Bag 10. Kelas Sejarah

Hari Rabu yang kunantikan tiba juga.

Yang mengajar kelas Historis Kuno adalah Madam Pedestrian. Tebak apa, hanya tujuh murid yang menghadiri kelasnya. Itu pun sudah menghitung diriku, Wise, dan Encore. Mata pelajaran ini tersedia bagi dua jurusan di akademi. Wise mengikutinya sukarela. Tentu alasan lainnya ingin bertemu Encore. Aku tahu akal bulus cowok mesum itu.

Tidak heran Encore sangat percaya diri saat mengatakan aku tidak akan diacuhkan. Madam Pedestrian hanyalah rakyat biasa dan murid-murid yang mengikuti kelasnya pun sebagian besar berasal dari kalangan bawah.

Aku yakin bangsawan sibuk bergosip: Nah, ini baru tempat yang sesuai untuk sesama sampah. Tidak perlu bisa membaca pikiran untuk mengetahui kenapa kelas ini sepi.

Itu alasan pertama-enggan sekelas dengan rakyat jelata. Alasan kedua, para bangsawan telah dididik di istananya. Mereka jelas paham seluk beluk Asfalis secara dasar sehingga merasa tidak perlu ikut kelas ini.

Tapi itu kabar baik. Di sini kami dapat merasakan kebebasan dari batasan-batasan sosial yang mengikat dan pandangan hina.

"Jadi kalian murid baru jalur undangan itu?" ucap cewek di belakang bangkuku. Tersenyum jenaka. "Aku sudah dengar sepak terjangmu di kantin lho. Katanya kau menepis tangan nona bangsawan. Hahaha, kau berani sekali. Salam kenal ya. Namaku Esok." Dia lantas menunjuk cowok di sebelahnya yang tampak serius menghafal daftar jamur berbahaya dan berguna. "Ini saudara kembarku, Lusa."

Lusa dan Esok? Keren betul namanya. Jika mereka kembar tiga, pasti yang satunya memiliki nama Hari atau Kemarin.

Aku baru mau menerima jabatan tangan Esok, namun Wise lebih dulu memotong sambil cengengesan. "Muka kalian mirip banget kayak pinang dibelah dua. Cantik dan ganteng. Senang berkenalan denganmu!"

Haah, mulai lagi si bedebah ini. Caper di depan cewek yang baru dia temui. Bahkan Encore juga menghela napas jengah.

"Terima kasih sudah membantunya, Kala," katanya merangkul bahu Encore. "Anak ini memang suka pasrah. Tidak mau melawan."

Encore bersungut-sungut. "Kalau melawan, nanti kita kena penalti. Peraturan akademi lebih menguntungkan bangsawan. Kau tahu kan aku ingin lulus dengan damai."

"Sesekali kau harus membalas, En!" seru cewek di kursi nomor tiga. Dia menyengir ke arahku. "Namaku Saran. Mohon bantuannya."

Aku tersenyum tipis, mengangguk. Karena tidak ada bangsawan di sini, suasana kelas terasa lebih santai. Kami bisa leluasa berteman dan tanpa embel-embel status sosial yang biasanya menghalangi interaksi.

Ketua kelas (dia cowok), Reason, berdiri di depan dan menyuruh kami duduk tenang. "Madam Pedestrian sudah datang. Tolong berhenti mengobrol, teman-teman."

"Siap, Pak Reason!" seru mereka sambil tertawa kecil dan segera menutup mulut. Di sini sangat damai. Sudah kuputuskan, aku akan sering-sering mengikuti kelas ini.

Madam Pedestrian masuk dengan langkah ringan, penampilannya sederhana. Tidak ada jubah mewah atau perhiasan mencolok seperti para profesor lain di akademi. Hanya kacamata bulat tertengger di wajahnya. Dia mengenakan gaun panjang polos dan ribet membawa tumpukan buku tua di tangan. Tanpa basa-basi, dia langsung menuju meja dan meletakkan buku-bukunya di sana.

"Selamat pagi, murid-muridku tercinta!" sapanya riang, mengetuk kepala di detik berikutnya. "Eh, malam maksudnya. Oh, aku melihat dua wajah baru di sini!"

Bahuku terlonjak saat dia tahu-tahu sudah muncul di depanku dalam sekejap. "Halo, murid baru yang tampan. Siapa namamu?"

"K-Kala," jawabku kikuk.

Dia berputar melakukan gerakan menyebar konfeti. "Kala! Selamat datang di kelas dimana kau akan mengetahui betapa menarik dan kelamnya dunia yang kita naungi!"

Apa-apaan? Ini gurunya? Kukira beliau memiliki kepribadian kalem atau anggun sebagaimana seorang guru sejarah, tapi... nyentrik banget! Ini mah Wise versi wanita!

Wise tiba-tiba berdiri dengan dramatis. "Sungguh kejam sekali engkau, wahai Guruku yang Bijaksana! Mengabaikan diriku dan hanya fokus ke Kala. Pengabaian ini menusuk sanubariku bagai duri yang merambat. Duri seperti itu sulit sekali dibersihkan, harus menggunakan pinset," ujarnya, menempatkan tangan di dada memasang muka tersakiti.

Madam Pedestrian berkedip jahil ke Wise, "Tentu saja aku tidak akan melupakan murid baru yang memesona sepertimu."

Aku dan Encore saling tatap malas. Sudah ketemu, pasangan lebaynya Wise.

"Baiklah, karena kita memiliki dua murid baru yang masih polos, sepertinya kita perlu membahas sesuatu yang menarik. Bagaimana kalau kita mulai dengan ramalan kuno?" kata Madam Pedestrian dengan semangat.

Aku mengerjap. Ramalan?

"Eyy, Madam! Anda serius menceritakan ramalan pada mereka?" Esok berteriak seolah tak percaya. "Jangan bercanda. Itu bukan awal yang bagus. Mereka takkan tertarik."

"Itu benar. Masa anda menceritakan ramalan buruk pada murid baru?" sela Saran, juga terlihat tidak setuju. "Bisa-bisa mereka malah ketakutan dan cabut dari kelas."

Kali ini aku dan Wise yang saling tatap bingung. Kenapa reaksi mereka seperti itu? Ramalan, ramalan... Entah kenapa aku jadi teringat perkataan tahanan waktu itu.

Beberapa hari terakhir aku menghindari kelas terbang untuk meluangkan waktu demi mencari petunjuk soal Haberit of Oath, tapi hasilnya nihil. Ramalan yang disebut Madam Pedestrian mungkin bisa memberiku ilham.

"Benar juga kata kalian. Itu bukan topik yang enak didengar. Kalau begitu mari kita mulai dari pembentukan Asfalis," kata Madam Pedestrian lalu menjentikkan jari.

Seketika, ruang kelas yang semula disinari lentera menjadi gelap. Dalam hitungan detik, dinding berubah menjadi layar proyeksi sihir, menampilkan pemandangan peradaban dengan masyarakat yang normal. Tidak ada makhluk fantasi. Hanya manusia yang melakukan aktivitas harian: bercengkerama di pasar, anak-anak bermain di halaman, dan para pedagang menawarkan dagangan. Benar-benar sebuah dunia yang berbeda.

"Asfalis dulunya bernama Katastrofi. Dunia yang jauh dari sihir dan hal ajaib. Hanya ada pedang serta alkimia. Dunia yang tidak bertuhan, dipimpin oleh enam raja agung. Keenam raja ini berkuasa atas wilayah yang berbeda-beda dengan ambisi dan strategi mereka sendiri. Meski tampak tidak akur dan sering bertengkar dalam perihal komersial, mereka menjaga Katastrofi tetap damai."

Layar bertukar menjadi sosok seorang musafir yang misterius, berpakaian kumal dan memegang tongkat. Wajahnya tertutupi oleh jubah, hanya terlihat sepasang mata tajam yang memancarkan aura misteri.

"Hingga orang ini merusak semuanya," kata Madam Pedestrian tajam. Intonasi suaranya terdengar geram. Murid-murid yang lain juga terlihat tidak nyaman.

Wise menelan ludah. "S-siapa itu?"

"Dia menyebut dirinya pengembara, musafir, pelancong, pendeta, alkemis, atau apalah. Dia sebenarnya hanya orang gila yang terobsesi dengan takhayul. Dialah yang merusak kedamaian Katastrofi, mengubah dunia itu menjadi dunia penuh darah dan peperangan."

Kiamat telah tiba di Katastrofi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top