Bag 32. Desakan

Aku sudah tahu kalau Dadia bukan tokoh sembarangan di akademi, namun aku tidak menyangka akan jadi begitu jalan ceritanya. Seharusnya aku sadar ketika dia menyebut 'negeriku' saat berselisih dengan Raja Baratab, tapi aku malah fokus pada tato kamboja.

Sekarang semuanya masuk akal. Soal siapa yang mengundang kami ke Court of Elders, siapa yang mengizinkan aku dan Wise sekolah di sini—itu karena Dadia, maksudnya Diadia! Orang dalam yang membantu kami diam-diam.

Aku melirik ke arah Wise yang syok, lalu ke Encore yang tampak sama terkejutnya. 

"Astaga! Jadi selama ini kalian berteman dengan Yang Mulia Paijo?" Harmoniel memecah keheningan yang berat, menoleh. "Eh, kenapa malah kalian yang terlihat lebih kaget?!"

Rinascita menelan ludah, tak kalah bingung. "Shade of Flora memang aktif mengurus negara, tapi hanya para petinggi yang pernah melihat wajahnya. Dia jarang muncul di depan publik. Ini kali pertama aku melihat rupanya, dan ternyata dia… Dadia? Sulit dipercaya."

Lucunya, Tuan Magistrate tahu hal itu, namun hanya membiarkannya terjadi. Mengingatnya sekali lagi membuatku malu. Mungkin Dadia, Diadia, Yang Mulia Paijo, atau apa pun lah namanya, menyembunyikan identitas karena ingin hidup bebas di lingkungan masyarakat.

Sementara itu, di hadapan kami, para raja terlibat percakapan serius dan tampak semakin sengit. Raja Silitisin menatap Diadia dengan ekspresi khawatir yang sulit disembunyikan.

"Yang Mulia, ramalan kian menunjukkan pertanda. Apakah anda sudah memikirkan jalan keluar atau setidaknya apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi bencana ini?"

Diadia menghela napas, menyandarkan diri sejenak seolah merenung dalam-dalam. Aku bisa melihat betapa seriusnya dia memikirkan kata-kata tepat, membangun sebuah narasi yang bisa menenangkan kekhawatiran.

"Kalian benar, pertanda-pertanda itu semakin sering bermunculan dan kita harus siap. Tentu saja," dia berdeham kecil, memberikan kesan mantap, "aku sudah mengatur langkah-langkah pencegahan. Sebuah jalan keluar... ya, aku tengah mempersiapkannya. Segalanya masih terkendali. Hanya, aku belum bisa mengatakan secara gamblang karena itu belum selesai."

Raja Timoruru mendesah. Sorot matanya tajam, mengamati Diadia dengan penuh selidik. Wajahnya memperlihatkan tanda-tanda kelelahan dan ketidaksabaran yang mulai sulit ditutupi. "Di pertemuan terakhir,” ujarnya dengan nada mengandung sedikit protes, "anda juga berkata demikian. Sebenarnya apa yang anda rencanakan? Monsieur Ultimatia..."

"Monsieur Magistrate tidak ada hubungannya dengan rencana yang sedang kurancang," potong Diadia tegas. "Ada banyak hal yang memang perlu dijaga kerahasiaannya."

Suasana di istana Court of Elders menegang saat para raja saling bertukar pandang, seolah telah sepakat tanpa bicara bahwa jawaban Diadia sangat jauh dari memuaskan.

Raja Uatura turut melangkah maju. "Rencana? Yang saya lihat anda berkeliaran di akademi."

Diadia tetap tenang, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. "Melihat pertumbuhan para penyihir muda juga bagian dari tugasku," ujarnya mantap, seolah kata-katanya tak bisa disangkal. "Kita membutuhkan generasi penerus yang kuat, terlebih dalam menghadapi situasi yang mungkin tidak terduga."

Raja Baratab yang dari tadi diam menyimak, memutuskan ikut andil dalam pendesakan ini. Raut wajahnya datar tapi suaranya dingin.

"Yang Mulia Paijo, berkali-kali anda berbicara tentang persiapan di setiap kali pertemuan para dewan, tapi tak ada satu pun dari kami tahu rincian rencana anda. Apa anda sungguh memiliki rencana melawan ramalan atau ini sekadar janji yang digantung? Bagaimana kami bisa yakin bahwa anda bukan menunda waktu?"

Diadia tidak segera menjawab. Sorot matanya memindai wajah para raja satu per satu, seolah berharap menemukan celah untuk berkelit. Tapi, jelas kali ini mereka tidak akan mengalah karena seluruh keluarga bangsawan ada di sini. Tengah menonton. Tekanan dari mereka terasa seperti beban yang tak terhindarkan membuat Diadia kehilangan alur untuk menghindar.

Encore berbisik, "Aku khawatir padanya."

"Kenapa mereka terus mendesaknya? Dipikir jadi pemimpin itu gampang?" decak Wise.

Aku tidak menanggapi. Pandanganku masih tertuju pada Diadia yang susah payah menjaga sikap profesional. Setiap gerak dan perubahan ekspresi mengartikan ketidaknyamanan.

Raja Baratab kembali membuka mulut. Dia yang paling tajam auranya. "Atau setidaknya anda memiliki petunjuk tentang ramalan."

Diadia menatapnya intens. "Maksudmu?"

"Ayolah, Yang Mulia, bulan tidak akan jatuh secara harfiah. Jika itu terjadi, Sang Dewa tentu akan bertindak," katanya dengan nada sinis yang tersembunyi di balik formalitas. "Ramalan ini jelas hanya sebuah kiasan. Arti sejati dari 'bulan akan segera jatuh', saya rasa anda lebih paham soal ini. Bukan begitu?"

Tangan Diadia terkepal. Aku semakin kesulitan membaca ekspresinya karena jarak, terpaksa menyelip ke sana-sini untuk mendekat.

"Oh, anda juga tidak tahu?" Raja Baratab tidak memberi ruang untuk Diadia berpikir. "Kalau begitu saya ganti pertanyaan. Apakah anda sudah menemukan siapa yang memberikan Klan Penyihir ramalan itu 993 tahun lalu?"

Diadia menunduk. Satu tangannya terangkat dan menyentuh kalung yang tergantung di lehernya, seolah mencari ketenangan.  Saat itulah Tuan Magistrate yang hanya diam sedari awal, memecah ketegangan di aula besar.

"Cukup," perintahnya.

Hanya satu kata, tapi mampu membuat seluruh hall terasa disapu angin dingin yang berembus entah dari mana. Semua hening. Desiran angin yang entah nyata atau tidak itu membuat para raja menahan napas, menoleh ke arah Tuan Magistrate yang menatap tajam Raja Baratab.

"Tunjukkan rasa hormatmu pada Shade. Jika kau bertingkah di luar batas, itu akan melanggar aturan, Raja Baratab," ucapnya dengan nada rendah namun penuh peringatan. Suaranya bagai gemuruh badai yang tertahan.

Beliau tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Saya bersikap keras begini karena Nona Diadia tak kunjung memberi kepastian," balasnya senantiasa protes walau sorot matanya tidak setajam tadi. Sedikit melunak.

Tuan Magistrate menanggapi dengan nada yang sama tenangnya. "Yang Mulia Diadia memang menyiapkan sesuatu. Beberapa bulan lalu, dia melakukan perjalanan seorang diri ke perbatasan. Tanpa pemberitahuan pada saya."

Perbatasan? Seketika ingatan itu kembali di benakku. Bukankah itu saat kereta yang ditumpangi Diadia disergap oleh bandit, di mana kami bertemu untuk pertama kalinya? Kejadian yang kuanggap kebetulan, ternyata lebih dari sekadar perjalanan biasa.

Diadia bersedekap, mengernyit tidak suka. "Kau membuntutiku? Sungguh tidak sopan. Kau seharusnya menghormati privasiku."

"Mohon maaf atas ketidaksopanan saya, namun saya sudah ditugaskan untuk membantu anda sebelum anda menjadi Shade. Keberadaan saya bukan hanya untuk membantu melainkan juga melindungi para pecahan jiwa Sang Descender."

Setelah Tuan Magistrate mengambil alih acara, atmosfer tegang perlahan mencair berkatnya. Pesta pun dilanjutkan. Tawa dan percakapan kembali mengisinya halaman. Tapi tatapanku tidak lepas dari keempat raja yang saling berkumpul mengambil gelas berisi wine mahal.

Aku menangkap gerakan Raja Timoruru. Pergelangan tangannya terbuka oleh embusan angin barusan menampakkan tato bunga kamboja yang mirip dengan milik Raja Baratab.

Aku sangat benci berpikir negatif.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top