Bag 27. Seven of Swords
Ini kali pertama aku mengikuti kelas Pemahaman Relik & Artefak yang dipimpin oleh Master Rylith. Tadinya aku mau ke kelas ramuan untuk mempelajari ramuan baru, namun kejadian kemarin membuatku penasaran dan terus bertanya-tanya.
Kalung antik yang dikenakan Dadia, sebenarnya itu apa sampai dia bilang tidak boleh melepaskannya? Mungkin aku bisa menemukan jawabannya di kelas ini.
"Permisi...," Aku membuka pintu sepelan mungkin agar tidak mengganggu pelajaran.
Murid-murid di dalam kelas termasuk Master Rylith menatapku sekilas, kemudian memutar mata malas sebelum kembali menerangkan materi. Sesuai dugaan, para bangsawan masih membenci petani. Dipikir beras bisa muncul begitu saja apa.
Ada perbedaan kentara antara padi yang ditanam oleh petani dan padi imitasi yang diciptakan oleh sihir: kurang bergizi. Aku curiga, tinggiku tidak naik karena dulu aku makan apa saja yang ada di hutan.
Sebentar, kenapa aku jadi membahas itu?
Aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran yang berkelana, beranjak duduk di salah satu bangku barisan belakang. Suara Master Rylith terdengar samar-samar karena pikiranku tak sepenuhnya fokus.
Kenapa kalung itu begitu penting bagi Dadia? Sampai-sampai dia bilang tidak boleh melepaskannya, seolah itu adalah bagian dari hidupnya. Apa mungkin kalung itu semacam jimat pelindung? Atau ada rahasia lain yang tersembunyi di dalamnya?
Yang menggangguku adalah gumamannya.
Huh? Aku menajamkan pandangan. Di meja depan, terlihat Esok dan Lusa sedang mengisengi seorang cowok yang tampak melotot kesal. Mereka menyingkirkan buku dan alat tulisnya dari meja, tertawa kecil seolah menikmati kekesalan cowok itu.
Aku menatap Master Rylith. Dia sepertinya terlalu sibuk dengan penjelasannya untuk memperhatikan keributan kecil itu.
"Lagi-lagi mereka sok akrab," hardik gadis di depan mejaku, menatap tidak suka ke arah si kembar. Dia menopang dagu dengan ekspresi jengkel. "Tahu mereka datang, aku takkan mengambil kelas hari ini."
"Eh, memangnya mereka kenapa?"
Aku menutup mulut yang keceplosan. Aduh! Murid dari kalangan rendah seenaknya bertanya pada bangsawan, dia pasti enek.
Di luar dugaan, gadis itu melirikku datar, menghela napas sebelum kembali memandang lurus ke depan. "Apa kau dekat dengan si kembar munafik itu? Kusarankan jangan terlalu terikat dengan mereka."
Aku mengerjap. "Kenapa begitu?"
Setahuku, tidak ada alasan menjauhi Esok dan Lusa mengingat mereka orang yang friendly tanpa memandang status.
Gadis itu mendengus. "Kau benar-benar tertipu dengan sifat mereka. Selain gapil, si kembar sialan itu pemilih dalam mencari teman. Tidak peduli bangsawan atau rakyat jelata, mereka hanya mengekori seseorang dengan level tinggi. Kalau levelmu rendah, mereka bahkan tidak akan melirikmu."
"Kau lihat cowok yang mereka ganggu itu? Namanya Daon-On, Penyihir Tarot. Dia mampu menguasa mantra kelas Lanjut dan levelnya 300. Si kembar terus mengikutinya karena tahu Daon penyihir yang kuat."
Aku menelan ludah. Sulit mempercayai apa yang dia katakan. Jika iya, kenapa Esok repot-repot bersikap baik padaku? Padahal levelku tidak setinggi itu. Antara mereka tahu aku menguasai mantra tingkat Suci...
... atau tahu aku bukan sekadar penyihir.
Master Rylith masih terus berbicara di depan kelas. "Ketahuilah, relik dan artefak itu berbeda. Relik bisa dibuat oleh siapa pun asal tahu formulanya, sedangkan artefak tidak bisa sembarangan diciptakan."
Seorang murid perempuan di meja nomor 13 mengangkat tangan. "Apakah Pedang Kejujuran termasuk relik, Master?"
Master Rylith mengangkat alis, sedikit terkejut. "Menarik sekali. Sudah lama tidak mendengar nama benda itu. Menurutmu, itu termasuk relik atau artefak, Nona?"
Lupakan dulu tentang Esok dan Lusa. Aku memperhatikan percakapan mereka, tertarik. Pedang Kejujuran? Apa itu pedang yang memaksa membuat orang jujur?
Dia berpikir sejenak. "Hmmm... mungkin artefak? Ia punya kekuatan khusus, kan?"
Pria itu menggelengkan kepala dan jarinya. "Tenot! Salah. Pedang Kejujuran adalah relik alias bisa ditempa. Membutuhkan seribu magia berkualitas untuk membentuk benda ini. Meski dikatakan pedang yang dapat membuat seseorang berbicara jujur jika berdiri di bawahnya, sebenarnya ini adalah artefak yang sangat berbahaya."
"Eh? Berbahaya dari mananya?"
Master Rylith melanjutkan, "Ada dua yang membuat artefak ini berbahaya. Satu, menyedot magia penyihir sampai tidak bisa pulih atau bisa dikatakan magia kita dicuri. Dan yang kedua, tak hanya memaksa suatu kebenaran, benda ini dapat membunuh target jika mendeteksi kebohongan kecil. Selama kita berada di bawahnya, kita tidak bisa bergerak atau berpikir untuk kabur."
Mataku membulat. Apa? Bukankah itu sama saja dengan senjata pembunuhan. Hanya orang gila yang mau menciptakan...
Tiba-tiba aku teringat penjara budak.
🌙🌙🌙
Kelas berakhir dengan suasana aneh. Aku bahkan sampai lupa menanyakan tentang kalung Dadia karena terpaku sepenuhnya dengan penjelasan soal Pedang Kejujuran.
Ini hanya dugaan kasarku. Apa mungkin penjara budak didirikan dengan tujuan membangun artefak tersebut? Tapi untuk apa? Kata Master Rylith, itu tidak bisa menyerang dan mengontrol seseorang. Benar-benar hanya untuk pengakuan.
"Hei, kau!" panggil seseorang. "Si warga biasa dengan rambut corak hijau mint."
Huh? Aku menoleh dan mendapati Daon berdiri di depanku, ekspresinya datar. Apa yang dia inginkan? Mau mencari perkara?
Dengan gerakan cepat, Daon mengulurkan tangannya dan memberikanku sebuah kartu tarot bergambar Seven of Swords. "Ada kebohongan di dekatmu. Hati-hati ya," ucapnya melambaikan tangan dan pergi.
Hah??? Apa-apaan itu barusan? Kenapa dia memberikan kartunya padaku? Apa dia baru saja meramal untukku? Aneh banget.
Mengedikkan bahu, aku menyimpan kartu tarot itu di saku dan bergegas menuju kelas ramuan. Siapa tahu Reason datang kali ini.
Tapi setibanya, lagi-lagi batang hidung Reason tidak terlihat. Aku bertanya pada ketua kelas yang sebal melihatku, namun dia bilang Reason masih absen dengan nada sinis. Aku pun mendatangi kelas yang sering didatangi Saran, gadis itu juga sudah tidak masuk kelas manapun berminggu-minggu.
Sebenarnya mereka berdua ada di mana? Apa mereka benar-benar sudah menghilang karena tak sengaja menginjak cacophony?
"Apa kau sudah mendengarnya?"
Aku berhenti melangkah tak menentu, menoleh. Angin membawa bisikan kumpulan staf yang menyusuri lorong sekolah.
"Kudengar Nyonya Spica menghilang kemarin. Cocoon of Cacophony terbuka saat dia hendak menyambut murid baru dari Kerajaan Timoruru. Mengerikan, bukan?"
Eh... Spica menghilang? Entahlah aku harus berkomentar seperti apa. Hatiku terasa gundah, bingung, cemas. Campur aduk.
"Ramalannya mendekat, namun Yang Mulia Paijo masih tidak melakukan apa pun untuk negerinya. Apa dia juga kewalahan mencari cara menanggulangi ramalan ini?"
Sebuah bayangan melintasiku, menarik perhatian dari bisikan-bisikan yang dibawa oleh embusan angin. Aku mendongak dan melihat Sabaism, Rumah Dewa yang Agung, tengah berpatroli di langit malam.
Tanganku terkepal. Sebenarnya siapa yang memberikan ramalan pada klan ini...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top