Bag 14. Menentukan Bidang

Kupikir aku takkan bertemu lady ini lagi. Tapi syukurlah, dia salah satu murid akademi. Seharusnya aku menyadari motif seragamnya di hari itu waktu itu tempat itu. Pikiranku saat itu teralihkan oleh banyak hal.

Dia berdiri di lorong kelas. Beda dengan Encore yang sibuk mencari sapunya, lady itu lebih ke mengamati suasana kelas dengan antusias. Seolah mempelajari setiap sudut. Matanya menyapu pandangan di kelas ramuan yang kosong dan terhenti ke arahku.

Aku melambaikan tangan. "Kita bertemu lagi! Sudah cukup lama. Errr, sekitar seminggu?"

Melihatnya diam membuatku ikut diam. Apa dia mengenaliku? Atau baginya, pertemuan kami hanya salah satu dari sekian banyak yang dia alami? Aku mencoba membaca ekspresinya, namun sulit menebak apa yang ada di balik tatapan tajam dan santainya.

Aduh, dia tidak berpikir aku sok akrab, kan? Haruskah aku menyapanya lagi? Siapa pun, tolong keluarkan aku dari kecanggungan ini!

Matanya menyipit ke arah rambutku yang berwarna mint, tersentak. "Oh! Kau yang waktu itu! Kalau tidak salah... Lala, bukan? Mana temanmu si rambut merah?"

Aku tersenyum kikuk. "Yang benarnya Kala."

"Ah, benar. Kala. Aku ingat sekarang. Jadi mana soulmate-mu? Kau sendirian?"

"Maksudmu Wise? Dia di gedung satunya, jurusan pedang. Dan dia bukan soulmate-ku."

Amit-amit bersahabat dengan si mesum itu. Pikirannya hanya terpaku pada gadis cantik. Nanti aku malah terbawa-bawa lagi. Aku tidak ingin sampai dicap maniak wanita.

Dia mengangkat alis, mengelus dagu. Tampak penasaran. "Bukan? Kupikir kalian berdua tak terpisahkan dan selalu bersama."

"Kami memang dekat, tapi bukan seperti itu. Omong-omong kau jurusan sihir atau...?"

Dia tersenyum tipis. Ada kilatan aneh di matanya. "Ah, bukan kedua-duanya. Aku hanya melihat-lihat akademi. Kudengar tempo lalu Cocoon of Tacet terbuka di sini."

Aku berhenti bertanya, mencerna ucapannya. Sebentar, bukan dari keduanya? Tapi akademi ini hanya punya dua jurusan dan dia memakai seragam formal yang hanya dikenakan saat upacara penting atau pertemuan tertentu.

Tapi, dia tidak memakai bros perak norak yang kerap dikenakan oleh murid kalangan atas. Jadi dia bukan bangsawan? Ada yang aneh dengan gadis ini. Sejak awal bertemu dengannya, aku memang sudah memiliki firasat bahwa dia bukan sembarangan lady.

"Mukamu serius sekali. Kau punya pertanyaan untukku, ya?" cetusnya sambil tersenyum geli, seolah menikmati kebingunganku.

Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran yang menggangguku membuatku akhirnya bicara. "Siapa kau sebenarnya? Kau bukan murid, kan? Apa kau staf akademi atau sejenisnya?"

Tatapannya berubah. Senyumannya masih terpatri, namun ada sesuatu yang lebih misterius di balik matanya. "Untuk sekarang, namaku Dadia. Aku bukan staf. Dan seperti yang kau bilang, aku juga bukan murid. Seragam ini kuminta ke bagian administrasi supaya bisa leluasa mengelilingi akademi."

Apa? Dia minta langsung dikasih? Benar ini, dia adalah golongan orang penting. Lalu...

"Apa maksudmu 'untuk sekarang', heh?! Apa itu artinya kau punya banyak identitas? Jangan mempermainkanku!" seruku jengkel.

Dia tertawa receh. "Kau akan tahu pada waktunya, Kala. Tidak seru kalau kau tahu sekarang. Karena aku yakin perlakuanmu akan berbeda begitu mengetahuinya."

Aku batal marah demi melihat denting kesedihan di matanya, seakan ada cerita yang tersembunyi di balik senyumnya.  Dia sepertinya menyimpan beban yang tidak ingin dia ceritakan. Untuk sesaat, kejengkelanku tergantikan oleh rasa ingin tahu.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa!"

"Hei, tunggu! Aku masih punya—" Seruanku terhenti ketika suara halus seperti bunyi lonceng tiba-tiba terdengar di udara.

Suara itu berasal dari kalung pompom berbandul bulan sabit perak yang tergantung di lehernya. Dadia masih mengenakannya, persis seperti yang dipakainya waktu itu.

Aku terdiam, memperhatikan punggungnya yang semakin menjauh, kehilangan minat untuk mengejar. Dia sebenarnya siapa sih?

🌙🌙🌙

Sore hari—tentu saja, tetap malam di Klan Penyihir. Itu hanya cara penduduk di sini menyebut waktu tertentu. Meski tidak ada matahari yang terbit atau tenggelam, pergerakan waktu tetap terasa seperti denyut kehidupan yang tak pernah berhenti.

Aku tertarik dengan ramuan tembus pandang. Di sini tertulis ramuan transparan kelas A+. Kalau itu berkerja dengan baik, Master Side akan memberiku cap stempel. Aku mau cepat-cepat naik level karena menginginkan makanan dan kamar yang berkualitas.

Cairan bening di kuali menggelegak. Ramuan ini memang tidak memiliki warna karena efek daun kaca. Untuk mendapat hasil sempurna, aku harus mempertahankan kebeningannya.

"Ini berapa sendok ya kira-kira?"

Aku bertemu masalah di langkah berikutnya.

Sialan! Tidak di buku yang diberikan Ibu, tidak di buku yang ada di perpustakaan, kenapa selalu ada kata-kata 'secukupnya'? Memangnya secukupnya itu berapa? Sekilo? Sesendok? Setengah sendok? Selusin?

Aku mengacak rambut frustasi. Wahai para alkemis, kenapa kalian tidak menyebutkan takarannya secara gamblang? Kenapa harus pakai kata secukupnya? Aku bukan peramal! Paling tidak tulis instruksinya dengan jelas!

"Matikan apimu kalau tidak mau ramuanmu gagal," kata seseorang memotong lamunanku.

Ah! Gawat! Buru-buru kukecilkan volume apinya, lalu menghembuskan napas panjang. "Terima kasih telah mengingatkan, Ketua Kelas," ucapku lega, menoleh ke Reason yang mendekatiku dengan senyum ramah.

"Jika sedang meramu, usahakan jangan sampai bengong. Racikanmu bisa jadi bubur."

Aku mengangguk kikuk, merasa sedikit malu karena kelalaianku tadi. "Iya, iya, aku tahu. Tapi serius deh, kenapa para alkemis zaman dulu suka banget pakai kata 'secukupnya'?"

Reason tertawa kecil. "Mungkin biar kita belajar mengandalkan intuisi," kekehnya memelototi kartu ID-nya dengan siulan ceria.

"Kau terlihat senang sekali. Ada apa?"

"Ah, bukan hal penting kok. Aku baru saja naik level sebanyak sepuluh tingkat usai menentukan bidangku. Sekarang levelku sudah 72. Begitu mencapai angka 80, aku diizinkan masuk ke perpustakaan utama. "

Wow, itu luar biasa. Di sana penuh dengan pengetahuan tersembunyi. Banyak informasi tentang ramuan istimewa dan teknik sihir yang hanya bisa diakses oleh bangsawan. Sesuai yang diharapkan ketua kelas.

"Tapi... bidang itu apa ya?" tanyaku polos.

Reason menatapku intens, kembali tertawa. "Apa tidak ada yang memberitahumu? Setiap murid harus menentukan bidang keahlian yang ingin mereka dalami. Aku tertarik pada atribut penyembuhan dan mempelajarinya. Atau ambil contoh si Encore, dia itu Penyihir Sayap lho. Dia dapat menciptakan sayap tanpa mantra ataupun ramuan. Keren, kan?"

"Oh, ya? Aku baru tahu..."

Kalau begitu ceritanya, aku akan mengambil bidang elemen angin. Jadi selain aku belajar sihir dan ramuan, diam-diam aku bisa melatih kekuatan dasarku tanpa takut ketahuan.

"Bagaimana cara menentukan atribut??"

"Cari Spica. Jelaskan padanya minatmu... Eh, kenapa ekspresimu jadi jelek?!"

"Spica... harus banget dia?" gumamku sinis. "Dia itu bangsawan sombong. Sudah pasti dia akan memperlakukanku seperti sampah."

Reason tersenyum kecut. "Aku paham perasaanmu karena aku juga merasakannya. Bangsawan dan petani takkan pernah akur. Tapi kau harus menahan ego untuk tumbuh."

Aku menggaruk kepala. "Kau benar."

"Oh ya satu lagi, usahakan jangan sendiri ya. Setidaknya pastikan ada orang lalu-lalang di sekitarmu. Bangsawan, staf, atau guru kek."

Dahiku terlipat. "Lho, kenapa?"

"Akhir-akhir ini ada banyak penyihir yang menghilang misterius. Berhati-hatilah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top