Bag 26. Malam Tanpa Awan

Walaupun hari tetap malam, tanpa adanya awan satupun, langit tampak jernih. Mungkin terasa aneh karena bulan terasa dekat, namun setidaknya satu-satunya penerang Klan Penyihir itu masih bersinar.

Ibu Kota Tovenar sesak oleh warga lokal dan warga dari wilayah lain yang jauh. Lampion-lampion diterbangkan untuk menambah semaraknya festival, sedangkan lentera warna-warni menghiasi setiap sudut jalan untuk memberikan kehangatan.

Di sekitar kami, para pedagang memenuhi alun-alun dengan berteriak menawarkan barang dagangan yang beraneka ragam. Aku tidak tertarik dengan ramuan yang dielu-elukan langka, lebih tertarik dengan kumpulan kue manis berbentuk bulan, bintang, dan matahari yang membuat air liurku nyaris menetes. Aroma manis, gurih, serta rempah-rempah bercampur di udara.

Aku bingung harus mulai dari yang mana. Semuanya terlihat enak dan lezat.

"Hei!" Wise menyikutku yang ngacir ke stan permen apel. "Kenapa kau mengajaknya sih?" bisiknya menunjuk Rinascita yang ikut bersama Dadia dan Encore ke stan mainan.

Aku mengedikkan bahu, lanjut ke kedai sebelah untuk membeli sate daging. "Tidak tega. Lagian bukankah itu pemandangan bagus? Siapa tahu Rina minta maaf atas perbuatannya pada En selama ini."

Kepalaku tolah-toleh. Ke mana lagi ya? Aku ingin memanjakan perutku sepuasnya.

"Seriuslah sedikit. Bukankah kita ke sini untuk mencari informasi tentang ramalan dan Haberit ot Oath..." Kalimatnya terhenti melihatku sudah melompat ke kedai lainnya, membeli puding dan kue cokelat. Tanda jengkel membesar di keningnya, berderap cepat dan menjitak kepalaku. "Ini bukan waktunya untuk makan, dasar rakus!"

"Oh, ayolah! Ini festival pertama yang kuikuti dan aku ingin menikmatinya. Juga, semua makanan di sini enak-enak. Aku tidak bisa mengendalikan nafsuku."

Dadia tiba-tiba muncul dari kerumunan. Wajahnya bersinar semangat. "Kalian di sini! Aku mencari kalian dari tadi. Ayo ikut denganku. Di sana ada kontes bakat."

Tanpa menunggu jawaban, Dadia melesat mendahului kami. Aku dan Wise saling tatap sebelum akhirnya mengikuti langkahnya.

Kami tiba di sebuah panggung yang ramai oleh orang-orang berjubah glamor. Tidak perlu berpikir lama untuk menyadari itu adalah area para bangsawan. Tapi karena ini Ibu Kota, status tidak berlaku di sini. Di antaranya, aku menemukan seseorang berambut pink mencolok. Memakai tudung.

"Kenapa kau memakai kerudung segala?" celetukku berdiri di samping Encore dengan mimik wajah tak memungkinkan.

"Kau tahu alasannya," jawabnya.

Sedangkan Wise sudah mulai berulah. Matanya berubah jadi emot cinta begitu melihat Rinascita berdiri dengan seorang penyihir berambut pirang mengombak, masing-masing menyilangkan tongkatnya.

"Dia Harmoniel Lyra Sonata, putri dari Kerajaan Uatura. Kudengar dia Penyihir Nada, salah satu atribut unik." Encore menjelaskan singkat sambil meminum jus.

Rinascita menoleh kepadaku, tersentak. Aku melambaikan tangan. Karena aku terlanjur penasaran pertunjukan apa yang mau mereka berikan, aku akan menontonnya.

Melodi indah mengalun. Tapi dari melodi tersebut, setiap nada menciptakan visual magis di udara: burung-burung cahaya yang berterbangan, bintang-bintang kecil yang berputar-putar, nada doremifasollasi melompat-lompat di udara, dan gugusan kelopak bunga sakura menari-nari.

Aku menyaksikan tanpa berkedip. Astaga, betapa luar biasanya keindahan ini. Kukira aku sudah menguasai banyak mantra, tapi ternyata ada mantra yang begitu cantik. Kalau ada waktu, aku ingin mempelajarinya.

"Terpesona, ya?" Encore tersenyum jahil.

Aku balas menyeringai. "Hahaha, kau sendiri juga terpukau. Apa di Klan Peri tidak ada festival menakjubkan seperti ini?"

"Entahlah..." Mata Encore menerawang dan senyumnya berubah pahit. "Sudah lama sekali Klan Peri merayakan festival yang dipenuhi tawa dan keindahan murni."

Aku terdiam sejenak, merasakan getir di suaranya. "En, jika kau punya kesempatan, apa kau ingin kembali ke Klan Peri?"

Encore menatapku lalu tersenyum. "Suatu hari nanti. Tapi untuk saat ini, aku mau menikmati kebebasanku di sini bersama kalian. Lagian aku punya guru di sana yang sangat jago merajut sayap padahal tidak memiliki karunia Art of Wings. Dia sangat tampan, lebih tampan darimu dan Wise."

"Oh ya? Sebegitu tampannya?"

"Benar!" jawab Encore menggebu-gebu. "Namanya Alkaran. Kalau suatu saat kau bertemu dengannya, tolong bantu dia ya. Pria itu sangat baik pada orang asing."

Alkaran, huh? Nama yang keren.

Percakapan kami terputus ketika tiba giliran Rinascita untuk tampil. Dengan sisa mantra Harmoniel yang memeriahkan pelataran festival, dia menambahnya dengan memanggil pelangi tujuh warna yang melengkung diikuti dengan puluhan gelembung-gelembung berisikan awan.

"Apa ini?" Dadia menyentuh salah satu gelembung yang terbang ke dekatnya.

Tidak hanya dia, para penonton juga melakukannya. Benda itu meletus lantas awan di dalamnya keluar, membesar, empuk, dan bisa dinaiki. Ini seperti sapu terbang versi awan. Tanpa berlama-lama, mereka segera mencobanya. Menaiki awan untuk mengitari Ibu Kota dengan mengikuti jalur pelangi yang diciptakan Rinascita.

"Aku tidak bisa menahannya lagi."

Encore menarik tangan Dadia untuk naik ke atas awan, kemudian awan terbang mereka meluncur ke jalur spiral. Melihatnya dari bawah seperti menyaksikan kereta awan. Sedangkan Wise tidak menduduki awannya, malah berseluncur. Bertanding dengan sesama pengendara awan terbang lainnya.

Rinascita mendekatiku saat aku meletuskan awan untukku. "Bagaimana menurutmu mantraku?" tanyanya malu-malu.

Dia mau apresiasi, ya? Aku mengacungkan jempol. "Itu keren. Kau membuat wahana menarik. Semua orang tampak senang bisa naik awan dan meluncur di pelangi."

"Bagaimana denganmu? Apa kau suka?"

Aku mengangguk. "Ini mantra yang unik seperti milik Nona Harmoniel."

"Tentu saja!" sahut pemilik nama mengibas rambut panjangnya. "Penyihir Nada dan Penyihir Pelangi merupakan atribut langka. Tidak hanya berguna untuk membuat pemandangan, dua kekuatan ini juga bukan main-main di arena pertarungan. Sebut saja mereka berdua adalah tukang buffer."

Aku mengerjap. "Benarkah? Aku baru-"

Terdengar teriakan dari alun-alun. Kami bertiga menoleh. Itu suara Dadia! Sepertinya dia sudah turun dari awannya. Apakah Cocoon of Tacet terbuka? Atau parahnya malah cacophony yang aktif.

"Apa yang terjadi di bawah sana?"

"Kita langsung pindah saja."

Harmoniel menyebutkan mantra teleportasi dan kami menghilang dalam hitungan detik. Itu adalah teleportasi paling nyaman yang pernah kurasakan. Sihir milik bangsawan memang punya kualitas mengagumkan.

Sesampainya, Wise dan beberapa pedagang yang berada di tkp telah menangani situasi. Tampaknya ada pria mabuk yang ingin mencuri kalung Dadia karena terlihat indah.

"Jika itu berharga untukmu, kenapa tidak kau tinggalkan saja?" kata Encore.

Dadia kentara gelisah, tangannya bergetar memegang kalung itu. "Tidak. Aku dilarang meninggalkan apalagi melepaskannya." Wajahnya memucat, seolah mengingat sesuatu yang menakutkan. "Ramalan..."

"Dadia, tenanglah. Itu hanya kalung. Kita bisa pergi jika kau merasa tidak nyaman."

Dia menggelengkan kepala dengan cepat. "Kau tidak mengerti! Ini bukan sekadar perhiasan. Ada sesuatu yang lebih dari itu. Jika aku kehilangan kalung ini, itu bisa berakibat fatal. Aku, aku harus pulang. Maaf tapi aku harus kembali ke akademi."

"Tunggu, tunggu, Nona Dadia!"

"Kenapa dia terlihat paranoid begitu?"

Entahlah, tapi aku lebih tertarik dengan gumamannya barusan. Aku yakin dia bilang sesuatu tentang ramalan. Apa Dadia mengetahui kebenaran dari ramalan itu?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top