Bag 16. Ultimatia De Magistrate
Tamat riwayatku.
Tingkatan naga bagaikan induk di elemen angin. Aku yang hanya peri/roh bagaikan seekor nyamuk berdenging di depannya. Angin di sekitar tidak lagi terasa seperti teman melainkan badai yang siap menggulungku.
Tuan Magistrate berdiri di belakangku, menatapku datar. Di bawah sorotan cahaya bulan, aku dapat melihat matanya yang runcing mencerminkan pupil mata seekor naga.
Sial! Dari sekian luasnya tempat mendarat, kenapa dia harus turun di dekatku sih?! Dia pasti ngeh aksi panahku barusan bukan efek mantra melainkan teknik pengendalian. Untuk seukuran naga, jelas dia tak mudah dikibulin...
Tuan Magistrate melewatiku begitu saja. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku sedikitpun, berjalan tenang ke kumpulan murid-murid yang tersenyum cerah akan kedatangannya.
"Kalian sudah bekerja keras."
KATAKAN SESUATU, BRENGSEK! Bentakanku menggema dalam kepala. Apa-apaan coba?! Aku nyaris mati ketakutan dan dia... dia cuma lewat? Apa hanya kebetulan dia mendarat di belakangku? Sial, aku sungguh bingung. Antara dia betulan tidak tahu atau tidak peduli.
"Ada apa?" bisik Encore. "Kau tampak pucat. Apa kau tidak terbiasa dengan keberadaan suku naga? Tuan Magistrate naga yang baik kok. Dia menjabat kepala sekolah. Di akademi, kau harus memanggilnya Master Ultimatia dan mata pelajarannya adalah kelas bertarung."
Apa! Dia kepala sekolah akademi?! Makhluk sekuat itu memilih untuk mengajar...?
Aku tidak mengerti. Ras naga berasal dari Klan Iblis dan memiliki kebebasan mengelilingi Asfalis, bahkan ada yang tidak kembali lagi ke tanah airnya karena terlanjur nyaman tinggal di mana lah. Tapi kebanyakan dari mereka tidak mau repot-repot bergaul dengan manusia yang menurutnya lemah, rentan tak berdaya.
Lagipula, sejak kapan naga memiliki adab dan mengerti norma? Mereka itu ras sombong karena merasa tidak tertandingi oleh siapa pun.
Tapi apa pun itu, aku punya celah untuk kabur. Aku bersembunyi di balik jubah Encore, menyuruhnya untuk kembali ke akademi. Encore mengernyit lalu mengedikkan bahu. Dia juga tidak betah berlama-lama di sana.
Aku baru bisa menarik napas lega begitu kami tiba di lorong akademi. Yang tadi itu benar-benar berbahaya. Hampir aku bertemu maut sebelum reunian dengan Ibunda tercinta.
"Kau ini kenapa sih? Kayak dikejar hantu."
"Tidak apa-apa. Terima kasih, ya!"
Encore mengacak rambut. "Tidak Wise, tidak kau, apa semua laki-laki itu punya perilaku yang aneh? Sudahlah, aku mau ke kamar."
Aku tertawa sebelum melangkah lebih jauh ke dalam lorong, mengusap dada. Meski ancaman naga masih membayangi, aku bersyukur bisa lolos dan kembali ke tempat yang familiar.
"Tak kusangka ada murid istimewa di sini."
Bulu kudukku meremang. Celetukan itu membuatku lupa untuk bernapas beberapa saat, menoleh kaku ke samping. Di sana Tuan Magistrate berdiri sambil menatapku datar.
Dia mengelus dagu. "Roh Angin, ya?"
Rasanya lututku kehilangan tenaga dan luruh ke lantai. Ternyata dia mengikutiku. Mudah baginya menyelinap seperti angin sunyi karena kedudukannya sangat tinggi di elemen angin.
Bagaimana ini? Apa dia akan memakanku seperti yang dikatakan Ibu? Aku memaksakan diri untuk tidak panik, namun gagal. Aku sasaran empuk seperti rusa yang diamati oleh predator besar, menunggu untuk diterkam.
"Tenanglah," ucapnya tiba-tiba, berbalik. "Aku takkan macam-macam pada siswaku. Para roh elemental biasanya tak memiliki wujud manusia. Makanya aku tertarik melihatmu. Hanya itu."
Dan dia pun menghilang begitu saja.
🌙🌙🌙
Di kelas, aku sama sekali tidak menyimak materi yang disampaikan Master Side mengenai formula ramuan membuat tatakan terbang. Suaranya hanya menjadi latar belakang yang samar karena pikiranku melalang buana.
Aku tahu perwujudan elemental yang dipanggil 'spirit' bukan hanya aku di dunia ini. Asfalis memiliki banyak elemen dan aku hanya salah satunya. Tapi perkataan tentang 'spirit' tidak punya fisik manusia cukup mengejutkanku.
Yang membuatkanku tubuh adalah Ibu. Dia bilang dia penyihir veteran, lalu kenapa aku tidak bisa mengenyahkan perasaan ragu ini? Apa aku tidak mempercayai Ibu sendiri? Fakta Ibu tidak pernah menyebutkan siapa nama dan latar belakangnya menambah kecurigaanku.
Hanya ada satu cara untuk menghilang rasa gelisah ini yaitu dengan bertanya.
Maka saat kelas berakhir, aku menghampiri Master Side yang bersiap pergi ke akademi cabang. Dia menatapku malas. "Apa?" Nada suaranya menunjukkan ketidakpedulian. Aku sudah terbiasa dengan keegoisan bangsawan.
"Apa ada ramuan yang dapat menciptakan tubuh manusia secara sempurna?"
Bukannya menjawab atau menghina seperti yang dilakukan bangsawan pada petani miskin, Master Side justru menatapku serius. "Aku tahu kau dari kalangan rendah, tapi bagaimana mungkin kau menyebutkan perbuatan tabu?"
"Perbuatan tabu?" ulangku bingung.
"Kau harus mengingat ini, Bocah. Ada tiga hal tabu di Klan Penyihir: mengotak-atik DNA, mengganggu linimasa yang berjalan, dan bermain-main dengan kehidupan. Keangkuhan manusia hanya memancing kemurkaan dewa. Tidak semua pengetahuan layak dieksplorasi. Beberapa hal lebih baik dibiarkan jadi misteri."
Aku menelan ludah. Kalau Master Side sampai bilang begitu, apakah membuat tubuh manusia benar-benar sangat dilarang? Berarti Ibu...
"Yah, kecuali jika kau Anak Descender atau diberkati Dewa dan menjadi Da Capo. Itu lain cerita. Tentu saja tidak mungkin rakyat jelata sepertimu mendapat keberuntungan emas."
Aku manyun. Kambuh lagi sifat jeleknya.
"Ng? Anak Descender? Maksudnya Sang Descender? Sebenarnya dia itu siapa?"
Master Side mengangkat tangan, tidak sudi menjawab pertanyaanku lebih lama. "Waktu pelajaranku sudah habis, Bocah Miskin."
Dia pun keluar dari kelas meninggalkanku yang mengomel dalam hati. Aku masih memiliki berjibun pertanyaan, tapi aku tidak punya narasumber selain Madam Pedestrian. Kenapa sih kelas sejarah harus sekali dua minggu.
Aku melihat jam pasir. Haah, masih terlalu awal untuk ke kantin atau kembali ke kamar. Apa aku ke kelas mantra saja, ya? Aku baru sekali mengambil kelas tersebut. Wise sepertinya juga masih sibuk dengan pelajarannya. Encore pun mengambil kelas pemahaman hewan.
"Tidak bisa melihat akhirnya. Apa kau takkan kembali? Sampai kapan aku harus bertahan?"
Langkahku terhenti. Setelah sekian lama, aku mendengar bisikan kesedihan itu lagi. Tanganku terkepal, segera meluncur menuju sumber suara. Kali ini akan kupastikan siapa sosok yang terus-menerus mengadu pada angin.
Aku menembus lorong dan tiba di area patung raksasa yang berdiri di bangunan utama. Napasku sedikit tersengal karena berlari lalu terkesiap melihat seseorang berdiri di bawah kaki patung. Rambut birunya diterpa angin.
"Lho? Lady Dadia?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top