalikan.
"Enyahlah," usirku, sudah malas dengannya.
Esok menundukkan kepala. "Kalau saja situasinya baik, kuharap kita bisa berteman lagi. Kau teman yang menyenangkan."
"Selera humormu sangat buruk, Esok."
"Percayalah, Kala, ini semua demi masa depan Klan Penyihir. Kami tidak akan melukaimu. Kami hanya butuh magia-mu."
"Bedakan definisi kebutuhan dan mencuri."
Tiba-tiba, suara langkah kaki memecah ketegangan. Empat sosok pria berjubah muncul dari balik bayang-bayang, wajah mereka tersembunyi di balik tudung jubah. Padahal mereka tidak perlu repot-repot melakukannya karena aku sudah tahu.
Seringaian sinis muncul di wajahku. "Ini mereka, para bintang utamanya."
Pria pertama membuka tudungnya. Dia menatap Esok yang membungkuk hormat. "Terima kasih atas kerja kerasmu."
"Kembali, Yang Mulia Baratab," ucapnya sebelum menghilang dari ruangan itu.
Baratab melangkah maju ke meja altar, menatapku dingin. Jeda beberapa menit di antara kami sebelum dia membuka mulut dan bicara. "Aku sudah memperhatikanmu sejak kau lolos dari sini dan diundang ke akademi. Magia milikmu sangat spesial yang akan menggenapkan rencana kami."
Rencana? Apa yang dia katakan?
Pria kedua yang tak lain tak bukan Raja Timoruru, turut membuka tudungnya. "Aku benci mengakuinya, tapi aku senang bocah itu membawa emas ke sini."
Raja Silitisin, pria ketiga yang berdiri sambil bersedekap, mengamatiku dengan tatapan skeptis. Mendengus. "Kau yakin anak ini bisa melengkapinya? Dia hanya rakyat biasa."
Lalu pria terakhir, Raja Uatura, menghela napas panjang. "Kesampingkan kejijikanmu pada rakjat jelata. Kau tahu peraturan Haberit of Oath. Asal ada yang bisa mempercepat rencana, mau bangsawan atau warga kumuh, mereka aset berguna."
Sial, padahal aku hanya menebak-nebak. Tapi ternyata itu akurat! Keempat raja memang beraliansi dan bersekongkol membangun penjara ini! Haberit of Oath itu adalah lambang perjanjian mereka.
"Lepaskan aku, raja-raja brengsek!"
Emosiku pecah karena mereka berbicara seolah aku barang dagangan hingga aku dapat bergerak agresif berkat adrenalin. Denting rantai mengisi yang mengikatku mengisi ruangan persembahan. Pergelangan tanganku semakin memerah.
"Berhentilah memberontak. Kau hanya melukai diri sendiri," kata Baratab dingin, melangkah ke sisi kanan meja lalu menoleh ke Timoruru. "Berikan benda itu."
Dia mengangguk. Menyodorkan pisau.
Baratab memegang pisau itu dengan mata menerawang. "Tidak semua sihir itu bersifat cahaya. Ada sebagian terjerumus ke sifat gelap. Bukankah hidup tanpa magia adalah kebebasan yang sebenarnya?"
"A-apa yang mau kau lakukan?"
Baratab tidak menjawab, mengeluarkan sebuah alat aneh berbentuk segitiga dari balik jubah sebesar kepalan tangan pria dewasa. Alat itu terbuat dari logam gelap yang mengkilap dengan sudut-sudut tajam dan garis-garis halus membentang di permukaannya. Di tengah lapisan segitiga, terdapat sebuah mata tertutup.
"Ini adalah alat untuk menyedot sihir. Kau pasti sudah mengetahuinya," jelasnya tenang. "Dengan ini, kami dapat menarik magia yang ada dalam dirimu, Kala."
Jadi itukah teknologi buatan Klan Gaiara?
Aku menggelengkan kepala, mengusir rasa takut. "Sebenarnya kenapa kau mengambil magia para penyihir? Kenapa?!"
"Pertanyaannya bukan kenapa, tapi apa alasannya." Silitisin yang menjawab. "Kami berencana akan menggulirkan sistem pemerintah yang berlangsung saat ini dan mengembalikannya ke semula."
Mataku membulat. "Apa katamu..."
"Kami hendak mengudeta Paijo."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top