Bag 12. Serangan Flawed

Aku meninggalkan kelas dengan langkah berat. Jangan tanya apa yang kupikirkan saat ini; benakku dipenuhi dengan bayangan pengorbanan ratusan anak dan pertumpahan darah yang terjadi di Katastrofi.

Luca merupakan anak terakhir yang bertahan hidup dari pembantaian massal. Dia ditolong oleh para pejuang yang menentang dekrit gila kerajaan. Saat mengetahui ada satu anak yang berhasil diselamatkan dari ritual, misi pencarian tidak segera diturunkan. Yang terjadi adalah runtuhnya aliansi enam raja.

Kesombongan, kedengkian, keegoisan, dan ketamakan masing-masing raja membuat mereka saling curiga. Setiap raja berambisi mendapatkan karunia dan kekuatan dari Dewi Dunia. Mereka percaya bahwa negerinya lah yang berhak berkuasa di Katastrofi.

Pertikaian antar enam kerajaan pun tidak terhindarkan. Semua demi satu tujuan: merebut Luca dan memanggil Dewi Dunia. Dalam kekacauan ini, jumlah korban jauh lebih banyak daripada ritual sebelumnya. Rakyat dan tanah menjadi imbas perang.

Setelah berbulan-bulan melarikan diri tak tahu arah, hidup sembunyi-sembunyi, makan buah-buahan liar yang terkadang beracun, sakit-sakitan karena kurangnya sumber daya, tidak ada yang bisa lari dari kematian.

Takdir mengatur segala yang akan terjadi. Waktu, cara, dan tempat akan sesuai dengan apa yang ditetapkan. Tapi kematian beda cerita. Kematian adalah peraturan. Luca tidak bisa menghindari nasib buruknya. Pada akhirnya dia mati di perang perebutan itu.

Kematian Luca adalah pemicu perubahan.

Dewi Demeter dengan kode Sang Kesuburan, turun dari balik Cocoon of Tacet. Sosoknya putih bercahaya, tidak berwajah, rambutnya hijau zamrud, tingginya mencapai langit. Sungguh perawakan ilahi menggetarkan jiwa. Kehadirannya membelah suara tembakan meriam dan dentingan pedang di Katastrofi, membawa aura yang mengagumkan.

Saat merenggang nyawa, saat detik-detik terakhirnya, Luca bersumpah akan menjadi tuhan di Katastrofi jika dewi itu nyata dan mendengar doanya. Luca akan mengubah dunia itu menjadi dunia yang dia inginkan.

Demeter mengabulkan doa Luca meski dia terlambat menyelamatkan nyawa anak itu. Tapi, itu bukan masalah baginya. Demeter mengorbankan segenap kekuatan untuk mengidupkan Luca lantas mengangkatnya menjadi dewa dengan kode etik Sang Kreasi.

Singkat cerita, Luca membalikkan Katastrofi menjadi dunia baru bernama Asfalis dimana makhluk fantasi dan sihir itu eksis. Yah, bagaimanapun dia masih anak-anak yang mempercayai dongeng. Mumpung sudah jadi dewa, sekalian saja diwujudkan.

Setibanya di kamar, aku melempar tubuhku ke kasur yang keras. Kupukul permukaan kasur yang sama kerasnya. Tidak apa, tidak sakit. Aku hanya ingin melampiaskan semua yang berkecamuk di kepalaku.

Begitu ya sejarah Asfalis?! Perasaanku campur aduk-terharu, marah, bahagia, dan juga salut. Bagaimana bisa dunia yang penuh dengan keajaiban ini lahir dari begitu banyak penderitaan dan pengorbanan?

Yang Mulia Luca, meski hanya seorang anak kecil, menciptakan dunia yang damai. Bumbu fantasi hanyalah pengaturan tambahan.

Seluruh rakyat Asfalis tahu bahwa dewa mereka adalah anak kecil. Meski demikian, Madam Pedestrian mengingatkan jangan meremehkannya. Di luar dirinya adalah dewa, Yang Mulia Luca sudah hidup 5000 tahun. Jelas kebijaksanaannya terasah oleh waktu.

Aku tersenyum tipis, menguap. "Besok aku harus berdoa ke Sabaism. Semoga dewa terus memberkati dan melindungi Ibu, entah di mana pun dia berada sekarang."

🌙🌙🌙

"KALA! BANGUN, KALA!"

Teriakan keras diikuti suara gedoran kencang membangunkanku. Aku terhuyung bangun. Walau aku masih setengah terjaga, aku sangat mengenali suara itu. Siapa lagi kalau bukan Wise? Jika tidak penting, sepertinya kali ini aku akan menghajarnya betulan.

"Kenapa?" Aku membuka pintu dengan kesal.

Tanpa basa-basi, Wise menarik lenganku dan menyambar tongkat pemberiannya di meja lalu menyeretku keluar. "Kita harus cepat bergabung dengan Encore dan yang lainnya! Siapkan dirimu, kita akan bertempur!"

"Bertempur? Dalam rangka apa?" Aku menatapnya bingung. Rasa kantukku sirna.

"Flawed menyerang akademi!"

Sesampainya di luar bangunan akademi, aku terperangah menatap puluhan monster membabi buta menyerang para penyihir yang bertarung di garis depan. Dari ras goblin yang kecil dan gesit, orc yang besar dan kuat, hingga lizard yang licin, semuanya berkumpul dalam kerumunan yang kacau. Ya ampun! Bahkan ada chimera yang ganas.

Suasana sekeliling dipenuhi dengan kekacauan-mantra sihir terbang ke sana kemari, disertai teriakan para penyihir yang berjuang melawan serangan mendadak ini.

Sementara Wise sudah bergabung ke medan perang bersama Encore, aku masih dalam tahap mencerna informasi. Sialan, apa yang terjadi? Dari mana monster-monster ini muncul? Mereka kah yang disebut Flawed?

Aku memicing mendapati sebuah lubang berwarna ungu gelap bercahaya di belakang barisan monster, seketika melotot. Retakan dengan tanda tambah seperti gelombang...

Tunggu, bukankah itu Cocoon of Tacet yang dikatakan Madam Pedestrian kemarin?!

"Kenapa kau bengong di sana?!" seru Wise, baru saja menebas seekor goblin. Darahnya yang berwarna hijau muncrat ke tanah dan ke pedangnya. "Cepat bantu yang lain!" Dia lalu menoleh ke Encore, tersenyum gentle. "Tidak usah khawatir, Nona En. Aku akan melindungimu sampai wave-nya selesai."

Si brengsek itu masih saja berulah!

Hufft, aku menarik napas dalam-dalam. Halaman yang dipenuhi oleh monster jelek disiram oleh lingkaran magis berwarna biru. Aku belum pernah menyihir menggunakan tongkat sebelumnya, jadi aku tidak terbiasa. Tapi aku yakin konsepnya sama saja.

Para penyihir berhenti bertarung sejenak. Kepala demi kepala mendongak menatap pola tersebut, berputar siap menghunjamkan apa saja begitu mantranya disebut.

"Frotus Rashmisile. Penguncian Posisi: Jatuh Vertikal," lanjutku. Setiap mantra berjenis ofensif memang harus diatur dengan teliti sebelum dilepaskan, terutama di medan penuh kekacauan seperti ini. Salah-salah justru malah menyerang kawan sendiri.

Lingkaran magis bersinar. Putarannya semakin kencang dan mengirim jarum-jarum es tepat ke atas monster yang mengamuk, menancap ke tanah. Darah hijau menyembur.

Mata Wise bersinar melihat setengah monster terhimpit oleh batang es yang kupanggil, menari-nari ke sebelahku. "Mantra apa yang kau pakai barusan? Apa itu Kelas Lanjutan? Sial, ternyata waktu di penjara itu bukan apa-apa. Berapa sisa Spirit Gauge-mu?"

Spirit Gauge adalah sebutan tolak ukur total pemakaian jumlah magia. Seharusnya untuk mantra Kelas Lanjutan terpakai 20%, tapi anehnya milikku hanya termakan 10%. Apa karena aku memakai tongkat ya? Hmm, ini penemuan baru. Aku bisa menghemat energi.

"Lihat!" seru para penyihir yang kewalahan, menunjuk langit. "Awan yang menutupi bulan sudah diembus oleh Tuan Magistrate!"

Aku dan Wise ikut mendongak.

Jauh di atas sana, seseorang dengan kekuatan angin luar biasa, mengembus sekelompok awan hitam yang nakal menutupi bulan. Begitu cahayanya menyoroti akademi, monster-monster meraung dan kabur ke celah Cocoon the Tacet. Benda itu pun lenyap.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun tampaknya perang dadakan ini sudah selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top