Chapter 8 - Ahwaya di Atas Soka
"Nee, Sanemi-kun."
Di kala sang bayu berhembus dari utara, jumantara bernuansa biru, namanya dipanggil. Lelaki itu sontak menoleh. Menatap ke arah gadis yang duduk di atas kursi rodanya dengan tatapannya yang tertuju ke arah anak-anak yang tengah berlari.
"Kau merindukan gadis itu, bukan?" tanyanya pelan.
Yang ditanya justru membuang pandangannya ke arah lain. Memikirkan sesuatu di dalam kepalanya secara tidak pasti. Namun, kendati demikian, wajah gadis yang dimaksud oleh Kanae-lah yang muncul di dalam kepalanya. Dengan jelas bahkan terlampau jelas hingga sulit untuk ia lupakan.
"Diam yang kau lakukan itu kuanggap sebagai 'ya'," ujar Kanae karena ia tidak mendapatkan jawaban apapun dari Sanemi.
"Aku tidak merindukannya," tukas Sanemi tanpa menatap Kanae.
Jawaban yang Sanemi lontarkan sesuai dengan perkiraan Kanae. Gadis itu hanya tersenyum simpul mendengar jawaban lelaki itu. Jawaban yang sebenarnya memiliki makna berbeda dari apa yang ia ucapkan melalui mulutnya.
"Lalu, jika kau bertemu dengan gadis itu lebih dulu daripada aku, apakah kau akan menjadikannya kekasihmu?" Kanae bertanya lagi. Tidak ada nada sedih yang tersembunyi di balik pertanyaannya. Gadis itu hanya ingin mengetahui apa yang Sanemi rasakan terhadap gadis bernama (Y/n) itu secara langsung dari bibirnya. Ya, meskipun ia tahu Sanemi tidak akan mengatakannya secara jujur.
"Entahlah. Aku tidak tahu," jawabnya kemudian. Namun, di dalam benaknya Sanemi mengiyakan pertanyaan yang Kanae lontarkan untuknya.
"Jujur saja padaku, Sanemi-kun. Aku tidak akan marah sama sekali." Kanae diam sejenak. Lalu, ia melanjutkan perkataannya, "Karena pada dasarnya, hubungan di antara kita tidak akan terjadi jika aku tidak memintanya kepadamu."
Tersentak, tertegun. Perkataan Kanae tersebut mengingatkan Sanemi akan fakta yang sebenarnya ada di balik hubungan mereka. Fakta yang tidak akan pernah terduga oleh orang lain.
"Aku hanya merasa takut. Takut jika aku tidak bisa memiliki seorang teman di sekolah karena aku sering absen. Takut jika aku tidak dapat membahagiakan kedua orang tuaku, terutama adikku. Juga takut jika aku tidak bisa memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain. Dan, ketakutan paling terbesarku ialah aku yang tidak bisa melihat dunia ini lagi di esok hari."
Terbungkam oleh ucapan Kanae, Sanemi pun memilih untuk tergugu. Memikirkan setiap kata yang gadis itu katakan kepadanya.
"Maaf, aku bicara terlalu banyak." Ia terkekeh.
Kanae kembali diam. Ia melirik ke arah Sanemi di sebelahnya. Side view milik lelaki itu terlihat indah di manik ungunya. Ditambah dengan sinar matahari di balik wajahnya yang tampak menyeramkan itu.
"Ah, ada satu hal yang tidak bisa diubah. Sekalipun aku menginginkannya," ujar Kanae lagi. Kali ini ucapannya langsung membuat Sanemi menoleh padanya.
"Kau mencintaiku karena rasa iba, Sanemi-kun. Berbeda dengan gadis itu—(Y/n). Tatapan penuh cintalah yang selalu kudapati setiap kali aku mencuri pandang ke arahmu yang tengah menatap ke arahnya," ujarnya disertai senyuman miris. Hatinya memang teriris, namun ia tidak boleh menangis. Tidak ketika Kanae masih berada bersama dengan Sanemi.
Sanemi terdiam. Bersama dengan Kanae membuat Sanemi menjadi pendiam. Tidak banyak bicara dan hanya memilih untuk tak mengatakan apapun. Namun, kali ini diam yang ia lakukan merupakan bentuk persetujuan dari dirinya atas perkataan Kanae. Atau setidaknya Sanemi ingin berkata demikian. Tetapi, fakta yang ada ialah Sanemi masih belum tahu pasti tentang perasaannya terhadap (Y/n).
Satu tahun yang ia habiskan bersama Kanae bukanlah berupa buku yang diisi selembar kertas. Melainkan sebuah buku tebal yang diisi oleh berbagai hal yang terjadi di antara mereka.
"Maaf karena aku melantur akan perkataanku, Sanemi-kun." Kanae diam beberapa saat. Lalu, ia kembali berucap, "Juga maaf karena aku telah memintamu menjadi kekasihku meskipun aku tahu kau tidak pernah menginginkannya."
***
Hari ini merupakan jadwal check up (Y/n) untuk yang ketiga kalinya. Hal yang sama pun masih terjadi saat ini, yakni dirinya yang selalu memutuskan untuk pergi seorang diri. Namun, kali ini justru Mitsuri-lah yang tidak bisa menemani (Y/n) dikarenakan temannya itu memiliki sebuah janji temu dengan Obanai.
Seusai mengambil obat sesuai dengan resep dokter, (Y/n) memutuskan untuk pergi ke taman lebih dahulu. Ia ingin menghirup udara segar di luar saat ini.
Namun, niatnya itu gagal dikarenakan seseorang menarik tangannya ke arah yang berlawanan dari arah yang ia tuju. Gadis itu ingin memaki siapapun pelakunya. Tetapi, kala ia melihat siapa pelakunya, niatnya itu mendadak lenyap. Alhasil, dirinya hanya pasrah mengikuti langkah lelaki itu ke mana ia membawanya.
Sebuah kamar dengan nomor sembilan puluh tujuh terpampang di depan wajah (Y/n). Gadis itu tidak sempat melihat siapa nama yang menempati kamar itu karena ia lebih dahulu ditarik ke dalam.
Kala manik (e/c) itu bertemu dengan manik ungu yang selama ini (Y/n) lihat dari kejauhan, membuat gadis itu seketika terkejut. Memikirkan mengapa dirinya berada di sini.
"Maaf karena aku tiba-tiba memanggilmu ke sini, (F/n)-san," ujar Kanae dengan ramah.
(Y/n) pun hanya mengangguk samar. Ia tidak masalah dengan hal itu. Namun, yang membuatnya merasa bingung ialah mengapa dirinya dipanggil ke sini?
"Aku sudah tahu mengenai dirimu, (F/n)-san. Maaf karena aku mengetahui hal tersebut bukan darimu langsung," lanjutnya lagi.
(Y/n) hanya diam. Sibuk memikirkan ucapan Kanae. Apa yang gadis itu ketahui tentangnya? Hanya namanya? Ia rasa tidak mungkin jika hanya sekedar namanya saja.
"Aku ingin memberitahu suatu hal padamu."
Saliva-nya mendadak sulit untuk ditelan. Namun, sebisa mungkin (Y/n) tetap berusaha untuk terlihat biasa saja meskipun pada kenyataannya ia benar-benar merasa gugup.
"Sebelumnya, aku ingin meminta maaf karena aku menabrakmu di hari itu. Aku benar-benar meminta maaf. Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan berlari dengan kedua kakiku sendiri," ucap Kanae lagi.
(Y/n) termangu sesaat. Ah, rupanya Kanae membicarakan hari di mana ia pergi check up untuk pertama kalinya ke rumah sakit. Seorang gadis yang menabraknya saat itu merupakan Kanae. (Y/n) bahkan tidak sadar jika Kanae mengenakan piyama rumah sakit dikarenakan pikirannya yang sudah tertuju ke arah rasa sesak di dadanya.
"Tidak apa-apa, Kochou-san," sahut (Y/n).
Sebuah senyum dilemparkan kepada (Y/n). Kini Kanae beralih menatap Sanemi sejenak. Lalu, ia mengalihkan tatapannya kembali ke arah (Y/n). "Sebenarnya, aku dan Sanemi-kun tidak menjalin hubungan atas dasar cinta. Melainkan karena sebuah permintaan egois yang aku lontarkan padanya," ujar Kanae dengan tatapan menerawang.
(Y/n) tertegun di kala ucapan Kanae masuk ke dalam telinganya dan diproses di dalam otaknya. Ia tidak tahu jika hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa mereka berdua menjalin sebuah hubungan. Entah (Y/n) harus merasa apa. Senang? Atau sedih? Lalu, apakah keputusannya untuk menjauhi mereka berdua sudah tepat?
"(F/n)-san, apakah aku boleh meminta sebuah permintaan yang egois kepadamu?" tutur Kanae dengan tatapan memohon.
Berbagai jenis permintaan yang kemungkinan akan diucapkan oleh Kanae berputar-putar di dalam kepala (Y/n). Gadis itu pun menelan saliva-nya dengan susah payah.
Kini Kanae mengalihkan tatapannya kepada Sanemi. Lelaki itu rupanya tengah menatap ke arah (Y/n) di sisi kiri tempat Kanae berbaring. Melihat hal itu, Kanae tersenyum simpul. Sekaligus menyembunyikan rasa sakit di dalam dadanya.
"Sanemi-kun, apakah aku boleh meminta sebuah permintaan egois kepadamu lagi?"
Pertanyaan Kanae itu diangguki oleh Sanemi dengan mudah. Membuat gadis itu merasa senang sekaligus merasa bersalah di saat yang sama.
Tetapi, di kala telinga (Y/n) mendengar permintaan itu, seketika gadis itu membeku. Sama sekali tidak menyangka jika hal tersebut yang akan menjadi sebuah permintaan egois dari Kanae.
"Untukmu dan Sanemi-kun, kumohon jujurlah tentang perasaan kalian masing-masing. Sebagai permintaan terakhir dariku ini, aku... hanya ingin kalian berdua bahagia. Itu saja." Kanae tersenyum lebar. Bersamaan dengan cairan bening yang mengalir dari pelupuk matanya.
***
Itulah kata-kata terakhir yang (Y/n) ingat dari Kanae. Perkataan yang berasal dari seorang gadis berhati malaikat. Seseorang yang ia sangka akan menjadi penghalang baginya, namun nyatanya menjadi seorang penyelamat untuknya. Benar-benar tidak terduga bagi (Y/n).
Gadis itu menyatukan kedua tangannya. Merapalkan doa kepada gadis yang kini telah tiada di dunia ini. Seseorang yang langsung pergi meninggalkan mereka ketika tugasnya telah usai.
"Kau tidak ingin pulang?"
Pertanyaan (Y/n) itu ditujukan untuk lelaki di sebelahnya. Sanemi hanya diam sejak tadi. Namun, (Y/n) dapat melihat sirat kesedihan di air mukanya. Merupakan wajah yang sama dengan ketika gadis itu mendapati Sanemi berada di depan makam ibu dan adiknya.
"Ya," sahutnya.
Lelaki itu menatap sejenak makam milik teman sekaligus sahabatnya selama satu tahun belakangan ini. Seseorang yang ia anggap sebagai orang yang berharga baginya. Sama seperti dengan gadis bersurai (h/c) yang kini tengah berjalan di depannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top