Bag 29. Surat Undangan

Kartu sayap buatan Encore dirancang hanya aktif selama sepuluh menit. Menyadari waktu penggunaannya menipis, kami saling memberi tanda untuk menurunkan kecepatan lantas meluncur turun kembali ke taman akademi.

Begitu mencapai rumput, kami mendarat bersamaan, dan sayap-sayap itu memudar menjadi pecahan cahaya tepat ketika kaki kami menyentuh tanah. Menguap ke udara.

"Sepuluh menit yang luar biasa," ujar Wise.

Dadia mengangguk semangat, masih terpesona dengan pengalaman terbang yang baru saja dialaminya. Aku hanya tersenyum, puas melihat betapa berartinya momen itu bagi kami.

Tapi senyumku berubah ambyar karena teringat perasaan aneh tadi. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, namun aku merasa tidak aman. Perasaan ganjil itu membuatku merinding seolah mencengkeramku dari jauh.

Encore memperhatikanku. "Ada yang salah, Kal? Dari tadi kau lebih banyak diam."

Aku menggeleng, mencoba menepis kegelisahan yang tak beralasan itu. "Tidak, hanya... mungkin terlalu banyak terbang membuat kepalaku pusing," balasku, berusaha tersenyum. Lebih baik kupendam saja. Aku tidak mau membuat mereka mengkhawatirkan hal tidak perlu setelah kami baru saja bersenang-senang.

Wise tiba-tiba menepuk dahi, teringat sesuatu. "Oh ya, Dadia! Bukannya tadi kau bilang mau memberikan sesuatu pada kami?"

Encore bersedekap. "Kan kau yang memotong. Kenapa malah kau yang tampak kaget?"

Dadia tertawa. Sepertinya dia juga sudah lupa karena terbawa suasana. Gadis itu merogoh kantong jubahnya lalu mengeluarkan tiga amplop berwarna biru laut dengan desain mencolok, dihiasi dengan cetakan pola emas dan pita satin merah tua. Menyodorkannya ke kami.

Aku memegang surat undangan itu, merasakan tekstur kertas yang halus dan berkualitas. Wise dan Encore juga menatap penasaran undangan mereka, beraksen emas. Tulisan di atas amplop mencantumkan nama kami masing-masing, ditulis dengan gaya tulisan tangan yang elegan.

"Ini... apa?" Encore bertanya, tak mampu menyembunyikan rasa ingin tahunya.

"Itu surat. Anak kecil pun tahu," cibir Wise mengolok-olok. Sebagai balasan, sebuah tamparan kasih sayang mendarat di pipinya.

Aku menatap malas dua temanku itu.

"Itu undangan ke Court of Elders!" jawab Dadia dengan lantang membuat kami spontan bertransformasi jadi patung. "Minggu depan, empat raja dan keluarga bangsawan dari empat kerajaan akan mengadakan acara besar. Semua tokoh penting di Klan Penyihir akan hadir. Tuan Ulti hendak menyampaikan sesuatu... terkait ramalan bulan akan jatuh."

Wise membuka amplopnya, membaca isinya dengan mata berbinar. "Ini... benar-benar undangan resmi dari Master Ulti? Kita akan berada di antara mereka yang berpengaruh?"

Encore, yang biasanya tenang, bahkan terlihat sedikit tertegun. "Dadia... ini sungguhan? Maksudku, kami hanya rakyat biasa. Rasanya aneh mengingat kami bukan siapa-siapa."

Aku sepakat dengan keraguan Encore. Entah kenapa aku merasa deja vu, mengingatkan pada saat aku dan Wise tiba-tiba diundang ke akademi sihir padahal bukan bangsawan. Apa di luar dugaan, kami diam-diam memiliki intel?

Dadia mengangguk lagi, kali ini dengan wajah serius. "Tentu saja! Kalian teman-temanku. Aku ingin kalian juga bisa menyaksikan sesuatu yang spesial seperti datang ke Court of Elders, tempat terhormat. Selain itu," tambahnya pelan sambil tersenyum, "kupikir kalian pantas mendapatkan pengalaman seperti ini."

"Oh..." Wise dan Encore terenyuh mendengar pernyataan itu. Dengan semangat mereka melompat dan memeluknya. "Kami juga senang berteman denganmu! Kita sahabat selamanya!"

"Hahaha! Kalian ada-ada saja."

Melihat kebahagiaan itu, aku ikut tersenyum. Tidak sia-sia aku ke Ibu Kota Tovenar. Tapi ketika mereka berbalik menatapku dengan sorot marah harapan, mengundangku untuk bergabung. "Kenapa diam saja? Ayo ikut, Kala!"

Aku mengernyit. Berpelukan dan berputar seperti anak kecil sungguh menggelikan. Itu melukai harga diriku. "Tidak, terima kasih."

Mendengar jawabanku yang mengecewakan, mereka serempak mengacungkan jempol ke bawah sambil mencibir lucu. Aku tertawa kecil tidak tersinggung oleh reaksi mereka.

"Tapi... kalau kita akan ke tempat tinggal Yang Mulia Paijo dan semua bangsawan dari keempat kerajaan ikut serta, berarti kita tidak boleh berpakaian biasa, kan?" celetuk Wise, menyebut masalah baru. Kekhawatiran di wajahnya membuat kami terdiam sejenak, menyadari satu hal yang luput dari pikiran.

Wise benar. Kami butuh pakaian yang sesuai, yang sederajat. Tampil seadanya di hadapan para bangsawan bukan hanya membuat kami tampak buruk, tapi bisa merusak reputasi.

Aku mendesah kecewa. "Baju berenda lebay seperti itu kan mahal. Satu setel saja setara dengan sepuluh tahun hidup tanpa kerja."

Encore mengangguk setuju, tatapan matanya kosong menerawang seolah membayangkan pengeluaran yang tidak terjangkau. "Belum lagi aksesorisnya," ucapnya menggigit bibir, merasa berat hanya dengan memikirkan totalnya.

"Sepertinya kami bisa membantu."

Aku menoleh dan melihat dua sosok berdiri di sana. Harmoniel dengan senyum mantap dan Rinascita dengan lambaian kecil kepadaku.

"Oh, kalian rupanya!" seru Wise, langsung memasang gaya berlebihan. Dengan gerakan dramatis, dia menjatuhkan satu lutut di depan Harmoniel, seperti pangeran yang hendak meminta tangan seorang putri. "Malam festival waktu itu begitu memukau berkat anugerahmu yang tidak ternilai, Nona Harmo-"

Aku dan Encore serempak melempar sepatu ke kepalanya. "Ini bukan waktunya drama!"

Harmoniel melangkah maju, senyum jahil tersungging di bibirnya. "Tidak heran mengapa kalian dapat undangan. Kalian bertiga sangat aktif belajar di akademi dan membasmi tacet."

Aku, Wise, dan Encore saling tatap.

"Jadi masalahnya adalah pakaian, ya? Jangan khawatir. Kami punya akses ke toko pakaian terkenal di kalangan bangsawan, bahkan Rina sampai bersedia lho memanggil penjahit langganannya untuk membantu kalian."

Kepalaku tertoleh ke Rinascita. "Benarkah? Aduh, padahal kau tidak perlu repot-repot." Dia sudah sangat banyak membantuku. Aku tidak ingin terus membebaninya.

"B-bukan masalah besar. Ini urusan sepele," katanya terbata, menghindari tatapanku.

Aku tersenyum. "Terima kasih ya!"

Tiba-tiba, KABOOM!, seolah ada yang meledak dalam diri Rinascita. Mukanya memerah. Dia langsung kabur terbirit-birit menuju kereta kuda yang terparkir tidak jauh dari kami.

"Huh? Ada apa dengannya??"

Harmoniel mengangkat bahu, senyum nakal di wajahnya menunjukkan betapa senangnya melihat keadaan temannya. "Apa ini kali pertamamu melihat seorang gadis kasmaran?"

Aku menyikut lengan Wise, menuntut penjelasan, namun dia juga mengedikkan bahu. "Kau masih terlalu kecil untuk tahu."

"Pokoknya," Harmoniel memotong, "kita akan menentukan hari untuk mengurus pakaian. Acaranya akan dilaksanakan senin depan. Bagaimana kalau kita menyiapkan semua yang dirasa perlu pada hari rabu? Dua hari lagi?"

"Setuju!" Kami menjawab serempak.

Tiba-tiba Encore mengangkat tangan. "Masih ada satu yang membuatku penasaran, kenapa bangsawan sepertimu membantu rakjat jelata? Kau tidak enek pada kami? Rina dulu juga begitu lho, sebelum dia naksir ke Kala."

"Naksir?" Aku mengernyit. Apalagi itu...

Harmoniel diam sesaat, mendongak menatap bulan yang menggantung di langit. "Ramalan akan segera terjadi. Ini bukan waktunya mempedulikan status sosial. Gelar tidak bisa dibawa ke dunia orang mati, kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top