Bag 20. Kutemukan Kau
Sangat menyebalkan karena sekarang aku harus membagikan jatah makanku untuk Sinyi. Sialan, dia bahkan bukan manusia! Kenapa pula dia punya nafsu makan seperti ini?
"Lapar nih. Kasih makan dong," katanya dengan aksen memerintah, berbinar ngiler menatap nampan tanpa rasa malu sedikitpun.
Aku hanya bisa mendesah, menggeser sebagian makananku ke arah Sinyi. "Kenapa kau butuh makan, sih? Bukannya kau cuma sapu?"
Sinyi menyeringai, memungut makanan dengan rakus. "Karena sekarang aku sudah punya wujud dan kesadaran, jadi aku perlu energi."
Terlebih, aku menyapu pandangan ke seluruh kantin yang ramai. Aneh sekali! Padahal aku berbincang-bincang dengan seekor peri. Tidak ada yang tertarik. Mungkin hal ini sudah jadi pemandangan biasa sama seperti perundungan yang dilakukan bangsawan pada anak petani.
Sungguh, situasi ini semakin merepotkan. Tapi Sinyi mengetahui sesuatu tentang ramalan. Aku harus mengorek informasi darinya.
"Jadi, ramalan ini sudah ada sejak lama?"
Sinyi berhenti mengunyah sejenak. Mulutnya cemong oleh remah roti. "Ya. Kalau tidak salah, sepertinya itu turun dari 900 tahun lalu."
Mataku melotot. "HAH?" Ucapanku terhenti saat beberapa murid di kantin memandangku kesal. Aku cengengesan, mencoba menutupi keterkejutanku, dan mengecilkan volume suara. "900 tahun? Serius? Jangan bercanda!"
Sinyi mendelik malas, tak terkesan dengan reaksiku yang berlebihan. "Untuk apa pula aku bercanda, tidak ada untungnya. Tepatnya ramalan itu sudah turun sejak 993 tahun lalu."
Astaga, aku hampir saja tersedak oleh jus. Bukankah itu nyaris seribu tahun? Ramalan itu sudah menghantui Klan Penyihir begitu lama, jauh sebelum aku terciptakan. Tapi kenapa tidak ada satupun yang tampak peduli?
Maksudku, lihatlah sekeliling. Di akademi ini, para siswa menjalani hari-hari mereka tanpa beban, dan di alun-alun kota, penduduk menikmati harinya dengan damai sentosa seakan ramalan tentang kehancuran tidak lebih dari dongeng belaka. Tidak ada yang tertarik.
"Mungkinkah..." Aku menangkap alurnya.
"Ah, kau menyadarinya ya?" Sinyi berkata sambil menepuk perutnya yang kenyang dan kemudian sendawa. "Mereka sudah terlanjur hidup nyaman. Selagi ada Para Shade dan Empat Raja, tidak ada yang perlu ditakuti. Toh, akademi juga melahirkan pahlawan. Kalaupun ramalan itu jadi kenyataan, mereka merasa bisa menghadapinya. Lagian ribuan tahun telah berlalu dan masih belum terjadi apa-apa. Kaum kita berpikir ramalan itu hanya omong kosong."
Bulan akan segera jatuh. Mimpi-mimpi akan beristirahat. Kehidupan akan tertidur.
Demikian kutipan lengkap ramalannya.
Tanganku terkepal erat. Bukankah penduduk terlalu menganggap remeh ramalan itu? Kooka bahkan rela memperpendek umurnya demi menemukan kebenaran di baliknya.
Seseorang menepuk bahuku membuatku tersentak, refleks melafalkan mantra. Tapi saat aku menoleh, aku berhenti tepat waktu demi melihat Esok menatapku dengan alis berkerut.
"Whoa, tenang! Aku cuma menepuk bahumu, bukan menyerang." Dia mengangkat tangan.
"Astaga, Esok!" Kuusap dadaku yang berdebar tak karuan. "Kau mengagetkanku! Apa jadinya barusan aku benar-benar kelepasan? Levelku akan diturunkan karena berbuat onar!"
"Salahmu sendiri. Sudah kupanggil dari tadi, kau malah bengong. Apa yang kau pikirkan?"
Gadis ini bisa-bisanya menyalahkanku!
"Lupakan," Esok mengibaskan tangan. Raut wajahnya berubah serius. "Apa kau melihat Lusa? Aku tidak menemukannya di mana pun."
Aku manyun. "Lah, bukankah seharusnya kau yang paling tahu karena kau kembarannya?"
Esok mengacak rambut frustasi. "Kalau aku tahu, aku tidak perlu bertanya padamu. Dasar anak itu, dia pasti berkeliaran lagi di suatu tempat untuk meneliti Cocoon of Tacet."
"D-dia meneliti lubang monster itu?"
Aku menelan ludah. Hebat! Padahal di luar, Lusa terlihat seperti cowok manis pendiam yang dilindungi oleh kakaknya (seorang brocon). Tapi tak kusangka dia punya nyali besar.
Jantungku mencelus dari tempatnya karena Esok memukul permukaan meja dengan keras. "Ini semua salah si bedebah Saran! Dia telah mempengaruhinya! Jika mengambil pekerjaan peneliti, kenapa harus menyeret adikku?!"
Ibu, tolong selamatkan nyawaku.
"Kudengar kau cukup jago menyihir." Bahuku terlonjak karena Esok beralih menatapku tajam. Rasanya ditatap oleh setan. "Aku ingin kau membantuku menemukannya."
Tanpa pikir panjang, aku hormat dengan sedikit berlebihan. "S-siap, komandan!"
🌙🌙🌙
Ini percuma saja.
Mau berapa kalipun aku memakai mantra pelacak, mau bagaimanapun variasi yang kuterapkan, Lusa sama sekali tidak terdeteksi. Aku merasa aneh sendiri karena sejauh ini mantraku selalu berhasil. Seolah ada selaput tak kasat mata yang menutupi keberadaannya.
Aku mengelap peluh yang mengalir. Spirit Gauge-ku terkuras karena menggunakan mantra dengan tingkatan berbeda berulang kali. Kulihat Esok juga banjir keringat sepertiku.
Apa aku naikkan sedikit lagi?
Mengingat sekarang aku tidak lagi mentok di tingkat Lanjut melainkan sudah naik level ke tingkat Suci, tidak ada salahnya mencoba. Hitung-hitung menambah pengalaman.
Sebelum sempat melafalkannya, ekor mataku menangkap sosok Dadia yang marah-marah dengan seseorang. Sepertinya dia dipaksa oleh sosok berkerudung yang mencurigakan.
"Apa yang terjadi di sana?" bisikku, menunduk sambil mengintip di balik pilar batu.
Esok juga berhenti mencari, terlihat tertarik dengan keadaan di depan kami. Matanya memicing ke lencana bermotif bunga lavender yang dikenakan sosok berkerudung. Ada denting kegelisahan yang terlihat di wajahnya.
Esok melotot. "Tidak mungkin! Dia—"
"Huh? Apanya yang tidak mungkin?"
Di sisi lain, Dadia tampak sangat geram. Dia menepis tangan sosok berkerudung itu dengan kasar. "Sungguh tidak sopan perlakuanmu. Aku bukan anak kecil yang harus meminta izin untuk berkeliaran di negeriku sendiri."
"Justru anda bersikap kekanakan sekarang," ucapnya dingin. "Kita harus segera membahas ramalan. Tolong berhenti bermain-main."
Dadia sekali lagi menepis. "Aku akan menunggu Ulti datang sebelum ke Court of Elders."
"Apa anda akan terus bersembunyi di belakang Tuan Hakim Agung? Beliau juga punya kesibukan sendiri. Sadarlah pada posisi anda, Yang Mulia. Apa anda tidak peduli pada—"
Aku menahan tangannya yang ingin menarik lengan Dadia. "Hei, dia sudah bilang tidak mau, kan? Kenapa kau terus memaksa?"
Esok di belakang ternganga. "Si bodoh itu...! Apa yang dia lakukan pada seorang raja?!"
Sosok berkerudung itu menoleh dalam gerakan lambat, menatapku dengan tatapan dingin. Matanya menyiratkan kebencian yang dalam dan aku merasa sedikit merinding. Tapi mataku tertuju pada pergelangan tangannya yang terlihat. Tato bunga kamboja empat kelopak.
Perlahan namun pasti, mataku terbelalak.
Ketegangan di antara kami terputus ketika Tuan Magistrate muncul. "Apa yang terjadi di sini?" Suara tegasnya menggema.
Aku mendadak tidak dapat mendengar apa pun karena sekitar terasa pengap. Telingaku berdenging, napasku memburu, jantungku berdegup kencang. Yang jelas Tuan Magistrate membereskan masalah. Tapi bukan itu poinnya!
Orang itu, orang itu...
Dia pasti antek-antek penjara budak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top