Bag 24. Mantra Terlarang
Aku berhenti menulis, mengangkat tangan dari buku dan menggeliat. Jari-jariku kram karena sudah menulis tanpa henti sejak tadi. Tugas ini memang terasa melelahkan, tapi kalau aku ingin mendapatkan jam pelajaran tambahan dari Master Spellias, aku harus merangkum buku tebal ini.
Bunga untuk Tuan Putri Impian dan Kompendium Astral, itulah judulnya. Yang satu membahas kehebatan seorang putri dalam menafsirkan mimpi hingga disangka utusan Shade of Fate, satunya lagi tentang langkah-langkah memasuki dimensi astral.
Ini di luar dugaan. Selain menjadi guru mantra, tidak kusangka Master Spellias adalah Penyihir Kebudayaan. Dia merawat buku-buku dari generasi sebelumnya untuk diturunkan ke generasi mendatang. Dengan kata lain, dia seorang penjaga buku.
"Hmm..." Master Spellias memonten hasil rangkumanku, membalikkan halaman demi halaman dengan tenang. Dia membacanya sampai habis lalu meletakkan kumpulan folio itu di meja, melepas kacamatanya.
"Tidak buruk untuk pemula. Kau menangkap poinnya dengan baik dan bahasamu mudah dipahami, bahkan oleh anak-anak."
Aku mengulum senyum. Eh, kok aku senang? Ini kan cuma tugas merangkum, bukan hal besar. Tapi entah kenapa, pujian itu membuat hatiku terasa hangat. Mungkin karena, meskipun tugasnya sederhana, aku sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menyelesaikannya.
"Tapi, jangan terlalu sering menyingkat bagian penjelasan," lanjutnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Itu adalah hal penting. Penjelasan bagaikan benang yang merangkai sebuah kain. Jika tidak kuat, kain itu akan terurai."
Aku mengangguk. "Siap, Master."
"Jadi, apa yang kau inginkan? Kau bilang kau ingin mengetahui sesuatu."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Err... kudengar menciptakan tubuh manusia itu hal yang tabu? Tapi bagaimana kalau ada yang nekat melakukannya untuk sebuah tujuan?"
Master Spellias menyipitkan mata. "Kau menanyakan sesuatu yang serius," katanya tajam namun wajah baiknya tidak hilang. Pria itu sebelas duabelas dengan Madam Pedestrian, tidak sombong dan angkuh.
Aku menelan ludah, mengepalkan tangan.
"Jika dia nekat melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Sabaism, berarti dia harus bersiap dengan resikonya. Kode Peringatan akan muncul di matanya beserta tanggal hukumannya. Jika warna kodenya emas, itu berarti kejahatan ringan. Jika warna kodenya merah, itu kejahatan tingkat tinggi dan hukumannya kematian."
Aku berbinar-binar. Hukuman mati...
Tanganku gemetaran, menundukkan kepala. Ibu, jangan bilang kau pergi untuk menjauh dariku karena tidak ingin aku melihat penghukumanmu. Itu tidak benar, kan?
"Semua makhluk hidup di daratan Asfalis memiliki Kode Peringatan di tubuhnya. Tapi benda itu hanya aktif saat mencium pelanggaran berat," sambungnya santai melempar-tangkap koin. "Menariknya, itu jenis mantra terlarang yang bisa dipelajari asalkan kita mengerti kode enskripsinya."
Aku menatapnya intens. "Bisa dipelajari??"
Sekali lagi Master Spellias melambungkan koin itu dan menangkapnya, lalu beralih membuka salah satu laci dan mengeluarkan buku tipis usang bersampul cokelat.
"Ini daftar mantra-mantra terlarang dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Karena aku menyukai siswa penurut, kau boleh menyimpan salinannya. Tapi ingat, jika kau melakukan sesuatu berbahaya..."
Bulu kudukku merinding merasakan aura di tubuhnya mendadak meruncing-runcing. Dia tersenyum yang tampak mengancam.
"Aku akan memaksa Kode Peringatan di tubuhmu aktif. Aku sudah melakukan berbagai eksperimen karena tertarik dengan benda tersebut, jadi tidak sulit bagiku menyalakannya secara paksa."
"M-mengerti, Master. Aku akan hati-hati."
Meski aku ragu aku juga memilikinya karena aku bukan manusia secara lahiriah.
🌙🌙🌙
Dadia semakin sering bermain di akademi. Mungkin pemandangan di Court of Elders sudah membosankan baginya. Di akademi, dia bisa melihat para siswa yang berlatih pedang, duel mantra, dan sebagainya.
Saat ini kami sedang berada di danau dekat akademi, menonton Wise dan Encore melakukan simulasi bertarung dengan Dadia dan Rinascita yang jadi wasitnya. Ditambah Atefeh sebagai penonton—teman Encore dari jurusan pedang. Air beriak kencang sampai ke kakiku yang sengaja kubenamkan untuk mendapat sensasi sejuk.
Encore mengubah tongkatnya yang cantik menjadi rapier, gagangnya bersayap dan berkilau oleh pantulan bulan di permukaan kolam. Dia menyambut ayunan pedang Wise. Dua senjata saling bersentuhan dan menimbulkan dentingan yang menggilukan.
"Aku tidak tahu Encore pandai bermain pedang," puji Dadia, berdecak kagum.
Hidung Atefeh memanjang. "Tentu saja! Kau pikir siapa yang mengajarinya?"
Aku mengabaikan hiruk-pikuk di danau, fokus pada buku daftar mantra terlarang di pangkuanku. Setidaknya ada tujuh mantra yang sangat dilarang untuk dilafalkan.
Aku tertarik pada mantra keempat, mantra yang membuat kita tertidur panjang tak berkesudahan sampai seseorang yang spesial membangunkan kita. Aduh, ini mirip dengan dongeng putri tidur yang hanya terbangun oleh ciuman sang pangeran.
Di tengah kedamaian itu, terdengar suara pengumuman Cocoon of Tacet telah aktif, mana langsung terbuka dua lubang lagi. Benar-benar menyebalkan! Tacet sialan itu selalu muncul di situasi tentram.
"Kami akan ke perkotaan," kata Atefeh menyeret tangan Rinascita yang mengikuti dengan bersungut-sungut. Dia jelas masih mau bersama timku, Wise, dan Encore. Tapi mereka berdua adalah bangsawan dan bertugas di tempat yang lebih penting.
Aku menoleh ke Dadia yang khawatir. "Kau cepatlah kembali ke Tuan Magistrate, jangan sampai tertangkap monster."
Sementara itu, Encore memanggil sapunya yang berwarna pink seperti tongkat dan rambutnya. Wise menumpang dengannya. Lalu aku terakhir terbang mengikuti mereka dari belakang setelah memastikan Dadia masuk ke bangunan akademi dengan aman.
"Lihat! Wave-nya sudah dimulai."
Tanpa Encore beritahu pun kami juga melihatnya. Halaman banjir oleh monster. Suara gaduh dan teriakan murid-murid memenuhi udara. Monster-monster itu bergerak agresif, menerjang maju dengan kuku dan gigi yang tajam. Siswa ksatria berusaha menerobos garis pertahanan, sementara siswa penyihir mendukung dari samping dengan mantra warna-warni.
"Ayo! Kita juga harus ikut membantu!"
Wise pertama yang melompat ke medan pertarungan. Dia menarik pedangnya dari sabuk. Bilahnya mengeluarkan aura yang kental membuatku dan Encore terkesiap. Begitu Wise mengayunkannya ke bawah, retakan panjang membelah tanah dan beberapa monster terjatuh ke dalamnya.
"Jadi dia sudah menguasai aura? Dan dia tidak memberitahu perkembangannya!" Setibanya di bawah, aku mencak-mencak melihat Wise menjadi sorot perhatian.
"Ini bukan waktunya untuk iri, Kala."
Aku menahan omelanku. "Axevite Midima." Mantra pengerasan yang meningkatkan fisik menyelimuti tubuhku. "Ayo bermain tinju, wahai monster sekalian!"
Encore menatap malas menyaksikanku dan Wise yang terlihat seperti saling bertanding untuk siapa yang bisa membunuh monster lebih banyak. "Apa mereka benar-benar perlu bersaing di situasi seperti ini? Tidak hanya cewek, cowok pun susah dimengerti."
"Oi, Encore! Kenapa kau melamun?! Ada monster yang membawa panah!" Wise berseru di tengah kekacauan pertarungan. Aku tidak sempat memperhatikan karena terlalu fokus pada monster di depanku.
Encore yang sedang terpaku menatap pertarungan kami telat menghindari serangan. Sebuah panah melesat cepat, dan dalam sekejap, rambut pinknya terpotong oleh ujung panah yang tajam.
"ENCORE!" Kami berteriak kaget.
Gadis itu baik-baik saja, sempat memberi perlawanan ke monster panah. Tapi jidatnya tergores membuat darah menetes. Mau tak mau aku dan Wise segera mendekat untuk memeriksa kondisinya.
"Hei, kau baik-baik saja??"
"Aku tidak apa-apa. Hanya terluka sedikit."
Panah tersebut memotong poninya dan menampakkan matanya yang selama ini selalu tertutup. Wise membeku, terperangah melihat mata Encore memiliki tanda sayap kupu-kupu yang bersinar redup.
"BRENGSEK! KAU SEORANG PERI?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top