Bag 2. Enam Region
Aku panik, jelas.
Siapa yang bisa tenang tiba-tiba bangun di tempat menyeramkan? Sekelilingku adalah menara tinggi berdinding batu dengan sel-sel besi bergantungan di dinding mirip hammock. Aku berpikir keras, mencoba mengingat kembali hal terakhir yang kulakukan sebelum siuman.
Kalau tidak salah, aku terbang selama satu jam ke desa terdekat untuk meminta peta. Suasana desa itu tenang dengan suara ayam berkokok dan aroma segar dari ladang. Di tengah jalan aku melihat seorang kakek-kakek mengendarai kuda, menarik gerobak berisikan buah-buahan.
Aku bertanya dengan patah-patah bagaimana cara pergi ke ibukota. Kebetulan, kakek itu hendak ke ibukota untuk mengantarkan dagangannya dan berbaik hati menawarkan tumpangan. Sambil tersenyum, dia menjamu aku dengan minuman dari termos kayu yang hangat. Setelah beberapa teguk, semuanya jadi gelap.
Tunggu, itu berarti aku diculik?!
Baru beberapa detik, petualanganku langsung bermasalah. Tsk! Aku seharusnya mendengarkan nasehat Ibu untuk tidak memakan apa yang diberikan orang asing, namun aku melonggarkan penjagaanku. Apatah gunanya punya mentalitas lima abad jika naluri bocah lebih mendominasi.
Aku memegang jeruji besi berkarat. "Tolong! Siapa pun, tolong keluarkan aku dari sini!"
Ini takkan terjadi jika aku tetap diam di rumah. Sekarang aku akan dijual, diperbudak, dibunuh, atau lebih buruk lagi—mutilasi mungkin? Hanya membayangkannya membuatku merinding. Aku tidak keluar rumah untuk mati mengenaskan!
Keributan di penjara menarik perhatian seorang sipir. Dia memasuki sel dengan tatapan tajam, menatap wajah-wajah tawanan yang sudah tidak memiliki harapan hidup. Lalu terhenti ke arahku yang menggoyang-goyangkan jeruji.
Pedangnya menghantam jeruji dengan keras. "Diam! Atau kau akan mati lebih cepat."
Aku menelan ludah, mengangguk patuh tanpa mengeluarkan suara. Ibu bilang ksatria adalah pelindung anak kecil, wanita, dan orang lemah. Ternyata itu hanya dongeng belaka. Aku tidak bisa melihat sosok pelindung dari sipir ini.
Satu-satunya pilihan adalah menghancurkan sel ini. Tapi ada yang aneh. Tidak ada kesiur angin, pasir halus bergerak, atau apa pun yang menandakan sihirku aktif. Aku sudah menyebut mantranya, kenapa sihirnya tidak mau keluar?
"Apa kau penyihir? Melihat gelagatmu barusan, sepertinya kau ingin mencoba menyihir."
Saking jengkelnya aku tidak sadar kalau aku tidak sendirian di dalam sel. Aku menoleh cepat, mendapati seorang anak laki-laki seusiaku tengah duduk bersila, menatapku datar.
"Sia-sia." Dia menunjuk ke atas. Di langit-langit penjara, tiga lingkaran memancarkan cahaya samar. Setiap lingkaran dihiasi dengan rune dan di tengah-tengahnya terdapat mata tertutup mengerikan. "Mereka memasang medan antisihir."
Cih! Kelemahan penyihir kalau bukan kehabisan magia (vitalitas sihir), ya bertemu ukiran penyegelan. Mereka sangat tidak berdaya di bawah pengaruh medan pemblokiran.
Apa aku gunakan kemampuan dasarku saja, mengendalikan angin? Masalahnya... aku melirik bocah yang duduk tak jauh dariku. Ibu melarangku mengungkapkan identitas asliku. Itu bisa mendatangkan masalah besar, meski dia tidak pernah mengatakan alasannya.
Aku mengalihkan perhatian dengan mengeluh. "Dasar kakek tua penipu! Teganya dia—"
"—memperdaya anak kecil polos," potongnya, menyerobot lagi. "Itulah modus operandi penculikan di ibukota beberapa minggu terakhir. Mereka menculik anak-anak tak peduli dari kalangan bangsawan atau kalangan kumuh."
Aku menatapnya curiga. "Siapa kau?"
"Namaku Wise. Aku ditangkap seminggu lalu saat bertanya jalan menuju akademi."
"Kau mau ke akademi sihir juga?"
Kalau begitu dia memiliki magia. Walaupun ini dunia fantasi sekalipun, tidak semua orang memiliki kekuatan atau energi sihir. Ini masalah warisan atau genetika keluarga. Kebanyakan mereka tumbuh sebagai manusia biasa.
Tapi terkadang, manusia-manusia biasa ini diberkahi oleh Sang Dewa dengan kekuatan tak terduga berdasarkan keberanian, ketekadan, dan berbagai nilai kehidupan lainnya. Mereka lalu disebut Da Capo. Julukan memulai kehidupan dari awal kembali dan mendapatkan kesempatan mengubah takdir mereka. Di tubuhnya akan memiliki Markah Bulan, bukti pengakuan ilahi.
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Orangtuaku dulunya petualang. Aku cukup beruntung mewarisi darah ibuku yang seorang penyihir, memungkinkanku bisa menyihir. Tapi semua itu tak ada artinya lagi sekarang."
"Apa maksudmu?"
"Mereka punya teknologi yang mampu menyedot magia. Milikku sudah diambil beberapa hari lalu. Aku tak lebih dari manusia biasa sekarang. Tidak mungkin akademi sihir menerima murid tanpa magia, kan?" Wise tersenyum kecut.
Teknologi. Hanya satu yang terlintas di kepalaku saat mendengarnya. Sepertinya kelompok penculik ini memiliki kenalan dari Klan Gaiara.
Ibu bilang ada enam region berdiri di Asfalis.
Pertama, Klan Iblis. Bangsa terkuat yang ditakuti dan jarang dikunjungi petualang. Di episode sebelumnya aku bilang naga itu nyata, kan? Di situlah sarang mereka. Klan ini memiliki lima suku. Di antaranya: Dragovian (suku naga), Vamparax (suku vampir), Sinszirkel (suku dosa), Artifis (suku homunculus), Pedatoras (suku bayang-bayang). Pokoknya negara itu tempat makhluk abnormal dan orang-orang kuat tinggal.
Kedua, Klan Skadies. Bangsa yang terisolasi dari dunia dan bersembunyi di balik pengunungan es. Mereka sangat waspada terhadap turis, tidak mengizinkan sembarang orang masuk ke tanahnya bahkan jika itu seorang petualang ataupun saudagar. Termasuk rakyatnya sendiri.
Ketiga, Klan Gaiara. Negara ini kerap disebut Komunitas Genius dan merupakan rumah bagi para raksasa dan alkemis cendikiawan. Mereka seringkali melakukan berbagai eksperimen kontroversial, salah satunya mungkin teknologi penyedot magia yang digunakan penculik ini.
Keempat, Klan Peri. Seperti namanya, ini adalah dunia peri. Tapi bukan peri kecil di dongeng. Mereka mengalami mutasi hingga tubuh mereka seukuran manusia dewasa. Satu-satunya keahlian yang dimiliki kaum ini ialah Art of Wings, keterampilan menciptakan sayap yang indah.
Kelima, Klan Penyihir. Di sinilah aku tinggal. Berbeda dengan region-region sebelumnya, bangsa penyihir sedikit unik karena kami tidak mempunyai pagi. Hari selalu malam dan itu sudah berlangsung selama sembilan ratus tahun lamanya. Penyihir dengan pekerjaan petualang akan ketakutan saat meninggalkan kampung halamannya, tidak siap dipapar cahaya matahari.
Terakhir yang keenam, Klan Druidis. Negara yang mencintai kehidupan dan berteman dengan hutan. Mereka akrab dengan kemampuan penyembuhan, penyegelan, dan pemurnian. Tapi kata Ibu akhir-akhir ini terjadi insiden sensitif di sana. Ajaran agama sesat, mantra kebohongan, dan apalah itu. Ibu tidak menjelaskan detailnya.
Meski baru enam negara yang diresmikan, daratan Asfalis selalu menyerap energi Sabaism yang merupakan Rumah Dewa di setiap harinya membuat manusia selalu berevolusi. Ditambah pengetahuan Klan Gaiara terus berinovasi. Aku takkan terkejut jika di masa depan ada Klan Malaikat, Klan Duyung, atau Klan Mainan.
Setelah menceritakan enam klan ini, pikiranku kembali pada situasi di hadapanku. Aku menatap Wise. "Sebenarnya untuk apa mereka mencuri magia anak-anak itu? Apa tujuannya?"
"Entah, aku orang baru di ibukota. Tidak banyak yang kuketahui tentang apa yang terjadi."
"Kau tidak takut dengan situasi ini?"
"Yah, apa boleh buat? Mau melawan mereka pakai apa? Aku tidak bisa menyihir lagi, di sini juga ada rune segel. Kita hanya bisa pasrah."
Aku menghela napas panjang. "Wise, dengar. Aku tidak mau terjebak di sini. Ayo kita kabur."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top