15. Unexpected [Sanny]

"Tapi kakak udah bikinin bekal." Sanny menatap lelah gadis berambut pendek berseragam putih-dongker di depannya. Sekali lagi diangsurkannya kotak Tupperware di tangannya, berharap lawan bicaranya menerima benda tersebut."Dimakan ya, Mun. Kita juga udah lama nggak makan bekal bareng."

Muniaㅡadiknyaㅡmendesah keras. "Nggak deh, Kak. Aku ada janji makan siang di kantin sama teman-teman." Belum sempat Sanny mengatakan apa-apa, anak itu sudah melambai dan berlari menjauh. "Makasih, tapi Kakak nggak perlu bawain aku bekal lagi. Ntar ngerepotin."

Dan Munia pun menghilang di koridor yang akan membawanya menuju kantin. Sekarang giliran Sanny yang mendesah keras sembari memandangi dua kotak di tangannya. Dia sudah bela-belain bangun subuh demi memasak nasi goreng untuknya dan Munia. Sejak kedua orang tua mereka bercerai dan Sanny masuk ke asrama, mereka jadi makin jarang bertemu dan makan bersama. Biasanya Sanny akan mendatangi Munia ke SMP-nyaㅡyang masih berada di satu kawasan yayasan Arthawidyaㅡdan mengajaknya makan siang. Dulunya Munia akan menerima ajakannya dengan senang hati, tapi sepertinya anak itu sedang memasuki rebellious phase. Adik perempuannya yang hanya berjarak 3 tahun itu mulai sering mengabaikannya.

Seolah terlihat bersama Sanny akan menghancurkan citranya di depan teman-temannya.

Sanny menggeleng mengusir segala pemikiran negatif dan menengadah menatap langit.

Jangan berpikiran macam-macam, pikirnya berusaha mensugesti diri sendiri. Masalah kesetiaan membuat orang tua mereka bersitegang dan berakhir dengan keluarga mereka yang tercerai-berai. Untuk saat ini hanya Munia yang dia punya dan dia tidak ingin memiliki prasangka buruk terhadap adik sendiri.

Sanny melangkahkan kaki menuju pondok taman terdekat dan mendudukkan diri di pinggirannya. Dia masih berada di taman belakang milik SMP Arthawidya yang letaknya lumayan jauh dari kawasan SMA. Di sana tidak terlalu ramai. Sepertinya penghuni SMP memang lebih memilih makan siang di kantin. Di saat Sanny sedang membuka kotak bekal, sebuah sosok familier tertangkap pandangannya.

"Ari?" Dia refleks bergumam, tidak menyangka akan melihat cowok berkacamata itu di sana.

Ari masih belum menyadari keberadaannya dan entah kenapa dia terlihat agak ling-lung. Sanny tetap bergeming di tempatnya, memperhatikan cowok itu celingukan ke kiri dan ke kanan. Melihat cowok itu sekarang membuat Sanny teringat pada misi Valentine-nya yang gagal total. Bukan karena dia gagal membuat kue cokelat yang enak menjelang hari H, melainkan karena dia tidak lagi memiliki rasa percaya diri untuk menyerahkannya. Dia sudah kalah sebelum bertanding.

Dia tercekat saat tatapan Ari tertuju ke arahnya. Sanny kira Ari akan langsung menoleh lagi ke arah lain, tapi di luar dugaan, cowok itu malah menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.

"Permisi, kamu yang dari kelas IPA, kan?" tanyanya ragu-ragu. "San ... Sandi ...?"

Sanny tersenyum tipis. "Sanny," ralatnya.

See? Ari bahkan tidak tahu namanya. Kecil sekali kemungkinannya cowok itu bersedia menerima kue cokelat buatannya.

"Ah, Sanny." Ari tampak salah tingkah. Sebentuk senyum sungkan terulas di bibirnya. "Maaf. Aku ... lupa. Ngomong-ngomong, boleh minta tolong?"

"Apa?" Jantung Sanny berdebar tanpa sadar. Dia tahu tidak seharusnya mengharapkan yang bukan-bukan, tapi mengetahui bahwa Ari membutuhkan pertolongannya, dia mendadak merasa gugup.

"Itu ... aku nyasar."

"Gimana?" Sanny memiringkan kepalanya. Ari berbicara dengan suara yang teramat pelan, membuatnya tidak bisa menangkap jelas apa yang diucapkan cowok itu. "Kamu nyasar?" tanyanya untuk memastikan.

Kedua daun telinga cowok tinggi itu memerah. Dia membuang pandangan ke arah lain dan kemudian mengangguk pelan.

"Aku lagi kabur, terus tahu-tahu sampai di sini," akunya. "Ini wilayah SMP, kan? SMA ke arah mana?"

Sanny mengangguk maklum. Yayasan Arthawidya memiliki kawasan luas yang di dalamnya terdapat berbagai jenjang pendidikan, lengkap dari TK hingga SMA. Beberapa bagian bisa tampak membingungkan dengan banyaknya koridor, taman, dan tikungan. Tidak seperti Sanny yang bersekolah di sana sejak TK, Ari baru masuk ke Arthawidya ketika SMA. Tidak heran dia bisa kebingungan.

"Oke." Sanny menutup kembali kotak bekalnya dan berdiri. "Ayo balik bareng. Aku tahu jalan pintasnya."

"Kamu mau makan?" Tatapan Ari beralih ke bekalnya. "Ya sudah. Makan saja dulu."

Jantung Sanny serasa mau copot saat Ari berpindah duduk di sampingnya. Tidak tepat di samping, sih. Ada jarak sekitar semeter di antara mereka, tapi tetap saja Sanny kaget. Kalau begini caranya, mustahil dia bisa menelan makanan.

Saat itulah tiba-tiba terdengar suara perut keroncongan. Sanny menoleh dan mendapati Ari meringis seraya menggumamkan maaf.

"Ini." Peka dengan apa yang terjadi, Sanny mengulurkan kotak bekal yang seharusnya untuk Munia. "Adikku nggak makan bekalnya. Dari pada mubazir."

Awalnya Ari menolak, tapi kemungkinan besar rasa laparnya jauh lebih besar dari harga dirinya, sehingga membuatnya bersedia menerima kotak bekal tersebut pada akhirnya.

"Makasih banyak," tukasnya sambil tersenyum penuh terima kasih. "Kumakan, ya?"

"Silakan."

Rasanya seperti ada yang meledak di balik rongga dadanya. Sanny menunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang memanas dan senyum malu-malu di balik geraian rambutnya.

Dia gagal menyerahkan cokelat untuk hari Valentine, tapi siapa yang menduga dia akan mengalami ini sebagai gantinya?

***

Tema 15:
"Buat karya dengan menggunakan 3 kata yang muncul di website https://writingexercises.co.uk/take-three-nouns.php"

Kesetiaan | Pondok | Langit

***

Akhirnya hari ini agak woles dan bisa nulis agak panjang setelah kemarin sempat bolong (lagi)~

Besok bakalan balik hectic lagi. Mudah-mudahan bisa update :"

Love,
Tia

Padang, 15 Februari 2021
17:04 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top